BeritaNegara Hancurkan Sumber Konservasi Noken Papua

Negara Hancurkan Sumber Konservasi Noken Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua dianggap kebijakan tak populis yang di satu sisi justru akan berdampak langsung pada hancurnya kawasan konservasi hutan sumber masyarakat adat pengrajin Noken Papua mengambil bahan baku.

Titus Pekei, penggagas Noken Papua ke UNESCO, mengungkapkan, kehadiran DOB diprediksi bahal hancurkan kawasan konservasi seiring dengan adanya proyek pengembangan kota, termasuk lokasi perkantoran pemerintahan.

“Kebijakan pemekaran akan turut menghancurkan eksistensi masyarakat adat terutama komunitas pengrajin Noken Papua. Sebab pemekaran daerah baru baik provinsi, kabupaten maupun kota hingga distrik pasti butuh lokasi dengan luasan yang cukup besar dan itu berdampak pada hancurnya kawasan konservasi,” ujarnya kepada suarapapua.com, Senin (28/11/2022).

Prediksi itu dikhawatirkan akan menambah derita kelompok pengrajin Noken Papua dalam mendapatkan bahan mentah, sementara selama ini pemerintah masih “tutup mata” dengan upaya pelestarian Noken sebagai bukti kepatuhan pada rekomendasi UNESCO dengan berlandasarkan Konvensi 2003 yakni konvensi tentang warisan budaya tak benda (Intangible cultural heritage convention).

“Dampaknya pasti saja dialami oleh komunitas pengrajin Noken Papua. Sedangkan rekomendasi UNESCO kepada negara pihak anggota UNESCO adalah perlu adanya upaya pelestarian. Pemekaran justru bukan untuk pelestarian, tetapi penghancuran yang dilakukan negara,” tuturnya.

Sejak disahkan 4 Desember 2012 di Paris, Perancis, kata Titus, belum terlihat bukti perhatian pemerintah terhadap upaya pelestarian Noken Papua selama sembilan tahun terakhir. Tinggal beberapa hari lagi genap sepuluh tahun nasib Noken Papua terkesan digantung.

Baca Juga:  Cagub Papua Tengah Meki Nawipa Mendukung Rakyat Tolak Program Transmigrasi

Sudah tiada perhatian semenjak Noken disahkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) ditambah lagi upaya penghancuran kawasan konservasi Noken Papua menjadi satu kegelisahan tersendiri bagi peneliti yang juga akademisi ini.

Makin sulitnya mendapatkan bahan baku untuk buat noken sudah seringkali dikeluhkan komunitas pengrajin di tujuh wilayah adat Papua. Tak terkecuali dari wilayah adat Meepago.

Mama Meliana Bunai, misalnya, akui hal itu karena kulit kayu yang biasa dia dapat kadang terbatas jumlahnya. Ini karena pesanan yang diantar juga tak cukup untuk hasilkan noken dalam jumlah banyak.

“Jangankan anggrek, kulit kayu saja susah sekali kami dapat. Biasa pesan sama orang, tetapi setelah kami beli juga sedikit sekali,” katanya.

Meliana tak bisa bayangkan dengan adanya pemekaran, hutan yang biasanya dijadikan untuk ambil bahan baku dibabat sebagian atau seluruhnya. Tentu saja akan sangat sulit lagi mendapat suplai bahan baku berupa kulit kayu untuk pintal dan anyam noken khas.

Kepentingan Negara

Titus memperlihatkan sertifikat dari UNESCO yang diterimanya usai Noken Papua disahkan 4 Desember 2014.

Baca Juga:  Karyawan Freeport Menggunakan Hak Suaranya Pada Pilkada Serentak 2024

“Sertifikat inilah yang komunitas pengrajin Noken Papua perjuangkan sejak tahun 2008,” ucapnya sambil perlihatkan kepada suarapapua.com.

Sertifikat dari UNESCO untuk pengesahan Noken Papua, 4 Desember 2012 di Paris, Perancis. (Ist)

Sebagai anggota UNESCO, Indonesia meratifikasi Konvensi 2003 perlindungan warisan budaya tak benda melalui keputusan presiden (Keppres) Republik Indonesia nomor 78/2007 tentang pengesahan konvensi untuk perlindungan warisan budaya tak benda (Convention for the safeguarding of the intangible cultural heritage) dan sekaligus menjadi negara pihak anggota UNESCO mulai 15 Januari 2008.

“Sekalipun begitu, negara pihak tidak taat melindungi wilayah konservasi noken menurut peta persebaran noken yang ditetapkan UNESCO 4 Desember 2012,” ujar Titus.

Adapun wilayah konservasi menurut peta persebaran Noken Papua yang ditetapkan UNESCO:

Pertama, wilayah adat Mamta, Jayapura dan sekitarnya.

Kedua, wilayah adat Saireri, Biak dan sekitarnya.

Ketiga, wilayah adat Doberai, Manokwari dan sekitarnya.

Keempat, wilayah adat Bomberai, Fakfak dan sekitarnya.

Kelima, wilayah adat Anim-ha, Merauke dan sekitarnya.

Keenam, wilayah adat Laapago, Jayawijaya dan sekitarnya.

Ketujuh, wilayah adat Meepago, Paniai dan sekitarnya.

Ketujuh wilayah adat Papua ini, jelas Pekei, diproteksi oleh Konvensi 1972 UNESCO tentang perlindungan warisan budaya dan alam dunia, yakni penetapan puncak Nemangkawi dengan nama penemu pertama jadi nama Taman Nasional Lorentz pada 1999 lalu.

“Siasat dari UNESCO tetapkan Taman Nasional Lorentz adalah puncak salju Nemangkawi tetap terlindungi dapat menghadapi perubahan iklim global planet bumi ini, bahwa Tanah Papua menjadi penyangga paru-paru planet bumi ini.”

Baca Juga:  Tanah Papua dalam Bayang-bayang ‘Creeping Genocide’

Sayangnya, imbuh Pekei, negara pihak anggota UNESCO tidak taat dengan berkamuflase politik ekonomi bisnis hingga mengizinkan banyak perusahaan masuk baik pembangunan jalan dan jembatan di tengah hutan belantara, usaha perkebunan dengan perusahaan kelapa sawit, dan lainnya.

“Ditambah lagi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat administrasi pemerintahan, Jakarta paksa Papua dengan pemekaran DOB beberapa provinsi,” imbuhnya.

Menurut Titus, pemekaran DOB dilakukan secara marathon untuk merubah dan merombak pulau warisan budaya dan alam dunia itu dengan isu ekonomi kepentingan pribadi oknum pemerintahan masa kepemimpinan presiden Joko Widodo.

“Presiden sekarang juga melanjutkan kebijakan serupa pada masa kepemimpinan sebelumnya.”

Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan itu sahkan Noken Papua sebagai warisan budaya takbenda yang membutuhkan perlindungan mendesak, dalam sebuah forum terhormat yang disaksikan 640 orang perwakilan 148 negara anggota UNESCO.

Sidang pengesahan Noken Papua berlangsung di ruang XII markas UNESCO dipimpin Arley Gill, ketua komite. Dihadiri 640 orang perwakilan 148 negara anggota UNESCO.

Penetapan dan pengesahannya terjadi berkat perjuangan keras Titus Pekei. Perjuangannya dimulai sejak 2008 silam.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.