PolhukamHAMPelanggaran HAM di Papua Kian Subur, KNPB: Referendum Solusinya

Pelanggaran HAM di Papua Kian Subur, KNPB: Referendum Solusinya

SENTANI, SUARAPAPUA.com — Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, kekuasaan Indonesia atas West Papua selama 61 tahun tidak menjamin hak hidup orang Papua bahkan terancam punah di tanah air sendiri.

Agus Kossay, ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dalam siaran pers mengungkapkan hal itu dalam rangka peringatan hari HAM Sedunia, Sabtu (10/12/2022).

“Keberadaan pemerintahan Indonesia di Papua berdasarkan hukum internasional tidak mengikat dan ilegal. Status pemerintah sementara selama 61 tahun berkuasa di West Papua berdasarkan perjanjian New York 1962 dimana PBB amanatkan pemerintahan di West New Guinea (West Papua) kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA),” kata Agus.

Pada 1 November 1962, administrasi pemerintahan West Papua dari Belanda serahkan ke pemerintahan sementara PBB (UNTEA) dan tugasnya sebagai pemerintahan hanya 7 bulan terhitung 2 November 1962 sampai 1 Mei 1963.

“Atas desakan Indonesia dan Amerika Serikat, UNTEA serahkan administrasi pemerintahan West Papua kepada Indonesia berdasarkan Roma Agreement 30 September 1962. Status pemerintahan West Papua diserahkan dari UNTEA ke Indonesia statusnya sementara, bukan pemerintahan resmi,” bebernya.

Agus menjelaskan tugas pemerintahan sementara Indonesia untuk persiapkan proses pelaksanaan referendum berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962.

“Pelaksanaan Pepera 1969 di Papua direkayasa dan dimenangkan militer Indonesia dan melaporkan kepada PBB hasil manipulasi dan rekayasa militer bahwa orang asli Papua memilih bergabung dengan Indonesia. Padahal Pepera dilaksanakan tidak sesuai dengan perjanjian New York Pasal 18 tentang satu orang satu suara, hanya 1.025 saja yang memilih bergabung Indonesia dibawah tekanan militer. Ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh Indonesia,” kata Agus mengutip sejarah.

Hasil Pepera 1969 diperdebatkan di PBB. 42 negara dipimpin Afrika dan Karibia menolak hasil Pepera karena tidak demokratis dan usulkan referendum ulang di West Papua.

“14 Negara mendukung Indonesia dan setuju hasil Pepera yang dilaporkan, sedangkan 30-an negara lainnya abstain atau tidak memberikan suara. Perdebatan alot terjadi di PBB, tidak ada satu resolusi yang diadopsi bahwa West Papua bagian dari Indonesia. Akibatnya, ada kesepakatan Belanda dan Indonesia sepakat membangun Papua selama 25 tahun. Sehingga atas dasar kesepakatan itulah PBB menulis nomor perkara dalam agenda PBB dengan nomor 2504 dengan catatan Indonesia dan Belanda membangun Papua selama 25 tahun administrasi West Papua dikembalikan ke PBB untuk referendum ulang berdasarkan usulan 42 negara yang menolak hasil Pepera yang tidak demokratis itu,” lanjutnya.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Dari proses tersebut, keberadaan Indonesia saat ini di Papua ujar Agus, ilegal. Rakyat Papua dalam cengkraman kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme.

“Kondisi objektif rakyat Papua hari ini mengantarkan kita pada sebuah kesadaran penuh bahwa hidup kita sebagai manusia Papua penuh dengan penderitaan dan tersingkir dalam jurang penindasan berlapis, yang membuat kita seperti sedang menunggu kapan kematian itu datang menjemput kita. Penindasan rakyat Papua hari ini tidak terlepas dari hadirnya kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme, yang memasung tubuh dan pikiran kita dalam rantai penjajahan, penjarahan dan penghisapan.”

1 Desember sebagai hari manifesto politik Papua Barat, menurutnya, momentum untuk mengenang kembali sejarah bahwa kemerdekaan hanya berusi 19 hari lantaran digagalkan kekuasaan kolonial.

“Kemerdekaan Papua Barat adalah bencana bagi Indonesia,” kata Kossay.

Kemerdekaan Papua Barat disambut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikumandangkan Soekarno di Alun-alun utara Yogyakarta, 19 Desember 1961.

Adapun isi Trikora:

  1. Gagalkan negara boneka buatan Belanda.
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Sejak Trikora dikumandangkan, operasi militer mulai digencarkan dengan leluasa, menyiksa hingga membunuh rakyat Papua. Tercatat 16 operasi militer terjadi sejak 1962 hingga 2004 di seluruh Tanah Papua Barat.

Dimulai Operasi Komando Mandala (1962), Operasi Wisnumurti I dan II (1963-1964), Operasi Wisnumurti III dan IV (1964-1966), Operasi Baratayudha (1966), Operasi Sadar, Operasi Baratayudha dan Operasi Wibawa (1968), Operasi Pamungkas (1970-1974), Operasi Koteka, Operasi Kikis (1977-1978), Operasi Sapu Bersih (1978-1984), Operasi Sate (1984), Operasi Galak I (1985-1987), Operasi Galak II (1986-1987), Operasi Kasuari I dan II (1987-1989), Operasi Rajawali I dan II (1989-1991), Operasi Pengamanan Daerah Rawan (1998-1999), Operasi Pengendalian Pengibaran (1999-2002), dan Operasi Penyisiran di Wamena (2002-2004).

Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

Bahkan, kata Kossay, operasi militer terus berlanjut hingga sekarang.

“Dalam tahun ini Polda Papua melakukan 11 operasi dengan sandi dan sasaran yakni Operasi Aman Nusa, Operasi Bina Kusuma, Operasi Nemangkawi, Operasi Damai Cartenz, Operasi Ketupat, Operasi Amole, Operasi Lilin dan Operasi Zebra.”

Lanjut Kosay, “Dalam tahun ini ada delapan daerah operasi militer dengan penyisiran hingga menyebabkan masyarakat sipil lari dan mengungsi yakni di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Mimika, Maybrat, dan Kepulauan Yapen. Puluhan ribu warga sipil sedang berada dalam pengungsian sebagai akibat dari berbagai operasi militer.”

Banyak tindakan kekerasan yang dilakukan aparat dalam tahun ini. Pemukulan, penyiksaan, penembakan dan pembunuhan. Begitupun upaya pembatasan ruang demokrasi dengan pengarahan pasukan setiap kali rakyat hendak berunjuk rasa secara damai sekalipun.

“Hari ini nyata, aksi damai dibubarkan paksa hingga terjadi penangkapan puluhan massa aksi,” katanya.

Agus juga membeberkan, hak-hak orang asli Papua terus dirampas oleh negara melalui korporat atas nama pembangunan yang sejatinya hanya kepentingan investasi semata. Apapun kebijakan berdampak terhadap kehidupan rakyat Papua. Dari dampak terhadap pangan lokal akibat hutan sagu dibabat, gunung digusur hingga mengakibatkan kehancuran hutan dan lingkungan.

Perampasan hak politik, hak demokrasi dan hak hidup, diskriminasi, marginalisasi dan rasisme  terhadap bangsa Papua kian subur, kata Agus, merupakan bukti masa depan kian terancam punah secara sistematis jika tidak diselamatkan.

Karena itu, KNPB menyampaikan pernyataan sikap pada peringatan ke-71 hari HAM Sedunia.

  1. Indonesia wajib menghormati dan melindungi kebebasan rakyat Papua (termasuk KNPB) untuk berkumpul, berserikat, berpendapat dan berekspresi sesuai Deklarasi Universal HAM PBB tanggal 10 Desember 1948 yang telah diratifikasi Indonesia.
  2. Indonesia segera hentikan dan tarik Otsus, oemekaran, pendropan TNI/Polri dan investor (eksploitasi SDA) dari seluruh Tanah Papua.
  3. Segera buka akses Komisi HAM PBB, Palang Merah Internasional (MPI) dan Jurnalis Internasional memantau situasi HAM di Papua, terutama di daerah konflik bersenjata di 6 kabupaten.
  4. Keberlanjutan kolonialisme Indonesia dalam segala bentuk manifestasi adalah kejahatan yang melanggar Piagam PBB dan jaminan kemerdekaan terhadap negeri jajahan serta prinsip hukum internasional sesuai Resolusi PBB Nomor 2621 (XXV). Oleh karena itu, Indonesia segera mewujudkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
  5. Segera usut tuntas kasus pembunuhan dan mutilasi.
  6. Empat warga sipil di Timika bersama pelaku mutilasi segera adili di Pengadilan Umum.
  7. KNPB bersama seluruh komponen rakyat Papua menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
  8. Segera tarik pasukan militer dari Tanah Papua baik militer organik maupun non organik.
  9. Rakyat Papua harus bersatu mewujudkan mogok sipil nasional (MSN) secara damai sebagai sikap dan tindakan moral untuk mewujudkan hak penentuan nasib sendiri.
Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

Sementara itu, Kapas Tigi Wanimbo, badan pengurus KNPB Wilayah Balim Barat, menegaskan, hak politik bangsa Papua tidak bakal diberangus.

“Apapun kebijakan negara kolonial tidak akan pernah memadamkan api perjuangan bangsa West Papua,” ujar Wanimbo melalui rilisnya dari Tiom, Sabtu (10/12/2022).

Wanimbo mengabarkan, dalam rangka memperingati hari HAM Sedunia, massa aksi KNPB Balim Barat dari berbagai sektor dihadang pihak Polres Lanny Jaya.

“KNPB Balim Barat hendak memperingati hari HAM Sedunia, tetapi polisi larang massa aksi masuk ke kantor DPRD dengan alasan tidak ada orang di kantor dewan.”

Setelah negosiasi dengan pihak kepolisian, kata Kapas, KNPB diizinkan aksi di Tugu kota Tiom.

Selain orasi secara bergilir, menurutnya, dalam aksi damai dibacakan pula pernyataan sikap di hadapan massa aksi.

Diakhiri pada Pukul 14.00 WP, massa aksi membubarkan diri dibawah kontrol militan KNPB kembali ke kampung halaman masing-masing.

Pewarta: Yance Wenda
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.