BeritaTahanan PolitikSebelum Akhiri Massa Jabatan, SBY Harus Bebaskan Tapol di Papua

Sebelum Akhiri Massa Jabatan, SBY Harus Bebaskan Tapol di Papua

PAPUAN, Jayapura — Sebelum mengakhiri massa jabatannya di pertengahan Oktober 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dituntut membebaskan 76 tahanan politik Papua yang tersebar di berbagai penjara di seluruh tanah Papua.

“Pembebasan seluruh tahanan politik wajib dilalukan oleh Presiden SBY, ” tegas Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengakajian, Pengabdian dan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, kepada media ini, Selasa (24/6/2014) sore.

“Selain itu, perlu juga dibukanya akses bagi warga negara asing, jurnalis internasional maupun pekerja kemanusiaan internasional untuk masuk ke Tanah Papua.”

“Kedua hal ini menurut saya sangat penting dan mendesak, bahkan seharusnya telah menjadi suatu pekerjaan yang mesti diselesaikan oleh pemerintahan Presiden SBY dengan jajarannya, demi meninggalkan citra positif di mata rakyat Papua, bangsa Indonesia bahkan dunia internasional menyangkut kredibilitas dan kualitas visi demokrasi dari pemerintah Indonesia sendiri,” tegasnya.

Dengan mengambil tindakan tersebut, menurut Warinussy, dunia internasional akan mengenang jasa SBY sebagai Presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis dan terbukti, serta mendapat kepercayaan rakyat dalam memimpin negara demokrasi terbesar di Asia selama 10 tahun berturut-turut.

“Juga SBY bakal dikenang sebagai Presiden RI pertama yang mampu menyelesaikan tanggung-jawab negara ini dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Tanah Papua.”

“Apalagi jika sampai Presiden SBY mampu memutuskan dibebaskannya para tahanan politik yang menurut data saat ini berjumlah 76 orang yang tengah menjalani penahanan, karena alasan berbeda pandangan politik dengan penguasa negara ini,” ujar pengacara senior di Papua ini.

Demikian halnya dengan pembukaan akses bagi media asing, warga negara maupun pekerja kemanusiaan internasional juga harus diberikan akses untuk masuk ke Tanah Papua.

Dengan terbukanya akses, menurut Wariussy, akan memberi kesempatan untuk lebih banyak informasi yang berimbang diperoleh pihak asing, yang secara otomatis bisa menurunkan trend negatif yang selama ini terus meningkat dan menempatkan citra pemerintah Indonesia pada posisi sebagai salah satu negara pelanggar HAM terbesar di dunia.

“Menjelang Pilpres mendatang, saya kira khusus untuk Papua dan Papua Barat, soal penyelesaian masalah pelanggaran HAM yang berat, serta pembebasan tapol dan pembukaan akses warga negara asing, jurnalis internasional dan pekerja kemanusiaan asing ke Tanah Papua merupakan tema penting, yang semestinya mendapat perhatian dan masuk dalam visi dan misi serta program kerja Calon Presiden dan Wakil Presiden mendatang,” tutupnya.

Ramos Petege, salah satu akvis HAM Papua menambahkan, selain membuka akses bagi jurnalis asing dan komunitas internasional, ruang demokrasi di tanah Papua juga harus dibuka seluas-luasnya.

“Berikan ruang untuk mahasiswa dan aktivis menyampaikan sikapnya kepada negara. Aparat kepolisian jangan terus menghalangi dengan menururunkan pasukan bersenjata yang lengkap untuk mengamankan setiap aksi,” tegas mantan mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) ini.

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.