BeritaSKPKC Fransiskan Papua Luncurkan Buku Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua

SKPKC Fransiskan Papua Luncurkan Buku Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua gelar peluncuran dan diskusi buku seri memori passionis nomor 40 berjudul ‘Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua’, analisis dan Kronik HAM 2021 di Sekretariat SKPKC Fransiskan Papua di Sentani, Papua, Kamis (15/12/2022).

Buku yang ditulis oleh Bernadus Boki Koten (Fransiskan Papua), Farini Elexandro Rangga OFM (Fransiskan Papua), Latifa Anum Siregar (ALDP), Mochammad Wahyu Ghani (peneliti dan penulis buku dari BRIN) dan Petrus Pit Supardi (pegiat HAM Papua) tersebut berisikan 7 bab serta 146 halaman.

Mulai dari persoalan pendidikan yang lambat diselesaikan, mencegah kematian akibat HIV dan AIDS, revisi UU Otsus, DOB dan melemahnya MRP. Aksi kekerasan dan konflik bersenjata, perampasan tanah adat, pembungkaman penyampaian pendapat dan penyelesaian kasus HAM di tanah Papua.

Direktur SKPKC Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo mengatakan, persoalan di sepanjang tahun 2021 masih miris dan tidak menentu. Segala peristiwa yang berkaitan dengan hak asasi manusia masih harus diperjuangkan.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

‘Utang’, janji dan persoalan pada tahun-tahun sebelumnya masih tetap terjadi di tahun 2021. Walupun demikian, bagi ‘para pihak’ atau mereka yang mengikuti persoalan di Papua, terus berusaha mencari solusinya, begitupula dengan para korban dan warga Papua.

Ruang keadilan dan perdamaian di tanah Papua masih belum terisi padat. Masih banyak pihak, khususnya masyarakat adat Papua belum bisa menempati ruang tersebut.

Termasuk kebijakan dari mereka yang berkuasa selalu mengabaikan suara-suara keadilan dari kaum termarginal di Papua. Suara lantang akan sebuah keadilan dan kedamaian terbentur tembok nan kokoh yang kuat.

Walaupun demikian, bagi kaum termarginal dan yang tersisihkan, tidak mau menyerah. Jalan yang panjang untuk sebuah keadilan dan perdamaian di tanah Papua, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilalui dan ditempuh.

“Persoalan perampasan lahan, hutan atau tanah masyarakat adat Papua. Derasnya investasi ke tanah Papua yang secara ‘rakus’ menghilangkan banyak sumber makanan dan kehidupan bagi masyarakat adat Papua.”

Baca Juga:  PT IKS Diduga Mencaplok Ratusan Hektar Tanah Adat Milik Marga Sagaja

“Walaupun demikian, masyarakat adat Papua tidak menyerah. Mereka tetap melawan ketidakadilan terhadap apa yang selama ini melekat dan menghidupinya. Tak jarang masyarakat adat Papua harus berurusan dengan para tangan besi ketika masyarakat mempertahankan sumber kehidupannya, yakni hutan atau tanah tersebut,” tukas Yuliana.

Ia juga menyatakan bahwa suara masyarakat adat Papua yang menuntut keadilan, kelestarian lingkungannya, selalu saja diperhadapkan dengan tangan besi. Negara menilai bahwa suara-suara ini adalah suara ‘makar’ yang harus dengan cepat dibungkam dan dihilangkan.

Tak jarang, banyak masyarakat adat Papua dari berbagai lapisan yang menyuarakan keadilan, penentuan nasib sendiri dan penyelesaian pelanggaran HAM, ditangkap dan mendapatkan kekerasan fisik.

Oleh sebab itu, buku ‘jalan panjang keadilan dan perdamaian di Papua ini merupakan upaya SKPKC Fransiskan Papua untuk terus menjaga agar mata dan hati perjuangan HAM tetap terbuka.

“Kami secara rutin menulis dan mengeluarkan laporan setiap tahun yang berisikan situasi HAM. Karena kita berharap agar orang di Papua tidak lupa tentang masalah di Papua.”

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

“Karena seberapa besar kita menunjukkan situasi HAM di Papua yang kurang bagus, tetapi berapa banyak orang tahu tahu tentang Papua di luar sana. Tidak banyak, karena mungkin informasinya tertahan atau orang tidak berminat, tetapi kita tetap percaya bahwa diskusi dan dokumentasi seperti ini tetap akan berguna,” tukasnya.

Terutama katanya, dokumentasi-dokumentasi seperti ini akan membantu pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakannya.

“Oh ternyata kita ada bicara situasi kesehatan dan pendidikan di sini, kemudian mendorong ada perubahan yang lebih baik dalam bidang hak asasi manusia. Kedua supaya orang tidak lupa. Kerja advokasi untuk perubahan kebijakan ini masih sangat lama, tetapi paling tidak orang tidak lupa bahwa terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM karena dokumentasi ini ada. Tetapi juga dokumentasi seperti ini menjadi bahan referensi untuk dipakai oleh banyak pihak,” pungkasnya.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

TPNPB Mengaku Membakar Gedung Sekolah di Pogapa Karena Dijadikan Markas TNI-Polri

0
“Oh…  itu tidak benar. Hanya masyarakat sipil yang kena tembak [maksudnya peristiwa 30 April 2024]. Saya sudah publikasi itu,” katanya membalas pertanyaan jurnalis jubi.id, Kamis (2/5/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.