BeritaHMI Sorong Tolak Restorative Justice Atasi Kasus Kekerasan Seksual

HMI Sorong Tolak Restorative Justice Atasi Kasus Kekerasan Seksual

SORONG, SUARAPAPUA.com — Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Sorong menolak penyelesaian kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual secara restorative justice karena dianggap kedua tindakan kekerasan tersebut adalah tindakan kejahatan luar biasa.

Musdalifa, salah satu anggota HMI cabang Sorong yang juga ikut aksi damai, menyatakan, mereka melakukan aksi damai untuk menuntut Polresta Sorong terutama petugas penyidik untuk tidak mengambil jalur restorative justice sebagai solusi penyelesaian terhadap kasus rudapaksa anak di bawah umur berkategori kejahatan yang sifatnya extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.

“Aksi ini dilakukan karena meningkatnya tindakan pelecahan seksual maupun pemerkosaan di kota Sorong. Kemudian, adanya penyelesaian perkara pemerkosaan dilakukan secara restorative justice itu bukan solusi yang tepat untuk menangani kasus pemerkosaan maupun pelecehan seksual karena ini sudah masuk kejahatan luar biasa,” ujar Musdalifa kepada suarapapua.com di kota Sorong usai aksi damai, Kamis (22/6/2023).

Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

Sementara itu, menurut, Setyo Hastiarwo, salah satu pemerhati terhadap kekerasan perempuan di kota Sorong, tantangan yang dihadapi adalah setiap persoalan kekerasan yang diadukan ataupun didampingi selalu diselesaikan secara kekeluargaan atau restorasi justice. Menurutnya, pendekatan semacam ini tidak akan memutuskan mata rantai kekerasan karena tidak ada efek jera pada pelaku.

“Kadang kita dilema mau penjarakan suaminya. Istri datang minta laporannya dicabut. Diselesaikan secara keluarga. Sisi lainnya juga ketika suami dipenjara, siapa yang akan cari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menyelesaikan KDRT atau kekerasan seksual secara restorasi justice, saya kurang sepakat karena tidak dapat memutuskan rantai kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.

Baca Juga:  Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

Alfo Reba, salah satu aktivis HAM yang juga pernah mendampingi perempuan dan anak, mengatakan, di kota Sorong harus ada ruang privat bagi perempuan dan anak, apalagi sudah provinsi sendiri, perempuan bisa berani berbicara atau mengungkapkan setiap tindakan kekerasan yang dialaminya.

“Kota Sorong sudah provinsi sendiri, jadi harusnya ruang privat untuk perempuan dan anak segera dibangun. Perempuan tidak mungkin kasih telanjang diri di depan polisi. Mau sampaikan apa yang dialami, tetapi ada pelaku di sana, polisi lagi laki-laki, trada ruang yang aman buat perempuan dan anak mau bicara. Mental terganggu. Kalau ke ruang penyidik itu coba ada Polwan yang layani boleh. Kenapa polisinya laki-laki saja? Bagaimana perempuan mau bicara secara aman dan bebas?,” tutur Alfo.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Adapun tuntutan massa aksi HMI cabang Sorong:

  1. Mendesak Kapolresta Sorong agar mengevaluasi anggota kepolisian yang melakukan tindakan represif terhadap beberapa kader HMI cabang Sorong dalam aksi 15 Juni 2023.
  2. Mendesak Kapolresta Sorong untuk memastikan secara komprehensif bahwa setiap anggota penyidik Polresta Sorong kota benar-benar tersertifikasi dan berkompeten dalam penyelidikan kasus Rudapaksa terhadap anak di bawah umur.
  3. Mendesak penyidik Polresta Sorong untuk mengusut tuntas pelaku tindakan pelecehan maupun Rudapaksa yang terjadi di kota Sorong.
  4. Menuntut pihak Polresta Sorong agar segera menangkap oknum pelaku begal payudara di kota Sorong.
  5. Mendesak Kapolresta Sorong turun dari jabatannya jika tidak mampu menyelesaikan poin-poin sebagaimana yang dimaksud. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo Belum Seriusi Kebutuhan Penerangan di Kota Dekai

0
“Pemerintah kita gagal dalam mengatasi layanan penerangan di Dekai. Yang kedua itu pendidikan, dan sumber air dari PDAM. Hal-hal mendasar yang seharusnya diutamakan oleh pemerintah, tetapi dari pemimpin ke pemimpin termasuk bupati yang hari ini juga agenda utama masuk dalam visi dan misi itu tidak dilakukan,” kata Elius Pase.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.