Moncong Senjata Tanamkan Nasionalisme?

0
2862

Oleh: Benny Mawel

Situasi pagi itu lain dari hari biasa. Halaman utama Kompas cetak edisi 19 Agustus 2016 menurunkan sebuah foto anak-anak Papua. Orang Papua yang melihat saja, termasuk saya, sudah bangga dan juga penasaran. Bangga karena koran sebesar Kompas menampilkan wajah orang Papua di halaman utama yang menjadi perhatian 20-an juta orang Indonesia dan tidak sabar ingin membaca ulasannya.

Saya mengambil koran Kompas. Perhatikan judul tulisan ke judul lain tidak ada topik yang fokus mengulas soal Papua. Fokus ulasannya, pertama, wawancara dengan Menteri Keuangan tentang membangun dan memperkuat fondasi Indonesia. Kedua, nasib 22 juta penduduk Indonesia yang terancam tidak bisa akses layanan publik lantaran tidak mengurus e-KTP dan ketiga, perlunya reaktualisasi nasionalisme Indonesia.

Kompas tidak mengulas Papua mengikuti foto karya wartawan Kompas di Papua yang kini menjadi redaktur Kompas di Jakarta, Josie Susilo Hardianto itu. Namun, menurut saya, foto itu menceritakan realitas Papua yang sebenarnya. Kompas nampak tidak mau mengambil resiko, namun foto yang berukuran kurang lebih 4×6 itu terlihat jelas ada sejumlah anak-anak perempuan siswa sekolah dasar berbaris. Mereka mengenakan seragam merah putih.

Mereka memberikan hormat kepada anggota TNI yang melintas di depan barisan. Dua anggota TNI dengan atribut militer lengkap: seragam loreng, senjata M16 dipalang di dada si anggota TNI itu. Pisau sangkur tergantung di pinggang. Mereka pun memberikan hormat dan melemparkan senyuman kepada anak-anak. Senyum, mungkin anak-anak itu yang lucu atau pura-pura senyum.

ads
Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Ketika perhatikan foto itu secara serius, ada dua hal menarik. Pertama, ekspresi wajah dari anak-anak itu. Kebanyakan anak-anak bermimik senyum seolah ada yang lucu. Pandangan mereka tidak fokus ke dua anggota TNI. Ada yang nampak memperhatikan kameramen foto. Ada yang nampak melihat objek dibelakang dua anggota TNI itu.

Kedua, atribut sekolah yang mereka gunakan. Mayoritas anak-anak tidak mengenakan alas kaki. Hanya dua siswi yang mengenakan alas kaki. Masing-masing ada yang pakai sandal jepit dan ada yang sepatu hitam. Mayoritas siswi itu berseragam merah putih, ada 6 siswi yang mengenakan kaos oblong. Dua dari mereka yang baju kaos oblong itu berwarna unggu dan putih berbaris di depan.

Sangat jelas terlihat gambar dan tulisan di baju kedua anak itu. Siswi yang baju unggu, di bagian depan bajunya, persisnya di dada terlihat bergambar peta pulau Papua. Peta itu diukir dengan tiga warna. Warna merah, putih dan biru. Warna merah memerahkan semua bagian dari garis perbatasan peta Papua New Guinea dan Papua (Indonesia) ke dalam peta hingga wilayah Sarmi sampai turun ke Asmat. Di tegah-tegah cat merah itu ada sebuah lukisan bintang dengan cat warna putih.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sementara, cat biru dan putih ditarik horizontal dari batas merah ke kepala wilayah kepala burung dari batas warnah merah. Garis putih ada enam dan garis biru ada tujuh. Orang yang melihat dan tahu dengan gerakan Papua merdeka akan berkesimpulan ukiran itu gambar Pulau Papua bergambar bendera Bintang Fajar.

Bintang Fajar adalah lambang perlawanan rakyat Papua terhadap pendudukan Indonesia di Papua sejak 1961. Gara-gara bendera Bintang Fajar ribuan orang mengalami kekerasan fisik, mental dan bahkan ribuan orang telah mati. Puluhan orang terpenjara dan terbunuh dengan penganiayaan maupun penembakan menggunakan timah panas. Wanita-wanita menjadi pelampisan nafsu birahi militer.

Misalnya, gara-gara mengibarkan bendera Bintang Fajar, puluhan orang menjadi korban Biak Berdarah 1998. Gara-gara mengibarkan bendera Bintang Fajar di lapangan Trikora pada 2004 silam, Filep Karma dan Yusak Pakage divonis 15 tahun penjara. Gara-gara mengibarkan bendera Opinus Tabuni ditembak mati di lapangan Sinapuk Wamena pada 9 Agustus 2008. Ada banyak orang lain yang menjadi sama nasibnya dengan Karma dan Opinus Cs.

Kita kembali ke siswi baju unggu. Nampak, wajah anak perempuan pemilik peta Papua bergambar bendera Bintang Fajar itu tidak peduli dengan anggota TNI yang membawa senjata. Moncong senjata dalam upaya negara menghapus ideologi Papua Merdeka dan menanamkan nasionalisme Indonesia.

Ia nampak berani memperlihatkan simbol perlawanan. Satu perlawanan bisu kepada anggota TNI yang membawa senjata. Ia hendak mengatakan isi hatinya Bintang Kejora dalam bisu, bukan Merah Putih yang membungkus tubuh dengan ancaman moncong sejata itu. Ia mau mengatakan dirinya ingin bebas dalam bisu, bukan ingin bebas dalam kebencian dan kekerasan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Perlawanan bisu itu muncul dalam diri seorang anak sekolah dasar, bukan anak pasca sekolah dasar. Anak-anak yang masih berada di tingkat sekolah yang gencar dengan pendidikan nasionalisme Indonesia melalui seragam merah-putih yang identik dengan bendera Merah Putih. Upacara bendera setiap hari Senin dengan membacakan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Kurikulum pendidikan Kewarganegaraan dan memperkenalkan sejarah kerajaan-kerajaan dan sejarah perlawanan kemerdekaan Indonesia di Jawa.

Di sela-sela upaya itu, pembangkangan sudah tumbuh jauh sebelum bergerak ke pendidikan lebih. Pendidikan lebih lanjut, kiranya bagi anak perempuan ini, menjadi proses pemantapan berfikir dan puncak dari pembangkangan nyata. Pembangkangan nyata dengan terlibat dalam kampanye penentuan nasib sendiri secara terbuka.

Apakah itulah yang sedang terjadi dengan perlawanan damai rakyat Papua yang didominasi anak-anak mahasiswa yang sedang berlangsung di kota-kota di Papua dan luar Papua sejak 2008? Kalau itu yang sedang terjadi, apakah Indonesia akan terus memaksakan nasionalisme dengan moncong senjata? Berapa lamakah nasionalisme dengan moncong senjata itu bertahan?

Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan tabloidjubi.com.

Artikel sebelumnyaWhens Tebay: Jadi Fotografer Tak Cukup Berbekal Kamera
Artikel berikutnyaPotret Kekerasan di Sekitar Paniai