ArtikelPapua Binasa Dalam Otsus DOB Ataukah Papua Bebas Berdaulat Dalam Tuhan?

Papua Binasa Dalam Otsus DOB Ataukah Papua Bebas Berdaulat Dalam Tuhan?

Oleh: Selpius Bobii*
)* Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua (JDRP2)

Banyak orang kehilangan akan jati dirinya sebagai mahluk ciptaan yang paling mulia yang serupa atau segambar dengan Bapa Yahwe. Harga diri manusia itu pada hakikatnya mulia, kudus dan suci karena manusia itu diukir oleh tangan Bapa Yahwe yang serupa atau segambar dengan diri-Nya. Bapa Yahwe memiliki kodrat maha mulia, maha kudus dan maha suci. Sementara manusia memiliki kodrat mulia, kudus dan suci.

Kodrat manusia yang mulia, kudus dan suci itu dikotori atau dirusak ketika manusia pertama (Adam dan Hawa) jatuh ke dalam dosa yaitu makan buah yang dilarang oleh Bapa Yahwe. Hawa ditipu oleh si ular yang mengatakan bahwa dengan memakan buah itu matamu akan terbuka untuk membedakan mana yang baik dan jahat, akan sama seperti Bapa Yahwe.

Kejadian 3:5: “Tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”

Ternyata dengan memakan buah terlarang itu, bukan mata rohaninya yang terbuka, tetapi mata jasmani mereka yang terbuka. Kejadian 3:7: “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.”

Mata rohani mereka tertutup karena melawan perintah Bapa Yahwe. Mereka dua tahu bahwa dirinya “telanjang” artinya kemuliaan, kekudusan dan kesucian sebagai citra Bapa Yahwe yang melekat pada dirinya itu hilang atau dikotori atau dirusaki.

Kodrat manusia yang asali yaitu mulia, kudus dan suci itu dihancurkan oleh manusia pertama karena ingin menyamai Bapa Yahwe. Padahal untuk membedakan “mana yang baik”dan “mana yang jahat” itu sudah ada dalam diri manusia yaitu akal budi.

Umat manusia di seluruh dunia adalah keturunan Adam dan Hawa. Sehingga umat manusia di seluruh dunia mewarisi karakter atau tabiat melawan perintah Bapa Yahwe yaitu “kesombongan”. Dosa yang paling utama dan terutama adalah dosa kesombongan. Karena Adam dan Hawa juga memakan buah terlarang karena ingin matanya terbuka dan ingin sama seperti Bapa Yahwe.

Awal mula penindasan, awal mula penjajahan, awal mula perbudakan itu lahir dari kesombongan. Ada ras manusia yang merasa unggul ketimbang ras yang lain. Ada kelompok manusia yang merasa unggul ketimbang kelompok manusia lain. Sehingga muncul pandangan bahwa adanya golongan darah biru, darah ungu, darah kuning; Padahal darah manusia itu sama yaitu darahnya merah.

Ada manusia yang merasa diri pintar, merasa diri beradab, merasa diri berada sehingga muncul kesombongan memandang ras tertentu, golongan tertentu atau manusia lain itu kelas rendahan atau tidak punya apa-apa.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dengan adanya pandangan bahwa merasa dirinya unggul, beradab, dan berada (punya segalanya), sehingga muncullah keinginan untuk menduduki, menguasai, merampas, mencuri, membunuh dan merusak. Dengan adanya kesombongan itu, maka muncullah perilaku diskriminasi.

Masyarakat dunia terbagi dalam kelas bangsawan (kelas atas), kelas menengah (para abdi di lingkaran penguasa) dan kelas bawah (para warga biasa). Kaum bangsawan mengkoloni wilayah tertentu karena merasa diri unggul, beradab dan berada.

Cikal bakal kata “kolonial” lahir dari perilaku mengkoloni wilayah tertentu dengan maksud menduduki, menguasai, merampok, mencuri, membunuh, dan merusak. Bangsa manusia dari Dunia Barat menaklukan wilayah lain di bawah semboyan: Gold (demi emas), Gospel (demi pekabaran Injil), dan Glory (demi kejayaan).

Salah satunya bangsa Papua ditaklukan di bawah tiga semboyan itu: Gold, Gospel dan Glory. Pekabaran Injil menjadi jembatan untuk menduduki, merampas, mencuri, merusak dan membunuh segala yang ada di atas Tanah Air Papua.

Tetapi di lain sisi Pekabaran Injil juga meletakkan peradaban bangsa Papua untuk bangkit, berdiri, dan berjalan. Melalui ke datangan bangsa manusia dari dunia Barat telah mempersiapkan bangsa Papua untuk mewujudkan rencana dan ketetapan Tuhan menjelang akhir zaman.

Bapa Yahwe memanggil bangsa Barat untuk menyiapkan bangsa Papua untuk memimpin dirinya sendiri untuk menggenapi nubuatan Pendeta Izaak Samuel Kijne berikut ini: “Di atas batu ini, saya meletakkan Peradaban Orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Miei – Automeri – Wasior – Wondama, 25 Oktober 1925).

Nubuatan Pdt I. S. Kijne di atas memang sudah terbukti bahwa tiga bangsa sudah menduduki Tanah Papua, yaitu Belanda, Jepang dan terakhir Indonesia, tetapi ketiganya tidak mampu memimpin bangsa Papua. Ketiganya sudah gagal total memimpin bangsa Papua.

Ada dua bangsa yang paling kejam yang menduduki Tanah Papua dan menjajah bangsa Papua, yaitu bangsa Jepang dari tahun 1942 sampai April 1944, dan bangsa Indonesia dari tahun 1963 hingga kini (2023). Penindasan yang paling mengerikan adalah oleh bangsa Indonesia dengan memakai “politik pecah belah atau adu domba dan menjajah Papua” yang disebut “devide et impera” yang pernah dipakai Belanda, kini sedang dipakai negara Indonesia untuk mengkoloni Tanah dan Bangsa Papua.

Politik adu domba atau pecah belah itu semakin nyata melalui Politik Otonomi Khusus dan Pemekaran DOB (Daerah Otonom Baru) baik itu provinsi, kabupaten, kota, kecamatan (distrik) dan kampung; juga melalui pemekaran Agama (tumbuh suburnya Denominasi Gereja dan Islamisasi).

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Dengan adanya paket politik Otsus dan DOB, maka Politik Adu Domba Pecah Belah dan menjajah bangsa Papua semakin masif, terukur, terarah, dan sistematis. Sehingga lahirlah dikotomi: Gunung vs Pantai, Islam Papua vs Kristen Papua, wilayah ini vs wilayah itu, suku ini vs suku itu, marga ini vs marga itu, alumni ini vs alumni itu, kampung ini vs kampung itu. Misalnya terjadi banyak polemik dalam perekrutan MRP atau pengisian jabatan struktural dalam pemekaran DOB di era Otsus di Tanah Papua.

Tanah air Papua sudah lama dikoloni oleh bangsa bangsa penjajah, dan kini sudah semakin nyata pengkotak-kotakan (pengkolonian) atas manusia Papua. Bangsa Papua entah sadar atau tidak sadar sedang dalam penghancuran budaya (etnosida), penghancuran alam lingkungan (ekosida), penghancuran moral akhlak (spiritsida), dan pemusnahan etnis (genosida).

Coba kita banyangkan para tokoh Papua sudah banyak dibunuh secara tidak wajar, baik tokoh Papua dalam sistem maupun luar sistem birokrasi pemerintah Republik Indonesia. Banyak tokoh Papua yang berjasa bagi Indonesia juga banyak yang dibunuh jiwa raganya dan dibunuh karier politiknya.

Misalnya seorang tokoh Papua yang datang dari Kampung untuk bangun Tanah Papua dengan motto “Papua Bangkit” yaitu bapak Lukas Enembe yang berani melawan Jakarta, kini beliau sedang ditawan oleh rezim RI dan sedang duduk dalam kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Beliau dalam keadaan sakit parah, tetapi sedang bergulat melawan kelaliman Jakarta yang penuh tipu daya, fasik dan bebal.

Sebelumnya mantan gubernur bapak Barnabas Suebu dan para bupati tertentu juga mengalami hal yang sama yaitu dizolimi dan mengalami ketidakadilan oleh RI. Jasa mereka tidak dihargai, kebanyakan para pejabat ini berakhir dengan kematian tidak wajar atau berakhir di kursi pesakitan di pengadilan yang tidak adil dan rasis.

Seusai putusan di pengadilan, Barnabas Suebu pernah berkata: “Saya sebagai orang Papua menyesal ikut bergabung ke NKRI. Di pengadilan saya juga tidak terbukti satu sen pun korupsi. Tapi saya masih dizolimi. Jadi saya menyesal. Tulis itu… tulis itu ya,” kata mantan Gubernur Papua 2009-2014 itu, pada Selasa 7 November 2017 di Jakarta.

Pernyataan yang sama dikatakan oleh bapak Lukas Enembe: “Saya difitnah, saya dizolimi, dan saya dimiskinkan. Saya, Lukas Enembe tidak pernah merampok uang negara, tidak pernah menerima suap, tetapi tetap saja KPK menggiring opini publik, seolah-olah saya penjahat besar,” kata penasihat hukum Lukas, Petrus Bala Pattyona, saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (19/6/2023).

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Memang benarlah pernyataan dari Pdt. Dr. Benny Giay: “Orang asli Papua mau jadi gubernur kah, bupati kah, PNS kah, TNI/Polri kah, titel muka belakang kah, tapi harus sadar bahwa kita semua orang asli Papua ini ibarat bergaya dalam penjara.”

Bangsa Papua kini sudah dimasukkan dalam “kotak mati” alias ada di dalam “peti mati” alias “mayat mayat hidup”. Untuk ke luar dari “kotak atau peti mati” itu dibutuhkan kesadaran dari dasar hati nurani kita masing masing orang asli Papua. Karena kesadaran adalah awal dari pertobatan, awal dari perubahan, awal dari kemenangan, awal dari kesuksesan, awal dari keselamatan, dan awal dari revolusi total.

Revolusi mental adalah awal dari kemenangan atau keselamatan. Karena itu mental budak, mental pemalas, mental peminum Miras, mental Togel, Judi, Dadu, Ludo, mental proposal, mental pencuri, mental pembunuh, mental plagiat, mental pemerkosa, mental penipu, mental sihir, mental menyembah berhala, mental ketergantungan kepada orang lain harus dirubah dengan mental pekerja keras, mental pejuang, mental pahlawan kebajikan, mental beriman tangguh, dan mental berubah menjadi kuat.

Orang lain tidak akan datang menolong kita. Bangsa Papua harus bangkit untuk menolong dirinya sendiri dengan mengundang Tuhan Yesus di dalam hati kita masing masing, karena Tuhan Yesus adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup. Tuhan Yesus adalah satu satunya pembebas bangsa Papua dari perbudakan dosa dan tirani penindasan.

Untuk itu, mari kita masing masing bertobat dari salah dosa (lahir baru di dalam Tuhan), berdamai dengan siapapun sekalipun musuh, dan bersatu di dalam kehendak rencana Tuhan. Ini prasyarat untuk memulihkan kembali kodrat manusia yang mulia, kudus, dan suci yang hilang atau rusak atau dikotori karena pelanggaran kita atas perintah Tuhan. Hanya dengan mengikuti dan melaksanakan kehendak Tuhan ini, kita akan dipulihkan-Nya dan diizinkan Tuhan memasuki Tanah Suci Papua atau Eden Papua indah pada waktu-Nya.

Akhirnya, “Janganlah kita menggadaikan harga diri dengan seharga tahta harta dalam Otsus DOB, tetapi mari kita bersatu menegakkan harga diri kita sebagai manusia yang berakhlak mulia, kudus dan suci melalui sikap kesadaran, komitmen, dan tindakan pertobatan dari salah dosa, perdamaian dengan siapapun, dan persatuan kita dalam rencana kehendak Tuhan menuju Tanah Suci Papua atau Eden Papua”.

Ada tertulis dalam Kitab Wahyu pasal 13 ayat 9: “Barangsiapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”. (*)

Jayapura, Selasa, 27 Juni 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.