Tanah PapuaDomberaiKDRT Peringkat Pertama Kekerasan Terhadap Perempuan di Kota Sorong

KDRT Peringkat Pertama Kekerasan Terhadap Perempuan di Kota Sorong

KOTA SORONG, SUARAPAPUA.com — Setio Hastiarwo, pemantik diskusi kekerasan terhadap perempuan, mengungkapkan, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih sangat tinggi di kota Sorong per 2020-2022. KDRT menduduki peringkat pertama (48%), disusul kekerasan psikis (22%), dan di posisi ketiga ada kekerasan seksual (18%).

Setio Hastiarwo akui perempuan yang mengalami KDRT rata-rata berada di usia kawin yaitu 25-40 tahun sebanyak 48%.

“Akibat KDRT, banyak perempuan yang hidungnya berubah karena dipukul, dianiaya. Pasti kita akan jumpai di setiap sudut kota Sorong. Kasus KDRT di sini sangat tinggi. Memang KDRT tidak terlihat karena perempuan mampu menyembunyikan hal tersebut. Padahal, ada perempuan di kota Sorong yang mendapatkan perlakuan KDRT oleh pasangannya setiap hari,” tuturnya saat menguraikan persoalan kekerasan terhadap perempuan, Senin (19/6/2023) di kafe Belantara, kota Sorong.

Baca Juga:  Sikap Mahasiswa Papua Terhadap Kasus Penyiksaan dan Berbagai Kasus Kekerasaan Aparat Keamanan

Selama 18 tahun mengabdi di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA), Setio melihat banyak perempuan di Papua yang masih menganggap kekerasan adalah suatu yang wajar diterimanya dengan ikhlas.

Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya, kurangnya edukasi bagi kaum perempuan. Belum tahu kalau dapat pukul sampai hidung bengkak dan mata biru, negara sudah hadir berupa pendampingan hukum, mediasi, dan pengobatan.

“18 tahun saya melakukan pendampingan, saya melihat perempuan merasa kekerasan adalah suatu yang lumrah. Mereka belum mengerti bahwa bisa mendapat layanan pendampingan, mediasi, dan hukum, akhirnya dapat pukul sampai hidung bengkak, mata biru. Lebih memilih diam saja di dalam rumah. Padahal kalau perempuan sudah rasa sakit dan tidak adil, maka negara harus hadir berupa pendampingan hukum, medis, dan lainnya. Mereka belum tersentuh oleh edukasi, sehingga penting sekali ada pengetahuan-pengetahuan seperti ini diberikan kepada masyarakat kita,” jelasnya.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Berdasarkan pengalaman pendampingan selama 18 tahun, ia menemukan beberapa faktor yang memicu KDRT. Salah satu faktor yaitu relasi yang kurang seimbang antar laki-laki dan perempuan. Selain itu, ada faktor ekonomi dan miras.

“Pemda kurang maksimal. Di era desentralisasi lebih bagus. Terencana, terprogram, dan terevaluasi setiap tahapan. Sekarang setelah era Otsus, itu terabaikan. Biaya juga tidak ada. Contohnya pengobatan dan hukum. Itu tidak ada biayanya. Padahal itu membutuhkan biaya selama pendampingan. Kalau saat masih di kementerian, kita dapat uangnya. Sekarang, tidak ada. Memang untuk pencegahan, penyuluhan, dan sosialisasi ada uangnya,” kata Setio.

Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

Sejumlah fakta miris yang selama ini dialami kaum hawa diungkap Nova Sroyer, salah satu pemerhati perempuan korban kekerasan di kota Sorong.

Sroyer mengaku sangat terpukul sama banyaknya kisah tragis kaum perempuan. Dalam banyak kasus KDRT, ia mencatat laki-laki terlalu beringas. Memperlakukan istrinya bukan seperti manusia.

“Semua urusan rumah tangga beres juga tetap dihajar. Tindakannya kurang ajak walaupun tidak jelas apa masalahnya. Suami tidak bisa paham terhadap beratnya pekerjaan yang selalu dikerjakan oleh istri di rumah,” ceritanya.

Tak berdaya menghadapi KDRT, selain berujung kasus perceraian, kata Nova, lebih banyak yang memilih solusi damai demi kembali membina keluarga sekaligus selamatkan buah hati titipan Tuhan. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Simamora: Penting Mengajar Anak, Tetapi Juga Pembentukan Karakter

0
"Praktekan penerapan displin positif yang telah dipelajari terhadap anak-anak. Hadapi anak-anak dulu dengan sekarang berbeda maka pendekatan pun berbeda. Contohnya, jika anak terlambat masuk sekolah, jangan langsung suruh pulang."

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.