PolhukamHAMRespons Natalius Pigai Terhadap Vonis Bebas Terdakwa Kasus HAM Berat Paniai

Respons Natalius Pigai Terhadap Vonis Bebas Terdakwa Kasus HAM Berat Paniai

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Vonis bebas kepada terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu dalam kasus pelanggaran HAM Berat Paniai 2014, disoroti Natalius Pigai, aktivis kemanusiaan yang juga mantan Komisioner Komnas HAM RI.

Natalius Pigai menilai pengadilan HAM perkara Paniai di Pengadilan Negeri Makassar merupakan proses hukum sepihak tanpa keterlibatan keluarga korban. Putusan yang dijatuhkan sangat tidak memenuhi rasa keadilan keluarga korban.

“Setelah kasus Paniai terjadi, tim Komnas HAM turun investigasi. Fakta lapangan sudah jelas. Kami berusaha dorong kasus Paniai diproses. Dalam perkembangannya ada banyak tekanan hingga beberapa tahun kemudian baru tetapkan hanya satu tersangka. Ini data dari mana? Keluarga korban tidak dilibatkan dalam seluruh proses pengadilan, dan putusannya vonis bebas. Itu sepihak,” ujarnya dari Jakarta, Sabtu (10/12/2022).

Pigai tidak pernah setuju proses pengadilan kasus HAM Paniai tanpa keterlibatan keluarga korban, karena sudah dipastikan justru pembelaan dari para pelaku di ruang sidang.

“Keluarga tidak ikut serta dalam proses hukum. Seharusnya pemerintah tidak lakukan proses hukum. Terkesan dipaksakan, dan itu namanya proses hukum sepihak,” tegas Pigai.

Dikatakan proses hukum sepihak, karena dari awal memang pihak keluarga tidak dilibatkan. Bahkan dalam penetapan terdakwa terkesan sepihak dengan menyeret hanya satu oknum tentara tanpa menyinggung pelaku lain yang diduga kuat terlibat dalam insiden berdarah, baik pada tanggal 7 maupun 8 Desember 2014.

Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

“Semua sudah ketahui bahwa dari sejak awal pengadilan itu tanpa ada keterlibatan keluarga korban. Tanpa didampingi aktivis hak asasi manusia, termasuk saya juga,” katanya.

Dari hasil investigasi Komnas HAM di lapangan, kata Pigai, tragedi Paniai berdarah merupakan kasus pelanggaran HAM yang melibatkan banyak kesatuan yang bertugas di kabupaten Paniai kala itu.

“Menurut catatan saya, kasus Paniai lebih tepatnya dalam konteks kejahatan HAM adalah tindakan joint criminal enterprise. Karena ada unsur komando, pelakunya TNI AD, Paskas AU, Kesatuan Tempur dan Teritorial serta Polisi. Jadi, pelakunya hanya hanya satu saja, itu sangat tidak mungkin. Karena itu kami anggap tidak ada pengadilan yang efektif,” ujar Natalius.

Tidak hanya Natalius Pigai. Banyak pihak kecewa dengan vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim dalam sidang pembacaan putusan di PN Makassar, Kamis (8/12/2022).

Filep Wamafma, wakil ketua Komite I DPD RI, salah satunya yang menyayangkan putusan tersebut.

Terdakwa tunggal kasus Paniai dibebaskan dari jeratan hukum, kata Wamafma, patut disesalkan.

Dalam catatan yang diterima media, ia menyatakan, “Sebenarnya dari awal saya berharap agar kasus Paniai bisa menjadi titik preseden bagi tegaknya marwah penegakan hukum HAM di Papua. Tetapi, ternyata ekspektasi saya berlebihan. Terdakwa divonis bebas.”

Senator asal Papua Barat itu menilai vonis bebas tersebut secara psikologis melemahkan semangat para pegiat HAM untuk mengembalikan martabat orang asli Papua yang sudah lama bertumpah darah.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

Secara prosedural, hakim diakui telah menjalankan tugasnya. Tetapi hakim memiliki tugas untuk menemukan kebenaran materil. Karena itu, ia meragukan putusan pengadilan tersebut benar-benar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.

“Adanya dissenting opinion saja sudah menunjukkan ketidaksepahaman hakim dalam menemukan kebenaran materil kasus ini,” imbuhnya.

Wamafma berharap ada upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan hakim tersebut, setidaknya berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam proses pengadilan.

“Harus ada upaya hukum berupa banding agar masyarakat sama-sama membuktikan bahwa dissenting opinion dalam kasus tersebut benar-benar beralasan.”

Lanjut Filep Wamafma, “Yang kita sama-sama cari adalah keadilan. Jika ujungnya bebas, jangan-jangan malah kasus ini akhirnya tetap dibuat jadi misteri.”

Menanggapi putusan vonis bebas tersebut, Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan, penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM Berat Paniai perlu dibuka kembali.

Usman menilai, kendati terdakwa divonis bebas, majelis hakim dalam putusannya menilai pembunuhan yang dilakukan anggota militer terhadap warga sipil di Paniai merupakan serangan sistematis, sehingga termasuk kejahatan kemanusiaan.

“Pengadilan mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan, namun tanpa pelaku. Negara harus segera membuka kembali penyelidikan kasus Paniai. Semua pelaku diinvestigasi dengan segera, efektif, menyeluruh, tidak memihak dan jika ada cukup bukti, diadili dalam persidangan yang adil di hadapan pengadilan yang berkompeten dan adil,” ujar Usman di Jakarta, Jumat (9/12/2022).

Baca Juga:  LBH Papua Soroti Penangkapan Pelajar dan Interogasi Guru Akibat Mencoret Pakaian Seragam Bermotif BK

Pembebasan Isak Sattu menurutnya menjadi pengingat bagi seluruh pihak bahwa para prajurit yang bertanggung jawab secara pidana dalam penembakan 8 Desember 2014 masih buron.

Diberitakan media ini sebelumnya, Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menyikapi putusan vonis bebas tersebut, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera lakukan penyidikan kembali berkas perkara kasus pelanggaran HAM Berat Paniai dan menetapkan tersangka baru untuk dilakukan penuntutan baru atas kasus pelanggaran HAM Berat Paniai.

“Ketua Komnas HAM RI segera menyurati Kepala Kejaksaan Agung RI untuk melakukan penyidikan kembali berkas perkara kasus pelanggaran HAM Berat Paniai dan menetapkan tersangka baru untuk dilakukan penuntutan baru atas kasus pelanggaran HAM Berat Paniai,” ujarnya.

LBH Papua juga menegaskan, kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum kasasi atas putusan bebas kasus pelanggaran HAM Berat Paniai.

Desakan sama dialamatkan kepada ketua Komnas HAM RI agar segera menyurati Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk perintahkan JPU melakukan upaya hukum kasasi atas putusan bebas tersebut.

Kasus pelanggaran HAM Berat Paniai diproses setelah delapan tahun berlalu.

Selain belasan orang menderita luka-luka, empat pelajar: Alpius You, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei, tewas dalam tragedi Paniai Berdarah, 8 Desember 2014.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

BREAKING NEWS: 10 Kantor OPD di Kabupaten Sorong Dipalang

0
Sedikitnya sepuluh gedung perkantoran di lingkungan pemerintah kabupaten Sorong dipalang para pengusaha asli Papua, Senin (13/5/2024) karena kecewa tak pernah diberdayakan. Hingga sore ini palang belum dibuka sambil menunggu jawaban pemerintah daerah dalam pertemuan yang sedang berlangsung di kantor bupati Sorong.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.