Tanah PapuaAnim HaPemkab Mappi Segera Cabut Izin Pembangunan Peti Kemas di Menyamur

Pemkab Mappi Segera Cabut Izin Pembangunan Peti Kemas di Menyamur

Siaran Pers Ikatan Mahasiswa-Mahasiswi Wiachar (IMAWI) se-kabupaten Merauke

Ikatan Mahasiswa-mahasiswi Wiachar (IMAWI) se-kabupaten Merauke mendesak penjabat bupati kabupaten Mappi menghentikan segala bentuk izin pembangunan jembatan peti kemas di atas tanah masyarakat adat suku Wiachar, kampung Sumuraman, distrik Menyamur, kabupaten Mappi, provinsi Papua Selatan.

Tanah adat yang direncanakan untuk bangun jembatan peti kemas di kampung Sumuraman, distrik Menyamur, kabupaten Mappi, adalah milik suku Wiachar. Pada prinsipnya, masyarakat adat suku Wiachar secara sadar dan tegas tidak mengizinkan ataupun melepaskan sebagian tanah adat tersebut untuk pembangunan jembatan peti kemas.

Sejak tahun 2018 kami dari masyarakat adat suku Wiachar sudah melakukan penolakan dalam bentuk surat masuk kepada pemerintah kabupaten Mappi dalam hal ini bupati, DPRD, Dinas Perhubungan, Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Selain itu, masyarakat memasang papan pemalangan di setiap titik, yakni muara kampung Kabe, distrik Menyamur, simpang jalan masuk kampung Kaumi, kampung Kayagai, simpang jalan masuk kampung Pano, dan muara Jekachai serta kampung Sumuraman.

Dengan melihat situasi terbaru 2022 hingga sekarang ada pihak tertentu serta beberapa oknum yang mengatasnamakan suku Wiachar yang mencoba membujuk masyarakat pemilik hak ulayat dengan membuat petisi abal-abal dengan tujuan menunjukan bahwa masyarakat secara sadar melepaskan tanah mereka. Hal ini kemudian terkonfirmasi dengan pengakuan dari masyarakat adat untuk menandatangani petisi pelepasan tanah adat.

Baca Juga:  Kemenparekraf Ajak Seluruh Pelaku Usaha Kreatif di Indonesia Ikut AKI 2024

Yang pasti gerakan ini terdiri dari oknum-oknum yang menggunakan cara-cara tidak etis dan sangat berbahaya yang bisa memicu dan menciptakan konflik di masyarakat adat suku Wiachar. Selain beberapa fakta di atas, ada oknum-oknum bukan pemilik hak ulayat yang memaksakan dan seolah-olah menjadi pemilik hak ulayat tersebut.

Berdasarkan sejarah masyarakat yang tinggal di Sumuraman dipindahkan dari desa Seno pada tahun 1980-an karena konflik internal di kampung halaman mereka, sehingga mereka dibawah oleh bapak Dominikus Ulukyanan (sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua 1 DPRD Kabupaten Merauke), yang pada saat itu bertugas di desa Kabe sebagai seorang guru. Ia mencoba berkomunikasi dengan tua-tua adat dari desa Kabe, salah satunya adalah Theodorus Jebo (alm), yang pada saat itu menjabat sebagai kepala kampung Kabe.

Pada saat itu tua-tua adat mengatakan bahwa anak guru yang telah membawa mereka dari jauh, sehingga kami tidak bisa mengantar mereka kembali ke desa mereka. Namun, kami mengizinkan mereka untuk tinggal, sedangkan hak dusun adalah milik kami suku Wiachar khususnya desa Kabe. Setelah mendapat izin dari tua-tua adat, masyarakat dari desa Kabe.

Baca Juga:  HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

Kemudian pertemuan berlangsung di kampung Sumuraman dengan tujuan untuk hidup aman, saling menghargai dan saling menghormati. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bersama untuk hidup aman. Dari situlah nama desa Sumuraman berasal. Artinya, telah terjadi pertemuan di kampung Sumuraman, hasil pertemuan itu masyarakat dari ketiga desa tersebut menghasilkan kesepakatan untuk hidup bersama dengan aman dan damai. Oleh karena itu, kepala desa dan seluruh perangkat desa serta masyarakat tidak memiliki hak untuk menjual tanah di sekitar desa Sumuraman.

Dengan melihat situasi terbaru bahwa ada pihak ketiga yang melakukan pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat adat suku Wiachar untuk menandatangani petisi penerimaan pembangunan jembatan peti kemas bahkan berujung pada penganiayaan terhadap salah satu warga.

Berdasarkan fakta tersebut, kami Ikatan Mahasiswa-mahasiswi Wiachar (IMAWI) dengan tegas menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Pejabat gubernur provinsi Papua Selatan segera memerintahkan penjabat bupati kabupaten Mappi untuk cabut izin pembangunan pelabuhan jembatan peti emas di wilayah adat suku Wiachar, kampung Sumuraman, distrik Menyamur, kabupaten Mappi;

Baca Juga:  Diduga Dana Desa Digunakan Lobi Investasi Migas, Lembaga Adat Moi Dinilai Masuk Angin

2. Pejabat bupati kabupaten Mappi wajib mencabut izin pembangunan jembatan peti emas;

3. Pemerintah kabupaten Mappi harus menghormati pemilik hak ulayat masyarakat adat suku Wiachar sebagai bagian dari implementasi UU nomor 2 tahun 2021 terkait perubahan atas UU nomor 21 tahun 2001;

4. Pemerintah daerah wajib berkoordinasi dengan Polres untuk melakukan investigasi dan proses oknum-oknum yang mengaku dan mengatasnamakan pemilik hak ulayat dengan membuat pelepasan-pelepasan palsu;

5. Pemerintah daerah berkoordinasi dengan pihak aparat guna mencegah terjadinya konflik meluas di masyarakat terkait dengan sengketa kepemilikan hak ulayat;

6. Meminta kepada semua pihak dalam hal ini masyarakat adat Papua, mahasiswa, aktivis kemanusiaan, dan lingkungan untuk memantau perjuangan suku Wiachar demi mempertahankan tanah adat;

7. Majelis Rakyat Papua dan Komnas HAM perwakilan Papua jangan tinggal diam, tetapi harus memantau perjuangan masyarakat adat suku Wiachar terkait dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia khususnya proteksi terhadap orang asli Papua.

Merauke, 10 April 2023

Ketua IMAWI
Muhammad Bilal Kamogou

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pimpinan Keuskupan Timika: Stop Adu Domba Masyarakat Demi Tujuan Tertentu!

0
“Akhir-akhir ini terjadi konflik horizontal antar kelompok masyarakat suku seperti Dani dengan Mee, Dani dengan Biak, Mee dengan Moni, Mee dengan Jawa, ada pula beberapa peristiwa pembunuhan yang pelakunya tidak diketahui yang terjadi setelah terbentuknya provinsi baru,” tutur Pastor Marthen Kuayo, dikutip dari siaran pers Komisi Sosial (Komsos) Keuskupan Timika, Selasa (7/5/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.