Nasional & DuniaDunia Mengutuk Vladimir Putin, Mengapa Diam Atas Penderitaan Orang Papua?

Dunia Mengutuk Vladimir Putin, Mengapa Diam Atas Penderitaan Orang Papua?

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Benny Wenda, Presiden Sementara Gerakan Pembebasan Bersatu Papua Barat (ULMWP) mengatakan bahkan ketika dunia memandang tindakan kengerian pada invasi Rusia, orang Papua Barat merasakan kedekatan khusus dengan orang-orang Ukrania.

“Kami merasakan teror mereka, kami merasakan rasa sakit mereka dan solidaritas kami dengan pria, wanita, dan anak-anak Ukraina. Kami melihat penderitaan mereka dan kami menangisi hilangnya nyawa tak berdosa, pembunuhan anak-anak, pengeboman rumah mereka, dan untuk trauma pengungsi yang terpaksa mengungsi dari komunitasnya,” kata Benny Wenda.

Benny Wenda mengatakan para pemimpin dunia telah berbicara untuk mengutuk tindakan Vladmir Putin, dan memuji keberanian dan semangat Ukraina dalam perlawanan mereka; saat mereka membela keluarga mereka, rumah mereka, komunitas mereka, dan identitas nasional mereka.

Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

Namun dia mempertanyakan mengapa dunia diam selama lebih dari setengah abad konflik di Papua Barat.

“Antara 60-100,00 orang saat ini mengungsi, tanpa dukungan atau bantuan apa pun. Ini krisis kemanusiaan [yang terjadi di tanah Papua],” kata Benny Wenda.

“Perempuan dipaksa melahirkan di semak-semak tanpa bantuan medis. Anak-anak kekurangan gizi dan kelaparan. Orang-orang kami telah menderita, tanpa mata dunia menyaksikan selama hampir 60 tahun.”

Sementara kata Wenda perwakilan tetap Indonesia untuk PBB menyebut serangan militer di Ukraina tidak dapat diterima dan menyerukan perdamaian.

Tapi dia mengklaim pada hari yang sama dengan alamat itu, tujuh anak sekolah ditangkap, dipukuli dan disiksa oleh militer Indonesia di Papua Barat. Dan salah satu anak laki-laki, Makilon Tabuni kata Wenda telah meninggal karena luka-lukanya.

Baca Juga:  PBB Memperingatkan Dunia yang Sedang Melupakan Konflik Meningkat di RDK dan Rwanda

“Militer Indonesia sengaja menyasar anak muda, generasi penerus. Ini untuk menghancurkan semangat kita dan mematikan harapan kita,” lanjutnya.

“Ini adalah anak-anak kami yang anda siksa dan bunuh, dengan impunitas. Apakah mereka bukan ‘warga sipil yang tidak bersalah’, atau apakah hidup mereka kurang berharga?”

Oleh sebab itu, Wenda menegaskan agar Indonesia harus mengizinkan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, organisasi bantuan kemanusiaan dan wartawan internasional bisa akses ke tanah Papua Barat.

Dengan demikian ia berpesan kepada Indonesia bahwa, “Masyarakat internasional telah tahu dan anda tidak dapat terus menyembunyikan rahasia memalukan anda lagi.”

Baca Juga:  Paus Fransiskus Segera Kunjungi Indonesia, Pemerintah Siap Sambut

“Seperti rakyat Ukraina, Anda tidak akan menghancurkan semangat kami, Anda tidak akan mencuri harapan kami dan kami tidak akan menyerah pada perjuangan kami untuk bebas dari Indonesia,” katanya.

Atas pernyataan PBB soal Papua, Kedutaan Besar Indonesia telah menanggapi dan mengatakan “kami sangat menyesalkan komentar menyesatkan terkait agresi di Ukraina dengan situasi di provinsi Papua di Indonesia. Yang jelas menyangkal aspek sejarah dan hukum yang relevan di sekitarnya. Pemerintah Indonesia juga ingin menggarisbawahi bahwa telah dilakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Diduga Dana Desa Digunakan Lobi Investasi Migas, Lembaga Adat Moi Dinilai...

0
"Tim lobi investasi migas dibentuk secara sepihak dalam pertemuan itu dan tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat adat di wilayah adat Klabra. Dan permintaan bantuan dana tidak berdasarkan kesepakatan masyarakat dalam musyawarah bersama di setiap kampung. Maka, patut diduga bahwa dana tersebut digunakan untuk melobi pihak perusahaan," tutur Herman Yable.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.