Laporan HRM Tahun 2022: Tarik TNI/Polri dan Izinkan Pengungsi Kembali Ke Kampungnya

Sebuah laporan baru yang memberikan gambaran umum tentang situasi hak asasi manusia di Papua Barat menemukan sedikit kemajuan dalam mengurangi pelanggaran hak asasi manusia di tahun 2022 dan menyerukan untuk mengurangi kekerasan dan mendorong akuntabilitas di tahun 2023.

0
704
Kampung Kiwi, yang berdekatan dengan Kiwirok Pegunungan Bintang, Papua. Rumah dari seorang pendeta yang mengenai serangan mortir dari udara yang saat ini sudah tidak ada penghuninya. Kejadian ini terjadi sejak konflik pecah 16 September 2021 yang mengakibatkan banyak warga masyarakat mengungsi hingga hari ini tahun 2023. (Supplied)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Human Rights Monitor atau Monitor Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yang berbasis di Eropa merilis laporan tahun 2022 tentang situasi konflik bersenjata dan dampaknya yang telah terjadi dan sedang berlangsung di tanah Papua.

Human Rights Monitor, kelompok ini bekerja sama dengan Dewan Gereja Sedunia (WCC) dalam menangani isu-isu konflik dan hak asasi manusia di Papua Barat, termasuk gereja-gereja di tanah Papua, lembaga swadaya masyarakat, aktivis, dan individu-individu.

Laporan itu dirilis pada 8 Februari 2023, yang dipublikasikan secara umum pada 17 Februari 2023. Laporan tersebut tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Papua Barat menyebabkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut di daerah yang terkena dampak.

Pada tahun 2022, para pembela HAM Papua terus melaporkan kasus-kasus penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan penghilangan paksa – dan banyak dari kasus-kasus tersebut secara langsung berkaitan dengan tindakan militer dan aparat keamanan terhadap warga sipil.

ads
Baca Juga:  F-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

“Praktik impunitas yang terus berlangsung di kalangan anggota polisi dan militer memperparah pola pelanggaran ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kasus-kasus pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan jarang diproses,” demikian bunyi laporan tersebut.

Kesadaran publik dan pemberitaan media tampaknya secara positif mempengaruhi upaya untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku di kepolisian dan militer.

“Namun, para pelaku biasanya dituntut melalui mekanisme internal institusi mereka, yang tidak memiliki transparansi dan independensi,” tulisnya.

“Statistik kekerasan bersenjata dan serangkaian serangan baru-baru ini mengindikasikan bahwa konflik di Papua Barat mencapai tingkat eskalasi baru sepanjang tahun 2022.”

Pada awal 2022, pemerintah Indonesia berusaha untuk menyajikan “pendekatan yang lebih lembut” terhadap konflik, dengan melibatkan militer dan polisi dalam program-program pembangunan.

“Menurut pendekatan tersebut, militer dan polisi akan dilibatkan dalam menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan serta program-program pertanian,” tulis laporan itu.

“Pada saat yang sama, pemerintah bertekad untuk meningkatkan kehadiran pasukan keamanan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Papua Barat.”

Baca Juga:  Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

Laporan tersebut mencatat bahwa pengerahan pasukan keamanan, bahkan di bawah pendekatan keamanan yang baru, diprediksi akan membawa tingkat ketegangan baru ke dalam konflik selama tahun 2023.

Suatu pagi hari di sebuah kamp pengungsian di hutan, tempat persembunyian dari pasukan Indonesia. Orang-orang yang tinggal di sini mengungsi dari kampung Kiwi, Kab. Pegunungan Bintang, Papua. Alut Bakon adalah salah satu wilayah hutan tempat para pengungsi internal mengungsi. Tidak ada pendidikan, tidak ada layanan kesehatan, dan tidak ada akses untuk organisasi atau bantuan kemanusiaan. (Supplied)

Hal ini tidak hanya meningkatkan potensi bentrokan bersenjata di dekat pemukiman warga sipil, tetapi juga akan membatasi akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat adat Papua, yang banyak di antaranya takut terhadap militer dan polisi Indonesia, yang bertanggung jawab atas kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia sejak pengambilalihan Papua Barat oleh Indonesia pada tahun 1969.

“Informasi tentang kekerasan bersenjata menunjukkan bahwa konflik berubah menjadi lebih kejam pada tahun 2022,” tulis laporan tersebut.

“Meskipun jumlah serangan pada tahun 2022 tidak menunjukkan peningkatan substansial dalam bentrokan bersenjata dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun memburuknya konflik tercermin dari jumlah warga sipil yang terbunuh.”

Pada tahun 2020 dan 2021, jumlah korban tewas di kalangan warga sipil selama bentrokan bersenjata atau penggerebekan masing-masing adalah 27 dan 28 warga sipil. Pada tahun 2022, jumlah warga sipil yang terbunuh adalah 43 orang.

Baca Juga:  Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku Lakukan Sidak ke Sejumlah SPBU Sorong

Laporan tersebut diakhiri dengan serangkaian rekomendasi yang mencakup, antara lain, menyerukan akses ke wilayah tanah Papua untuk pengamat independen.

Keterlibatan pemerintah Indonesia dalam dialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan konflik politik dan sejarah secara damai. Mengizinkan akses kemanusiaan ke Papua Barat untuk Komite Palang Merah Internasional (ICRC).

Menarik seluruh pasukan polisi dan militer non-organik yang dikerahkan di tanah Papua. Memfasilitasi dan menjamin kembalinya para pengungsi secara aman dan sukarela ke kampung-kampung mereka.

Memastikan Kejaksaan Agung menjalankan ulang investigasi yang tidak memihak, sistematis dan efisien dalam kasus Paniai agar semua pelaku dalam struktur komando yang terlibat di lapangan maupun atasannya terungkap dan diproses hukum.

Baca laporan tahun 2022: Laporan Tahunan Tanah Papua 2022 – Hak Asasi Manusia dan Situasi Konflik.

 

REDAKSI

Artikel sebelumnyaMenkopolhukam Tolak Negosiasi, KNPB: Negara Ingin Memelihara Konflik di Papua
Artikel berikutnyaBPS GKI-TP Minta Dukungan Doa Pembangunan Kantor Sinode Baru