Rilis PersLaporan Kronologi Kekerasan Aparat Terhadap Pimpinan Gereja Kingmi di Nduga

Laporan Kronologi Kekerasan Aparat Terhadap Pimpinan Gereja Kingmi di Nduga

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pengurus Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua koordinator Nduga membuat laporan kekerasan aparat keamanan yang menimpa mereka pada 17 September 2023 di kantor Klasis Gereja Kingmi di Keneyam, Nduga, provinsi Papua Pegunungan.

Laporan itu dibuat pada 18 September 2023 dengan judul “Laporan kronologi kejadian tindak kekerasan oleh polisi terhadap pimpinan Gereja Kingmi di Tanah Papua”.

Yang melaporkan adalah Pimpinan Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, ketua DPRD kabupaten Nduga, koordinator Gereja Kingmi Nduga, ketua Klasis Keneyam kabupaten Nduga, Departemen Pemuda koordinator Nduga, dan ketua Lembaga Masyarakat Adat kabupaten Nduga.

Aksi protes umat Tuhan di Nduga pasca terjadi kekerasan terhadap pimpinan Gereja Kingmi di kantor Klasis Keneyam. (Ist – SP)

“Kami diutus dari Sinode Kingmi Papua dalam rangka doa pemulihan bagi umat Tuhan di kabupaten Nduga pasca perang saudara pada 5 Juli 2023 di Keneyam, ibu kota kabupaten Nduga. Untuk itu, kami sedang melakukan persiapan, namun pada malam 17 September 2023 pukul 24:30 WIT telah terjadi pengepungan dan penggerebekan tanpa prosedur oleh aparat kepolisian/Brimob kabupaten Nduga di kantor Klasis Keneyam.”

Baca Juga:  Umat Keuskupan Timika Diajak Rayakan 130 Tahun Misi Katolik di Tanah Papua

“Dalam kejadian itu, telah menangkap 5 orang yang sedang tidur di dua tempat terpisah, yaitu di rumah ketua DPRD Nduga dan kantor Klasis Keneyam,” tulis dalam laporan yang ditandatangani Pdt. Eliaser Tabuni, koordinator kabupaten Nduga, Pdt. Sakius Kogeya dan diketahui Pdt. Nataniel Tabuni.

Liam orang yang ditangkap adalah Ev. Urbanus Kogeya, Marko Kogeya, Disina Gwijangge, Indiwerikak Arabo, dan Giran Gwijangge.

Baca Juga:  Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku Lakukan Sidak ke Sejumlah SPBU Sorong
Kunjungan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) III Letjen TNI Richard Taruli Horja Tampubolon di Keneyam, kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan. (Ist – SP)

Penangkapan mereka berdasarkan laporan itu karena diduga sebagai mata-mata atau kerjasama dengan pimpinan TPNPB – OPM Egianus Kogeya, maka ditangkap dan dibawa ke Polres Nduga.

Dalam kejadian itu, aparat melakukan pemukulan terhadap sejumlah pimpinan Gereja dan warga sipil.

Pdt. Nataniel Tabuni, bendahara Sinode Kingmi, Pdt. Sakius Kogeya, ketua Klasis Keneyam, Naina Lani, ibu rumah tangga, dan Dik, ibu rumah tangga. Termasuk pengrusakan pintu kantor klasis serta menyita handphone, dan laptop.

Dengan demikian, pihaknya menyatakan sikap bahwa:

  • Pihaknya Gereja dan DPRD Nduga tidak menerima tindakan dan kata-kata hinaan yang dilontarkan aparat keamanan kepada pihaknya.
  • Tindakan penangkapan dan pemukulan tidak sesuai prosedur hukum yang ada.
  • Pimpinan Gereja dan umat Tuhan tegaskan kepada aparat TNI/Polri hentikan penangkapan sewenang-wenang.
  • Meminta kepada Presiden RI Joko Widodo untuk hentikan pengiriman aparat militer organik maupun non organik ke Nduga, karena kejadian serupa terjadi tahun lalu dan terus terjadi tahun ini.
  • Pimpinan Gereja meminta Kapolda Papua memberhentikan Kapolres dan Kabag Ops Nduga tanpa hormat.
  • Mengutuk keras pimpinan dan anggota Polri yang melakukan penghinaan tempat ibadah.
  • Meminta Kapolres Nduga membebaskan mereka yang ditangkap jika mereka tidak terbukti.
Baca Juga:  Rencana Pemindahan Makam Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay, Melanggar Hukum Pidana dan Asas Administrasi Pemerintahan
Laporan kejadian yang dibuat korban dan pimpinan Gereja. (Screenshot – SP)

Terkini

Populer Minggu Ini:

KM Sanus 63 Layani Yaur dan Teluk Umar Setelah Puluhan Tahun...

0
“Lama kami perjuangkan, dan ini bukti program pemerintah di bidang perhubungan laut, yaitu pelayanan kapal perintis dapat dirasakan oleh masyarakat yang berdomisili di pesisir Nabire bagian barat,” kata John NR Gobai, ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.