Tanah PapuaMeepagoMasyarakat Amungme Tolak Perusahaan Migas Masuk Agimuga

Masyarakat Amungme Tolak Perusahaan Migas Masuk Agimuga

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Menyikapi rencana perusahaan raksasa akan masuk ke distrik Agimuga, kabupaten Mimika, Papua Tengah, untuk mengelola sumber minyak dan gas (Migas), ditentang keras masyarakat suku Amungme di Timika.

Sikap tolak masyarakat suku Amungme terhadap rencana eksplorasi Migas di Agimuga dilakukan dengan menggelar aksi demonstrasi di kantor DPRD Mimika, jalan Cenderawasih Timika, Senin (30/10/2023).

Dalam orasinya, Damaris Onawame, koordinator aksi damai, menyatakan, aksi penyampaian aspirasi ini karena mendapat informasi bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan lelang untuk memulai eksplorasi tambang Migas di Agimuga. Tetapi rencana proyek raksasa itu tanpa sepengetahuan masyarakat adat Amungme di distrik Agimuga.

“Masyarakat Amungme dari distrik Agimuga dengan tegas menolak adanya kegiatan apapun dari perusahaan Migas di wilayah adat Agimuga,” ujar Damaris Onawame saat berorasi di depan pintu gerbang kantor DPRD Mimika.

Rencana eksplorasi Migas di Agimuga bagian dari Blok Warim yang sedang digadang-gadang pemerintah Indonesia sebagai harta karun Migas dari Tanah Papua. Sedangkan, wilayah Agimuga itu sendiri terletak di kawasan Taman Nasional Lorentz.

Masyarakat Amungme menyatakan menolak kehadiran perusahaan Migas beroperasi di distrik Agimuga, kabupaten Mimika, Papua Tengah. (Ist)

Pernyataan penolakan juga disampaikan seluruh komponen masyarakat suku Amungme. Baik kaum intelektual, mahasiswa, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, kepala kampung Agimuga, juga dewan adat Amungme (Lemasa). Semua satu nada: tolak rencana beroperasinya perusahaan tambang Migas di Agimuga.

Baca Juga:  KPU Deiyai Tuntaskan Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 Tingkat Kabupaten

Bersama sejumlah pamflet, sebuah spanduk besar dengan tulisan “Kami masyarakat adat di Timika dengan tegas menolak pembukaan pertambangan Migas di Agimuga” turut dibentangkan dalam aksi ini.

Massa aksi diterima langsung wakil ketua I DPRD Mimika, Aleks Tsenawatme, didampingi beberapa anggota dewan: Karel Gwijangge, Mathius Uwe Yanengga, Thobias Maturbongs, dan Aloysius Paerong.

Usai semua perwakilan berorasi, Damaris Onawame di hadapan anggota DPRD Mimika membacakan enam tuntutan.

Pertama, segera cabut izin lelang pembangunan perusahaan Migas di Agimuga.

Kedua, mendukung semua perjuangan masyarakat adat di seluruh di wilayah Tanah Papua.

Ketiga, selesaikan semua kasus pelanggaran HAM mulai dari tahun 1967 sampai sekarang.

Keempat, segera hentikan rencana pemekaran kabupaten Agimuga.

Kelima, segera hentikan 49 kontraktor yang akan beroperasi di Tanah Amungsa.

Keenam, kami mendukung perjuangan masyarakat adat di Indonesia, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku yang dalam perampasan lahan oleh investor.

Anton Kobogau, salah satu mahasiswa Amungme, dalam orasinya mengingatkan kepada wakil rakyat agar aspirasi penolakan yang telah disampaikan itu dapat diperjuangkan hingga benar-benar terealisasi.

Baca Juga:  Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

Menanggapi tuntutan tersebut, wakil ketua I DPRD Mimika selain berterima kasih kepada masyarakat karena aspirasi sudah disampaikan dengan baik, juga menyatakan akan ditindaklanjuti sesuai prosedur.

“Masyarakat sudah sampaikan aspirasi penolakan terhadap beroperasinya perusahaan Migas di Agimuga. Terima kasih, isu ini mungkin sebagian anggota DPRD belum tahu. Setelah aspirasi sudah kami terima, sehingga selanjutnya akan ditindaklanjuti sesuai dengan perundang-undangan dan mekanisme di lembaga DPRD,” kata Aleks Tsenawatme.

DPRD Mimika melalui salah satu anggotanya, Karel Gwijangge, meminta masyarakat menyebutkan nama perusahaan yang akan kelola Migas di Agimuga. Hal ini menurutnya, jika sudah dipastikan dewan bisa memanggil perusahaan tersebut.

Sikap Mahasiswa

Mahasiswa Papua asal kabupaten Mimika juga mendukung keputusan masyarakat adat Amungme terhadap rencana eksplorasi tambang Migas di Agimuga.

Dukungan mahasiswa Mimika sebagaimana ditegaskan Korwil Bali, pada prinsipnya menolak adanya pembukaan tambang Migas di distrik Agimuga, kabupaten Mimika.

Setidaknya terdapat tiga pernyataan sikap mahasiswa Mimika, sebagaimana tertera dalam siaran persnya, Senin (30/10/2023).

Pertama, kami menolak dengan tegas pembukaan pertambangan minyak dan gas di distrik Agimuga, kabupaten Mimika, Papua Tengah.

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

Kedua, jangan mengambil hak-hak masyarakat adat.

Ketiga, berikan ruang demokrasi bagi masyarakat adat sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di negara Indonesia.

Ditegaskan, apapun kebijakan pemerintah seharusnya dilakukan secara terbuka dan mendapat persetujuan dari masyarakat setempat. Kenyataannya banyak kebijakan pemerintah yang bermasalah dan merugikan masyarakat adat. Meski mendapat penolakan dari masyarakat, tetap saja dijalankan demi kepentingan investor semata.

Fakta tersebut dianggap satu problematika besar di tengah masyarakat adat yang sudah tak lagi didengarkan aspirasinya.

Oleh karenanya, seluruh mahasiswa Mimika dan mahasiswa Papua umumnya diajak terlibat aktif dalam mengkampanyekan sikap tolak masyarakat Amungme terhadap perusahaan Migas di Agimuga sekalian dengan semua perusahaan asing di Tanah Papua.

Sementara itu, Otis Tabuni, tokoh muda Papua, menyatakan tetap mendukung masyarakat adat dan menolak rencana Agimuga dijadikan pusat eksplorasi Migas.

“Rencana beroperasinya pertambangan minyak dan gas di Agimuga adalah bagian dari kejahatan konstitusi. Penguasa menggunakan kekuasaan untuk mengklaim demi menghancurkan semua hal yang berkaitan dengan masyarakat adat adalah memperkosa konstitusi dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia,” ujar Otis. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.