BeritaTolak Dakwaan Oditur Militer, Pelaku Mutilasi Harus Dihukum Mati

Tolak Dakwaan Oditur Militer, Pelaku Mutilasi Harus Dihukum Mati

SAUSAPOR, SUARAPAPUA.com — Para pelaku pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil asal Nduga yang tengah menjalani persidangan dituntut dihukum mati.

Tuntutan disampaikan keluarga korban sebagaimana ditegaskan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga se-Indonesia (IPMNI).

Proses persidangan yang sejak awal berlangsung lambat, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung melindungi para pelaku juga dikecam karena tidak memberi rasa keadilan bagi keluarga korban dan seluruh masyarakat Nduga.

“Kami menolak terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi didakwa menggunakan Pasal 480 KUHP. Hakim Militer Tinggi III Surabaya dan Oditurat Tinggi Makassar sangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku,” kata Pinus Nirigi, pengurus IPMNI melalui keterangan tertulis yang diterima suarapapua.com, Jumat (20/1/2023).

Dijelaskan, para pelajar dan mahasiswa Nduga juga menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak manapun selama persidangan berlangsung.

“Setiap pelaku wajib diberikan hukuman setimpal perbuatannya. Mahkamah Agung segera mencabut dakwaan manipulatif yang terjadi pada persidangan. Kami juga menuntut pelaku harus dihukum mati,” ujarnya.

Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, itu menyatakan, para pelajar dan mahasiswa Nduga mendukung keluarga korban untuk mendesak presiden Joko Widodo agar segera melihat segala fakta proses persidangan bagi orang Papua secara langsung.

Baca Juga:  Lima Bank Besar di Indonesia Turut Mendanai Kerusakan Hutan Hingga Pelanggaran HAM

Begitupun Menteri Politik Hukum dan Keamanan agar segera melakukan kontrol atas setiap persidangan dalam setia kasus hukum yang terjadi di Papua.

“Kami juga meminta Panglima TNI melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika,” tegas Nirigi.

Kaliminus Balinol, keluarga korban, menilai persidangan mutilasi yang telah disidangkan selama ini tidak transparan, tidak akuntabel karena seorang mayor didakwa dengan pasal karet yakni Pasal 480 KUHP.

“Pasal tersebut seolah-olah seperti hukuman yang dikenakan kepada pencuri sendal. Karena  hukumannya jauh berbeda dari harapan keluarga yang mestinya. Kami inginkan para pelaku dikenakan Pasal 340 KUHP,” tegasnya.

Balinol menyebut tuntutan dakwaan oleh hakim terhadap Mayor Hermanto Fransisku Dakhi tak setimpal dengan perbuatannya. Karena itu, ditegaskan, semua pihak akan menerima tuntutan dakwaan jika para pelaku dihukum mati.

Baca Juga:  Poksus DPR Papua Mendukung Upaya MRP Soal Rekrutmen Politik

“Jika hal itu tidak terwujud, kami menilai proses persidangan ini cacat hukum. Keluarga korban tidak ingin seperti keputusan kasus Paniai berdarah, dimana terdakwa tunggal Isak Sattu divonis hukuman bebas. Jika hal serupa terjadi lagi dalam kasus mutilasi 4 warga sipil Nduga di Timika 2022 lalu, maka keluarga korban menilai suatu penghinaan hukum terhadap keluarga korban karena tidak memberikan hukuman setimpal perbuatan,” tandasnya.

Menanggapi dakwaan dari oditur militer terhadap para pelaku mutilasi, IPMNI yang bergabung bersama keluarga korban dengan tegas menyatakan sikapnya.

Pertama, Menolak terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi didakwa menggunakan Pasal 480 KUHP oleh Oditurat Tinggi berdasarkan informasi SIPP. Hal Ini sangat cacat hukum, karena susunan dan struktur dakwaan ini kami anggap sangat problematis, sebab menaruh Pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer adalah merusak harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua.

Kedua, Hakim Militer Tinggi III Surabaya dan Oditurat Tinggi Makassar sangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku.

Baca Juga:  Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

Ketiga, Kami juga menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak manapun selama persidangan berlangsung.

Keempat, Setiap pelaku wajib diberikan hukuman yang setimpal dengan menggunakan pasal yang sesuai yaitu Pasal 340 KUHP (Terencana, Terstruktur, dan Sistematis).

Kelima, Mahkamah Agung segera mencabut dan mengatrol dakwaan-dakwaan manipulatif yang terjadi pada persidangan.

Keenam, Menuntut pelaku untuk dihukum mati.

Ketujuh, Presiden Jokowi harus melihat segala fakta proses persidangan bagi orang Papua secara langsung.

Kedelapan, Menko Polhukam melakukan kontrol atas setiap persidangan di Papua.

Kesembilan, Panglima Tentara Nasional Indonesia melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika.

Kesepuluh, Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil.

Kesebelas, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera memutuskan permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Poksus DPR Papua Mendukung Upaya MRP Soal Rekrutmen Politik

0
“Ini sebagai bentuk integrasi bangsa. Dan untuk mewujudkan pikiran ini, maka diharapkan bapak Presiden Republik Indonesia dapat meninggalkan legacy dengan diatur dalam Perppu dan diharapkan KPU dapat membuat PKPU Khusus Papua,” kata John Gluba Gebze.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.