Calon DPRP dan DPRK Jalur Pengangkatan Tidak Gadaikan Tanah Adat

0
53

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Beny Mawel, Wakil Ketua MRP Papua Pegunungan mengatakan, proses seleksi anggota parlemen jalur pengkatan 8 kabupaten di Provinsi  Papua Pegunungan  dan kursi pengkatan Provinsi Papua Pegunungan telah dan sedang memasuki tahap akhir.

Namun dalam proses akhir ini kata Mawel, banyak rumor dan keluhan sesama calon yang muncul. Bahkan menjadi rahasia publik bahwa oknum-oknum calon tertentu melakukan lobi politik dengan akan menyerahkan  tanah adat kepada pemerintah untuk pembangunan fasilitas kantor pelayanan publik.

“Saya heran calon anggota parlemen pengangkatan gadaikan tanah adat, sementara tugas dan kewenangan anggota parlemen jalur pengamatan untuk memperjuangkan hak-hak orang asli Papua, termasuk perlindungan  hak-hak atas tanah dari caplok dan klaim hilang begitu saja, kata Mawel dalam pernyataannya kepada Suara Papua pada 5 April 2025.

Ia mengatakan, “saya tidak habis pikir, mereka sebelum masuk, bahka mau masuk ke parlemen untuk melindungi tanah adat dari caplok dan klaim, tetapi sudah melakukan klaim bahwa mereka yang punya lahan. Mereka yang punya tanah adat dan akan menyerahkan lahan, sementara, faktanya, kepemilikan tanah adat di Jayawijaya ini komunal. Tanah adalah milik bersama klen marga, konfederasi, aliansi bahkan suku,” kata Mawel.

Katanya, jikapun kepemilikan komunal, apakah benar-benar janji itu akan diwujudkan. Misalnya tanah hukum adat masyakat Welesi untuk pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan, yang mana dianggap telah sepakat, tetapi karena kepemilikan komunal, maka prosesnya belum selesai. Masih terjadi pro dan kontra hingga hari ini, yang akibatnya belum dilakukan pembangunan kantor tersebut.

ads
Baca Juga:  Bupati Lanny Jaya Berharap 649 Siswa-siswi Usai Ujian Jaga Kesehatan Untuk Lanjut Kuliah

Mawel yang adalah mantan wartawan ini mengatakan, pengalaman pembangunan kantor gubernur yang belum selesai tersebut harus menjadi indikator dan pelajaran penting bagi pemerintah dan tim seleksi DPRK/DPRP agar tidak mudah mempercayai janji-janji oknum calon.

“Janji oknum-oknum itu perlu kita pertanyakan, apakah benar akan ada penyerahan dan pembangunan dengan mulus? Jangan sampai janji tidak terealisasi, jangan sampai janji hanya trik licik untuk merebut jabatan yang punya tugas dan kewenangan mulia itu.”

“Saya anggota MRP perwakilan agama Katolik, pimpinan Uskup Jayapura yang sedang kampanye jaga keluarga, jaga adat dan jaga gereja maka berharap para calon tidak gadaikan nasib masyakat adat. Tim seleksi tidak cepat percaya oknum-oknum calon yang gadaikan tanah demi jabatannya sementara kursi ini ada untuk memperjuangkan hak-hak orang asli Papua, termasuk hak atas tanah. Masuk saja gadaikan tanah, apa lagi setelah jadi, tanah adat terancam,” tukasnya.

Ia mengatakan, orang-orang yang gadaikan tanah tidak layak menduduki jabatan tersebut. Orang-orang yang mencari keuntungan diri sendiri dengan menjual dan mengadaikan nasib hidup orang lain tidak layak menduduki jabatan yang akan bertugas mengawasi pelaksanaan amanat UU Otonomi Khusus Papua.

Mestinya kata dia orang-orang profesional, orang-orang yang paham UU Otonomi Khusus, orang-orang yang telah terbukti dalam kehidupan harian dan profesinya yang mestinya bekerja untuk memenuhi hak-hak orang asli Papua Pegunungan. Merekalah yang layak dan harus ditetapkan sebagai calon anggota legislatif kursi pengkatan.

Baca Juga:  Murib-Elopere Disambut Meriah, Bupati Jayawijaya Bicara Hal Penting Usai Serah Terima Jabatan

Menurutnya, pembangunan fasilitas umum itu sesuatu yang tidak bisa ditolak, bagian dari konsekuensi  orang Papua Pegunungan menerima daerah otonomi baru. Maka, MRP, pemerintah daerah dan parlemen kerja sama membangun komunikasi dengan masyarakat adat untuk menyepakati penempatan lokasi dan pembangunan kantor.  Pembangunan akan berjalan dengan mulus untuk Papua Pegunungan yang lebih baik.

“Kuncinya Pemerintah harus dekati masyakat adat secara menyeluruh, bukan orang per orang yang gadaikan tanah. Kalau bicara bersama, dimediasi MRP dan pemerintah, parlemen, saya yakin dan pasti masyakat sepakat memberi tempat yang memang layak dan tidak merusak tempat keramat, pasti pembangunan akan berjalan mulus,” pungkasnya.

Serupa disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Pegunungan dari Dapil 7 Pegunungan Bintang, Apia Lepitalen. Ia nilai seleksinya tidak sesuai keinginan rakyat. Ada indikasi permainan kepentingan di dalamnya.

Kinerja para Pansel DPRP Papua Pegunungan dianggap tidak memuaskan. karena tidak transparan dalam proses seleksi.

“Alasannya karena yang kami lihat hasil daripada perekrutan DPR Papua Pegunungan ini yang lolos hanya orang-orang dekat Pansel saja, bukan berdasarkan syarat dan aturan main yang ditetapkan UU Otsus, “ katanya dikutib dari Jubi.

Baca Juga:  Pemkab Lanny Jaya Lanjut Kerja Sama dengan BPJS Kesehatan

Lepitalen mengatakan, pihaknya bersama masyarakat dari daerah pemilihan 7 Pegunungan Bintang, menolak tegas hasil penetapan Pansel. Salah satunya karena diloloskan dari Dapil 7 Pegubin adalah mantan caleg DPR Papua Pegunungan Dapil 7 Pegunungan Bintang, dari Partai Perindo pada Pileg 2024.

“Saudari Yulita Gebze, yang diloloskan Pansel itu mantan Caleg DPR Papua Pegunungan dari daerah pemilihan 7 yaitu Pegunungan Bintang pada pemilihan legislatif tahun 2024. Dia juga bukan anak asli Pegunungan Bintang. Tapi dapat diloloskan karena ada keluarga yang menjadi anggota Timsel DPR Papua Pegunungan . Itu bertentangan dengan aturan Otonomi khusus yang mana dapat menyalahi prosedur rekrutan DPRP ini, “ ujarnya.

Sementara, masyarakat adat Welesi tetap menolak terkait rencana pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan di sekitaran Wouma, Wamena. Menurut mereka, wilayah itu merupakan wilayah sengketa dan dimiliki secara komunal, bukan satu dua marga, sehingga tidak bisa mengadaikan hak-hak bersama itu.

Termasuk pihaknya menolak rencana pelaksanaan acara syukuran dengan bakar batu menyambut Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Pegunungan di Wilayah Wouma, Kabupaten Jayawijaya, lokasi rencana pembangunan kantor gubernur.

Pemilik ulayat merasa persoalan lokasi masih bersengketa atau belum ada persetujuan, sehingga masih sebagai lokasi untuk masyarakat berkebun.

“Selama proses pembangunan kantor gubernur lahannya masih bermasalah, tidak boleh dilakukan aktivitas apapun di situ,” kata Bonny Lanny, salah satu pemilik hak ulayat.

Artikel sebelumnyaAksi Ajudan Kapolri Meninju Wartawan Dikecam AJI dan PFI
Artikel berikutnyaSolidaritas Kristen Internasional Serukan Perlindungan Terhadap Hak Masyarakat Adat Papua