Tanah PapuaDomberaiMenyikapi Industrialisasi di Tanah Papua, GPRP Tegaskan 7 Pernyataan Sikap

Menyikapi Industrialisasi di Tanah Papua, GPRP Tegaskan 7 Pernyataan Sikap

SORONG, SUARAPAPUA.com — Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) mendesak pemerintah Indonesia mencabut seluruh izin perusahaan perusak lingkungan di seluruh Tanah Papua.

Elias Hindom, sekretaris GPRP, menegaskan, pasca pemekaran daerah otonom baru (DOB) dalam kurun waktu setengah tahun di 2023 sangat gencar dengan kepentingan oligarki yang terus mengebiri ruang hidup rakyat Papua.

Diuraikan dalam siaran pers ke suarapapua.com, Minggu (30/7/2023), kepentingan negara melalui percepatan pembangunan yang digalang dengan dalil kesejahteraan dan pemerataan yang juga disusul oleh investasi untuk mewujudkan niat pemerintah, tetapi justru semakin menimbulkan keresahan masyarakat adat di atas Tanah Papua.

Hindom menilai hal ini menjadi ancaman bagi setiap wilayah adat, suku dan marga karena setiap meter sumber daya alam tanah, hutan, laut dan air digantikan hak kepemilikannya disertai dampak buruk yang mengikuti sebagai imbalan negara dan perusahaan.

“Jasa negara dan perusahaan yang diberikan terhadap masyarakat adat di atas tanahnya itu digantikan dengan beragam dampak buruk, seperti kerusakan lingkungan, hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat Papua yaitu sumber pangan protein hewani dan nabati, tempat warisan nenek moyang, sumber air, tempat aksesoris budaya, tanaman obat-obatan tradisional, hilangnya mata pencaharian, perubahan iklim, polusi udara, kekeringan, hingga melahirkan juga konflik antar marga, juga antar sesama masyarakat adat, maupun masyarakat adat dengan militer,” bebernya.

Hindom akui keresahan tiada henti dialami masyarakat adat Papua yang terus diperhadapkan dengan investasi dan konsep pembangunan piramida terbalik ke bawah, dimana model pembangunan dibuat berdasarkan kepentingan korporasi dengan melibatkan negara tanpa melihat kebutuhan rakyat akar rumput.

“Pada kenyataannya konsep pembangunan itu tidak diterima masyarakat luas di Papua karena tidak dilakukan sesuai kebutuhan rakyat maupun kearifan lokal setempat, namun pembangunan yang bersifat top down. Kebijakan-kebijakan itu terus dipaksakan dan terkadang melibatkan aparat militer,” ujarnya.

Dengan berbagai fakta yang terjadi di Tanah Papua hingga kini, kata Hindom, dengan melihat perjuangan masyarakat adat saat ini tidak ada yang bisa membantah bahwa masyarakat adat Papua justru semakin termarginalisasi dan terbelakang.

“Banyak persoalan yang dihadapi oleh kami orang asli Papua, seperti yang terlihat saat ini misalnya masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, masyarakat adat suku Moi di Sorong, masyarakat adat suku Mbaham Matta di Fakfak yang terus mengalami tekanan investasi,” ujar Elias.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Dukung Asosiasi Wartawan Papua Gelar Pelatihan Pengelolaan Media

Tidak salah bila kemudian muncul sikap perlawanan dari masyarakat adat. Salah satunya, tanggal 27 Juli 2023, sidang perkara nomor 6/LH/2023/PTUN.JPR melawan pemerintah provinsi Papua di PTUN Jayapura.

“Perlawanan ini dipicu oleh dugaan kesepakatan yang dibuat perusahaan dan pemerintah yang tidak melibatkan pemilik ulayat. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua nomor 82 tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan luas lahan seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di distrik Mandobo dan distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel. Hal ini dilakukan sewenang-wenang tanpa sepengetahuan pemilik ulayat, suku, marga, tetapi kemudian perusahaan mengambil lahan seluas 36.094,4 hektar yang dimiliki oleh masyarakat adat suku Awyu,” paparnya.

Dalam kurun waktu yang bersamaan, masyarakat adat suku Moi juga mengalami pencaplokan tanah seluas 91.148 hektar oleh perusahaan PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPP). Dampak kehilangan hak atas tanah dan segala sumber daya alam sebagai mata pencaharian dan tempat-tempat sakral yang terancam penggusuran itu meliputi sejumlah marga yang berada di enam distrik, yakni Sayosa, Sayosa Timur, Maudus, Salkma, Klayili, dan Wemak.

“Pemerintah dan perusahaan tidak patuh terhadap hak-hak masyarakat adat suku Moi yang sudah ada didalam Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat Moi,” kata Elias.

Saat ini kabupaten Fakfak dalam bayang-bayang investasi yakni kedua perusahaan skala besar yang dipersiapkan negara melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) dan Pabrik Smelter. Wilayah konsesinya direncanakan di kabupaten Fakfak, Papua Barat. PT PKT mulai merencanakan pembangunan pabrik baru pupuk di kawasan industri Fakfak. Kemudian PT Freeport Indonesia akan membangun pabrik pemurnian dan pengolahan mineral logam atau smelter konsentrat di kabupaten Fakfak juga.

Baca Juga:  Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

Dibalik pabrik industri pupuk ini ternyata ada satu perusahaan besar yaitu Genting Oil Kasuri Pte Ltd (GOKPL) yang telah melakukan penandatanganan Head of Agreement (HoA) untuk jual beli gas bumi. GOPKL juga akan dibuka di wilayah Fakfak untuk memasok gas ke pabrik pupuk.

“Dari fakta tersebut dapat kita analisa bahwa kesepakatan ini rentan bermasalah karena tidak melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah atas tanah yang menjadi target pemerintah dan perusahaan dari awal dan akan berpotensi konflik antar marga. Pertemuan awal di saat kedatangan Wapres di Fakfak pada bulan Juli telah menarik perhatian sebagian masyarakat. Ada tiga marga yaitu marga Fuad, marga Mury dan Marga Weripang yang mengklaim hak dengan mewakili marga lain. Terlepas dari pada marga, Petuanan Arguni juga menyatakan sikap tegas. Kedua kelompok ini di hadapan pemerintah saat itu langsung mengeluarkan pernyataan sikap untuk mendukung PSN kedua investasi besar itu,” urainya.

Hindom menyebut dari ketiga daerah ini menggambarkan kondisi masyarakat adat sedang dalam bahaya, menghadapi ancaman oleh setiap investasi dan rancangan pembangunan yang digarap pemerintah pusat dan daerah yang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat di Papua.

“Hutan telah dirampas oleh para investor, kebebasan berpolitik sebagai orang asli Papua yang tertuang dalam Undang-Undang Otsus pun tidak berfungsi, tentu sangat menggantungkan nasib rakyat Papua ke dalam kekuasaan pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Berdasarkan data tersebut, Elias menegaskan, negara Indonesia telah melanggar Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) mengakui bahwa masyarakat adat memiliki hak khusus yang dikenal sebagai free, prior, and informed consent (FPIC), Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM maupun Putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat bukan hutan negara.

Menteri ESDM Arifin Tasrif saat serahkan revisi Plan of Development (POD) I Lapangan Asap, Kido dan Merah serta penandatanganan HoA antara KKKS Genting Oil dengan PT PKT, mengungkapkan, revisi POD dilakukan karena adanya perubahan atas revisi POD I di lapangan tersebut serta persetujuan POD I gas inplace dan besaran cadangan yang ditemukan.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

“Sehubungan dengan penambahan potensi produksi gas di lapangan Asap, Kido dan Merah wilayah Kasuari Papua Barat, maka Pemerintah melakukan revisi POD I di lapangan tersebut. Perubahan atas persetujuan POD I untuk gas inplace dari 1.735 BSCFD menjadi 2.673,7 BSCF, dan perubahan cadangan dari 1.031,33 BSCF menjadi 2.244,45 BSCF,” kata Arifin, dilansir Niaga Asia, Rabu (8/2/3023).

“Produksi dari lapangan gas ini akan diperuntukkan untuk membangun satu pabrik pupuk di Papua dan membangun pabrik LNG,” lanjutnya.

Alasan membangun pabrik pupuk di Papua, imbuh Arifin, karena nilai strategis Papua yang masih memiliki lahan yang luas untuk dikembangkan sektor pertaniannya guna mendukung jaminan ketahanan pangan bagi Indonesia di masa mendatang.

Dengan mencermati realita yang terjadi di Tanah Papua dan secara khusus tiga daerah yang saat ini sedang berada dalam kepungan investasi, maka GPRP dengan tegas menyampaikan beberapa pernyataan sikap.

Pertama, kami menolak dengan tegas rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan luas lahan seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di distrik Mandobo dan distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel.

Kedua, kami menolak dengan tegas kehadiran perusahaan PT HHPP di atas tanah adat suku Moi. Berdasarkan peraturan daerah (Perda) kabupaten Sorong nomor 10 tahun 2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi.

Ketiga, kami menolak rencana pembangunan industri pabrik pupuk Kaltim (PKT) di atas tanah adat suku besar Mbaham Matta, kabupaten Fakfak.

Keempat, mengecam kebijakan pemerintah pusat dalam rencana pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral logam atau smelter konsentrat di kabupaten Fakfak.

Kelima, mengecam tindakan klaim sepihak yang mengatasnamakan masyarakat (marga) lain untuk ikut serta dalam mendukung rencana pembangunan industri pabrik pupuk (PKT) di Fakfak.

Keenam, mengutuk keras tindakan pemerintah Indonesia terlibat dalam kejahatan dengan memuluskan investasi besar-besar yang memicu kasus pelanggaran HAM, konflik horizontal dan vertikal serta kehancuran ekologis di Tanah Papua.

Ketujuh, menuntut dengan tegas kepada pemerintah Indonesia agar segera mencabut seluruh izin investasi dari atas Tanah Papua. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.