JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sekalipun baru hadir terhitung November 2022, Komisi Yudisial Republik Indonesia provinsi Papua terus menjalankan tugasnya memantau integritas hakim dalam setiap persidangan. Hakim diawasi kinerjanya, apakah sesuai kode etik atau tidak. Jika ditemukan dugaan pelanggaran terhadap aturan, sudah pasti hakim tersebut ditindak sesuai mekanisme.
Methodius Kossay, koordinator Penghubung Komisi Yudisial RI provinsi Papua, mengemukakan hal itu menjawab suarapapua.com usai diskusi publik bertajuk “Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan Negeri Klas 1A Abepura Jayapura”, Kamis (20/4/2023) malam di sekretariat Kabesma Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.
“Komisi Yudisial sudah hadir di provinsi Papua. Mulai bulan November 2022 ada di sini. Sebagai salah satu lembaga negara, Komisi Yudisial tetap menjalankan tugas pokok dan fungsi sesuai amanat konstitusi yang berlaku di Indonesia untuk melakukan pemantauan ataupun pengawasan terhadap kinerja hakim dalam setiap persidangan. Itu pun datang dari dua hal, yaitu dari laporan masyarakat dan inisiatif Komisi Yudisial sendiri, sehingga dilakukan pemantauan kepada hakim,” jelasnya.
Meski lembaga negara yang dipimpinnya baru memasuki bukan kelima sejak dipercayakan negara, kata Metho, sapaan akrab Methodius Kossay, pihaknya terus menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KY di setiap persidangan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Diakuinya, dalam hal ini tentu butuh partisipasi publik agar bersama-sama mendukung tugas pengawasan terhadap kinerja hakim agar wujudkan peradilan bersih di Tanah Papua.
Metho bahkan mengaku telah mengawasi kinerja hakim, termasuk dalam perkara Victor Yeimo. Hanya saja, secara tertulis belum ada pengaduan atau laporan dari pengacaranya.
Dalam menjalankan Tupoksi KY, selain inisiatif sendiri, kata Metho, biasanya menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Karena itu, jika masyarakat menemukan adanya kejanggalan dari hakim, dipersilakan melapor ke Komisi Yudisial.
“Biasanya berdasarkan pengaduan atau laporan masyarakat, kami juga secara inisiatif tetap awasi kode etik hakim apakah sudah sesuai atau mungkin melanggar aturan dalam persidangan,” katanya.
Lanjut Metho, “Jika melihat adanya indikasi-indikasi serta laporan masyarakat soal ketidakprofesional hakim yang melanggar kode etik di dalam persidangan, maka masyarakat bisa melapor kepada kami dan selanjutnya kami akan menindaklanjuti laporan tersebut dan tentu ada sanksinya sesuai mekanisme.”
Sebelum sesi tanya jawab dengan mahasiswa, Metho memaparkan Tupoksi dari Komisi Yudisial yakni bertugas mengawasi integritas hakim dalam penerapan kode etik hakim.
Di hadapan mahasiswa Uncen, ia menjelaskan sejumlah hal penting sehubungan dengan hadirnya Komisi Yudisial di provinsi Papua. Kata Metho, kesempatan ini baik buat sosialisasikan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial.
“Komisi Yudisial baru hadir empat bulan, memang banyak yang belum tahu. Nah, dengan momentum seperti ini dapat kami sosialisasikan agar diketahui bersama. Setelah mulai tahu Komisi Yudisial sudah ada di provinsi Papua, tentunya siapapun bisa laporkan kalau temukan kejanggalan atau hakim melakukan dugaan pelanggaran. Pasti kami akan tindak lanjuti sesuai mekanisme yang ada,” jelas Metho.
Pria asal Lembah Balim ini juga berkesempatan mendengar sejumlah temuan masyarakat menyangkut kinerja hakim di berbagai persidangan sebagaimana disinggung mahasiswa dalam sesi tanya jawab dan diskusi.
Penghubung KY Wilayah Papua itu sendiri dikukuhkan 4 November 2022. Pelantikan berlangsung dari kantor Komisi Yudisial RI, Jalan Salemba Raya, Jakarta.
Menurut Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Komisi Yudisial sudah seharusnya dari lalu hadir di Papua, terutama di provinsi Papua. Meski baru empat bulan semenjak hadir di Jayapura, lembaga negara ini memainkan perannya dalam mengawal kinerja para hakim.
“Saya kira Komisi Yudisial memang sudah sepantasnya ada di Tanah Papua. Kita sambut kehadirannya. Dengan ini jelas tugasnya, memantau dan mengawasi kinerja hakim karena kadang juga merugikan klien kami,” kata Emanuel.
Salah satunya, ia sebutkan dalam perkara Victor Yeimo. Emanuel mencatat beberapa hal kurang beres dalam proses persidangan. Terakhir dengan dua kali penundaan sidang pembacaan tuntutan dengan alasan jaksa penuntut umum (JPU) belum siap bacakan tuntutan.
“Itu kan menjadi satu pertanyaan tersendiri, apalagi perkara dari klien kami sudah jadi perhatian publik. Kasus anti rasisme sampai nyangkut di kasus makar, semua pihak ikuti dan sedang menunggu apa putusannya. Harapan kami, putusannya harus adil,” ujarnya.
Penundaan dua kali sidang menurut Gobay, sudah dipertegas ada apa sebenarnya dengan hal itu hingga terjadi demikian? Karena itu, usai sidang kedua kembali ditunda, Komisi Yudisial telah diminta untuk awasi kinerja hakim juga.
Emanuel menambahkan, “Baik di perkara pidana maupun perdata, sudah merupakan tugas Komisi Yudisial untuk mengawasi kinerja hakim. Tentu sesuai mekanisme, ada ketentuan dan batasan sebagaimana diatur sebagai sebuah lembaga negara. Itu sudah pasti. Saya secara pribadi sampaikan selamat hadir Komisi Yudisial di provinsi Papua.”
Pewarta: Markus You