“Presiden Republik Indonesia Segera Menggunakan Pengalaman di Aceh Atau Timor-Timur untuk Menyelesaikan Persoalan Politik di Papua demi Menghentikan Konflik Bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang Mengorbankan Masyarakat Sipil”
Sesuai hasil penelitian tim kajian Papua LIPI ditemukan ada empat persoalan besar yang kerap menjadi pemicu konflik di Tanah Papua.
“Empat persoalan besar di Papua yang kami sebut dengan Papua Road Map adalah permasalahan pertama adalah masalah marginalisasi dan diskriminasi; permasalahan kedua adalah kegagalan pembangunan di berbagai aspek; permasalahan ketiga adalah kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua; terakhir, permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang mendasar di Papua” (Baca: LIPI Rilis Hasil Kajian Soal 4 Masalah Utama Pemicu Konflik Papua).
Dari keempat akar persoalan itu sudah banyak kebijakan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua, namun semuanya mubazir alias menabur garam ke dalam air laut. Terlepas dari banyak kebijakan dalam rangka menangani persoalan kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua, pemerintah pusat selalu menggunakan pendekatan pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sehingga terus memicu terjadinya konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB.
Dengan melihat fakta konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPNPB di Papua, sehingga sudah sewajibnya para pihak yang menjadi peserta Agung (istilah konflik bersenjata dalam Konvensi Jenewa) yang bertikai mengedepankan prinsip-prinsi Konvensi Jenewa 1949. Untuk diketahui bahwa Konvensi Jenewa adalah bagian dari Hukum Internasional yang juga dikenal sebagai Hukum Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata. Tujuan konvensi ini adalah untuk menjadi patokan standar dalam memperlakukan korban perang. Meski konvensi ini diadopsi pada 1949, seusai Perang Dunia Kedua, namun empat Konvensi Jenewa masih berlaku hingga saat ini.
Untuk diketahui bahwa Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Penduduk Sipil pada masa perang ke dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Aksesi Negara Republik Indonesia Terhadap Konvensi Jenewa 1949, sehingga penerapan dan memathui prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1949 dalam Konflik Bersenjata Antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua adalah kewajiban hukum.
Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2018 sampai sekarang (2022) konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB terus terjadi awalnya dari satu kabupaten terus merambah ke beberapa kabupaten dalam dua provinsi di Tanah Papua. Dalam konflik bersenjata antara kedua pihak selama ini telah melahirkan banyak sekali peristiwa yang memilukan pada masyarakat sipil baik Papua maupun Non Papua yang berada di wilayah konflik bersenjata.
Berdasarkan kasus yang ditemukan secara garis besar terbagi kedalam dua bentuk kasus yaitu: Pertama, Kasus Pembunuhan atau penembakan yang dilakukan oleh TNI-Polri terhadap Masyarakat Sipil Orang Asli Papua dan atau TPN-PB terhadap Masyarakat Sipil Non Orang Asli Papua, dan kedua adalah kasus pengungsian yang dialami oleh masyarakat sipil yang berada di sekitar konflik bersenjata sebagaimana yang terjadi di kabupaten Nduga (2018), kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), kabupaten Mimika (2020), kabupaten Maybrat (2020), kabupaten Puncak (2021), kabupaten Tambrauw (2021), kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan kabupaten Yapen Waropen (Desember 2022).
Apabila kedua pihak dalam konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua mengedepankan prinsp-prinsip dalam Konvensi Jenewa 1949, tentunya tidak akan ada banyak masyarakat sipil baik Papua maupun Non Papua yang menjadi korban. Sebab pada prinsipnya ketentuan terkait perlindungan hukum terhadap masyarakat sipil dalam daerah konflik bersenjata secara tegas diatur pada Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa tahun 1949 sebagai berikut:
“Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung, orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan di tempat apapun juga:
(a) Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam, dan penganiayaan;
(b) Penyanderaan;
(c) Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
(d) Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab”.
Terlepas dari itu, apabila Pemerintah Pusat yang sudah mengetahui salah satu akar persoalan di Papua adalah kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua sesuai hasil penelitian LIPI dan memilih alternatif penyelesaian persoalan politik menggunakan pendekatan penyelesaian politik yang pernah dipraktekan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh pada tahun 2000 atau antara Pemerintah Pusat dengan Timor-Timur pada tahun 1999 yang pasti tidak akan ada cerita Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Tanah Papua yang terus melahirkan peristiwa memilukan pada masyarakat sipil baik Papua maupun Non Papua yang berada di tengah wilayah konflik bersenjata di Papua.
Berdasarkan fakta Pemerintah Pusat yang tidak mau menggunakan pengalaman penyelesaian persoalan politik kasus Aceh dan kasus Timor-Timur dalam kasus Papua malah justru memilih pendekatan keamanan yang memicu terjadinya Konflik Bersenjata di Papua yang melahirkan kasus pelanggaran HAM dan pengungsian secara langsung menunjukan ketidaktaatan pihak TNI-Polri dan pihak TPN-PB dalam menjalankan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 khususnya dalam melindungi masyarakat sipil yang berada di sekitar atau di tengah-tengah Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Tanah Papua.
Atas dasar itu, harapannya pihak TNI-Polri dan Pihak TPN-PB dapat menjalankan kebijakan perlindungan bagi masyarakat sipil yang berada dalam wilayah konflik bersenjata sesuai dengan perintah Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa 1949 agar dapat tercipta perlindungan Hak Asasi Manusia milik Masyarakat Sipil bagi Papua maupun Non Papua dalam Konflik Bersenjata yang sedang terjadi.
Dengan melihat adanya korban masyarakat sipil baik Orang Asli Papua dan Non Papua di wilayah konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB, maka pemerintah juga harus memfasilitasi Palang Merah Indonesia (PMI) untuk melakukan tugasnya dalam menangani pengungsi dengan cara pendirian dan/atau pengelolaan darurat, pelayanan kesehatan; dan/atau pelayanan sosial sesuai perintah Pasal 10 PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan dalam wilayah konflik bersenjata.
Berdasarkan uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Papua menggunakan kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan kepada:
- Presiden Republik Indonesia segera menggunakan pengalaman di Aceh atau Timor-Timur untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua demi menghentikan Konflik Bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang mengorbankan Masyarakat Sipil;
- TNI-Polri dan TPN-PB sebagai para Peserta Agung Konflik Bersenjata di Papua segera menaati dan menjalankan Prinsip-Prinsip Konvensi Jenewa 1949;
- TNI-Polri dan TPN-PB wajib melindungi Masyarakat Sipil dalam Konflik Bersenjata di Papua sesuai perintah Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa 1949;
- Palang Merah Indonesia segera menangani pengungsi akibat Konflik Bersenjata di Papua sesuai perintah Pasal 10 PP Nomor 7 Tahun 2019 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 15 Desember 2022
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Papua
Emanuel Gobay, S.H, MH
(Direktur)