Rilis PersProses Peradilan Militer Kasus Pembunuhan dan Mutilasi 4 Warga Nduga Tanpa Penelitian...

Proses Peradilan Militer Kasus Pembunuhan dan Mutilasi 4 Warga Nduga Tanpa Penelitian Jaksa dan Oditur Militer

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Proses hukum terhadap para pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika dilakukan secara terpisah antara pelaku masyarakat sipil dan pelaku anggota TNI.

Hal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana junto Pasal 198 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Pengadilan Militer junto Pasal 16 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Demikian siaran pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Sabtu (21/1/2023).

Sebagaimana diatur dalam Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tertulis dengan jelas dan tegas bahwa “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”

“Sekalipun proses penegakan terhadap pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi 4 orang warga Nduga di kabupaten Mimika dari kalangan anggota TNI telah dan sedang dilakukan di Pengadilan Militer, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman bahwa perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sesuai perintah ketentuan diatas?,” ujarnya dalam siaran pers nomor 002/SP-LBH-Papua/I/2023.

Kalau ada keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan, kata Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, apakah Jaksa atau Jaksa Tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi telah melakukan penelitian selanjutnya menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ditegaskan, selama ini belum ada penyataan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan maupun Menteri Kehakiman terkait proses hukum terhadap oknum anggota TNI pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi 4 orang warga Nduga di kabupaten Mimika.

“Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan oknum TNI di Pengadilan Militer dilakukan tanpa mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.”

Untuk diketahui bahwa terkait perihal “dalam keadaan” tertentu sesuai ketentuan “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer sebagaimana diatur pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa “dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.

Baca Juga:  IMPPAS Ajak Semua Pihak Kawal Penerimaan CPNS 80/20 Persen OAP

Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer, sedangkan jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

“Berdasarkan penjelasan tersebut, maka secara langsung menunjukan bahwa melalui fakta empat orang masyarakat sipil yang menjadi korban pembunuhan berencana dan mutilasi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI di Mimika tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan militer, malah melaluinya membuktikan adanya kerugian riil milik keluarga korban dalam bentuk tubuh manusia yang hilang maupun jiwa manusia kalangan masyarakat sipil khususnya masyarakat kabupaten Nduga, sehingga semestinya proses peradilannya dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum sebagaimana penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.”

Atas dasar itu, melalui fakta proses hukum tindakan pembunuhan berencana dan mutilasi terhadap 4 orang warga Nduga di kabupaten Mimika yang diproses pada Pengadilan Militer secara langsung menunjukan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia secara terang-terangan telah mengabaikan kewenangannya sesuai perintah Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu, melalui proses hukum tindakan pembunuhan berencana dan mutilasi terhadap 4 warga Nduga di kabupaten Mimika di Pengadilan Militer secara langsung mempertanyakan komitmen Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer dalam menjalanakan tugas penanganan perkara koneksitas dan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh oditurat dan penanganan perkara koneksitas sesuai Pasal 25c huruf c dan huruf f Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang tidak dipraktekan dalam penegakan hukum kasus pembunuhan berencana dan mutilasi terhadap empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika.

Baca Juga:  HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

Dengan berdasarkan pada tidak adanya kerugian pada kepentingan militer dalam kasus pembunuhan berencana dan mutilasi empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika, namun diproses di Pengadilan Militer yang telah memasuki agenda penuntutan dalam salah satu berkas perkara yang melibatkan perwira menengah TNI yaitu terdakwa Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi yang terlibat dalam pembunuhan dan mutilasi empat warga Nduga, Oditur Militer atau jaksa menuntutnya dengan Pasal 480 KUHP tentang penadahan dengan hukuman penjara 4 tahun penjara, dengan tuntutan tambahan dicopot dari kesatuan kepadanya sembari mengabaikan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dengan hukuman tertinggi adalah mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara sebagaimana telah disebutkan dalam Surat Dakwaan Oditur secara langsung menunjukan bahwa sepertinya praktek peradilan ini memang telah diseting sedemikian rupa sebelum proses pemeriksaan di Peradilan Militer dimulai.

“Sebab berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, semua unsur-unsur pidana dalam rumusan Pasal 340 KUHP telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan, namun Oditur malah menuntut dengan Pasal 480 KUHP.”

Fakta proses hukum terhadap para pelaku pembunuhan berencana dan mutilasi empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika yang dilakukan tidak mengikuti mekanisme sebagaimana diatur pada Pasal Pasal 90 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta arahan penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berujung diproses menggunakan Peradilan Militer hingga mendapat Tuntutan Pasal 480 KUHP tentang penadahan dengan hukuman penjara 4 tahun penjara yang diberikan kepada terdakwa Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi secara langsung menunjukan bahwa Peradilan Militer dijadikan sarana untuk mempraktekan “drama peradilan” untuk melindungi oknum anggota TNI yang telah melakukan beberapa tindakan pelanggaran hukum dan HAM mulai dari tindakan pelanggaran hak hidup, tindakan penyiksaan, tindak pidana perdagangan senjata api, tindak pidana perampokan uang dengan kekerasan, dugaan tindakan kekerasan terhadap anak, dugaan pelanggaran HAM Berat, serta tindakan pembunuhan berencana dan mutilasi terhadap empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika.

“Pada prinsipnya, drama peradilan untuk melindungi oknum anggota TNI ini dapat disebutkan berdasarkan pada fakta tindakan pembunuhan berencana dan multilasi terhadap empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan militer yang membenarkan proses hukum perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer sesuai perintah penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.”

Baca Juga:  Pimpinan Keuskupan Timika: Stop Adu Domba Masyarakat Demi Tujuan Tertentu!

Dengan melihat banyaknya pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi dalam kasus tindakan pembunuhan berencana dan mutilasi terhadap empat orang warga Nduga di kabupaten Mimika, sehingga diharapkan agar negara melalui pemerintah dapat memenuhi hak atas keadilan bagi empat orang warga Nduga korban pembunuhan berencana dan mutilasi sesuai ketentuan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” sebagaimana diatur pada Pasal 28d ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan uraian diatas serta berpijak pada hak konstitusional diatas, maka LBH Papua menggunakan kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan:

  1. Mengecam tindakan Jaksa dan Oditur Militer yang tidak lakukan penelitian sebelum diproses perkara pembunuhan berencana dan mutilasi 4 warga sipil Nduga diperiksa pada Peradilan Militer sesuai Pasal Pasal 90 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU nomor 8 tahun 1981 junto Pasal 16 Undang-undang nomor 48 tahun 2009.
  2. Mengecam tindakan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tidak memproses perkara pembunuhan berencana dan mutilasi 4 warga sipil Nduga di Peradilan Umum sesuai Pasal 16 Undang-undang nomor 48 tahun 2009.
  3. Mengecam tindakan Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer yang tidak memproses perkara pembunuhan berencana dan mutilasi 4 warga sipil Nduga secara koneksitas sesuai Pasal 25c huruf c Peraturan Presiden nomor 15 tahun 2021.
  4. Majelis Hakim pemeriksa perkara pembunuhan berencana dan mutilasi 4 warga sipil Nduga di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya dan Pengadilan Militer III-19 Jayapura wajib berikan putusan yang seberat-beratnya kepada oknum anggota TNI pelaku pembunuhan dan mutilasi 4 warga sipil Nduga demi memenuhi rasa keadilan korban dan memberikan efek jerah kepada pelaku.
  5. Komisi Yudisial Republik Indonesia segera awasi proses pemeriksa perkara pembunuhan berencana dan mutilasi 4 warga sipil Nduga di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang digelar di Pengadilan Militer III-19 Jayapura.

Demikian siaran pers LBH Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Emanuel You Mantapkan Langkah Bertarung di Pilkada Paniai

0
“Saya sebagai warga negara yang juga dan generasi muda mempunyai kewajiban dan kerinduan dalam mengisi ruang demokrasi yang disediakan oleh negara, sehingga saat ini saya sudah berkomitmen untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon bupati Paniai,” kata mantan ketua Komisi A Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) kabupaten Paniai periode 2009-2014 dari Partai Barisan Nasional (Barnas) itu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.