ArtikelPolitik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Oleh: Marselino W. Pigai*
*) Aktivis kemanusiaan, aktivis sosial dan mantan koordinator Amnesty Internasional chapter Universitas Papua (Unipa) periode 2021-2023

Tanggal 30 Januari 2024, saya memulai perjalanan dari Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai. Lebih dari dua minggu, saya habiskan waktu untuk mengamati suasana politik praktis Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, mulai sejak pertengahan kampanye hingga puncak pemilihan.

Sebenarnya bukan sebagai seorang kader partai politik, apalagi politisi praktis yang hadir dalam tulisan ini. Tetapi dalam urusan pesta politik praktis ini, saya yakini tidak jauh dari watak dan budaya politik yang sama dan terus dimainkan serupa pada dewasa kini.

Ada asumsi yang mendasari bahwa politik praktis sudah menjadi salah satu akar dari perpecahan dan perusakkan hubungan-hubungan sosial dan kekerabatan antarkeluarga, marga, suku dan sebangsa di Tanah Papua.

Tulisan ini pun fokus pada pemilihan di provinsi Papua Tengah, khususnya kabupaten Paniai. Ada temuan-temuan berdasarkan pengamatan selama saya menyaksikan secara langsung di lapangan, dan menerima laporan dokumentasi melalui media sosial.

Saya termangu-mangu menyaksikan adegan politik praktis melalui Pemilu yang mencederai kontestasi hak asasi manusia (HAM) yang di dalamnya berisikan hak hidup, hak tidak disiksa, hak tidak diancam, hak memilih dan hak dipilih. Itu semuanya menjadi kausalitas konflik, yang berujung pada perpecahan hubungan sosial dan justru menjadi lahan subur terbangunnya kelompok-kelompok sosial baru berdasarkan prasangka dan emosional bermusuhan.

Maka, sebenarnya tulisan ini merupakan suatu pergumulan dan tanggung jawab moril saya bagi manusia dan rakyat Papua, yang selalu saya harapkan hidup dalam kesadaran sebagai kesatuan keluarga, marga, suku, dan kebangsaan. Sebagai manusia Papua harus dibebaskan dari politik praktis yang menghancurkan kontestasi hubungan sosial dan HAM Papua yang alami.

Politik praktis ini sebagai satu momentum yang disediakan ruang kepada rakyat, sebagai pemilik pesta atau kegiatan rakyat untuk menentukan nasib hidup ke depannya, dengan memperhatikan masa lalu dan kini atas situs-situs potret HAM yang akan melibatkan dan diatur melalui urusan-urusan atau putusan-putusan dan perjuangan pemimpin mereka yang akan terpilih.

Tulisan ini mengambil peran sebagai upaya mendokumentasikan politik praktis berdasarkan rekan jejak pesta Pemilu tahun 2024. Ada sekitar 432 bakal calon legislatif (bacaleg) tingkat kabupaten, 70 bacaleg tingkat provinsi, dan 52 bacaleg tingkat pusat Republik Indonesia. Kesemuanya terdaftar dalam 18 partai politik yang bermain merebut kursi parlemen. Juga, ada tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Tulisan lebih menyoroti calon legislatif dari daerah pemilihan (Dapil) Papua Tengah, kabupaten Paniai, sebagai basis analisisnya.

Caleg level provinsi dan kabupaten lebih dominan dalam penggunaan kekuatan dari pada caleg pusat Republik Indonesia. Kekuatan ini ikut berbarengan dengan kepentingan memenangkan partai, sebagai strategi perebutan kekuasaan bupati kabupaten Paniai. Sehingga kepentingan perebutan kekuasaan legislatif diboncengi dengan kepentingan merebut kekuasaan eksekutif.

Sementara kepentingan merebut gubernur provinsi Papua Tengah sejauh pengamatan saya, belum ada peran dominan yang mencolok di depan mata. Kepentingan itu tidak hanya terbatas pada persaingan antara caleg, tetapi melibatkan intelektual, politisi praktis, birokrat, dan pebisnis.

Mereka menggunakan politik praktis sebagai kendaraan untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, dengan menghalalkan dan menggunakan semua alat atau media.

Kampanye Dusta Nan Kosong

Selama dua minggu kegiatan kampanye di lapangan Karel Gobai Enarotali, sudah ada jejak kelam yang disinyalir kampanye di masa lalu. Ribuan masyarakat dari empat penjuru mata angin dan pelosok-pelosok datang berbondong-bondong.

Masyarakat berpenampilan kosmetik lokal, berbusana tradisional, mewarnai tubuh dan mengotorinya dengan oli berlapis kandungan magma baterai, tangan-tangan memegang alat tajam. Berirama dengan tarian dan nyanyian, Yuu-Waita (semacam seruan yang mengandung makna sesuatu yang sudah, sedang atau akan terjadi bagi mereka), dan wisisi atau sapusa (dansa tradisional dari masyarakat Moni dan Lapago)

Kedatangan dan kehadiran masyarakat memiliki dua pesan kemungkinan yang melibatkan dalam aksi kampanye.

Pertama, masyarakat berpartisipasi karena memahami caleg sebagai figur yang disegani atau memiliki rekam jejak yang baik, selain mempunyai hubungan kekerabatan keluarga.

Kedua, partisipasi masyarakat didorong oleh money politics. Pada poin ini, masyarakat menyadari kehadiran mereka dapat mendatangkan uang di masa kampanye dan ataupun masa-masa kehidupan kedepannya. Karena itu, kampanye menjadi ruang interaksi bisnis-uang dan tenaga sebagai komoditas jasa. Kesadaran ini lahir dari sebuah proses kehidupan yang dimanipulasi dan dipaksakan dari luar dirinya.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Kehadiran masyarakat yang banyak dalam suasana kampanye adalah satu harapan tinggi antara caleg dan termasuk partai politik. Ini kesempatan pertunjukan massa pendukung partai politik dan kesempatan menunjukkan keunggulan dirinya caleg untuk merebut hati nurani masyarakat setempat secara langsung. Maka, caleg menerjemahkan kata-kata dan bahasa, yang paling tidak, bisa menghipnotis kalangan umum yang berpartisipasi dalam suasana kampanye.

Ruang kampanye kurang lebih merekognisi apa yang akan dilakukan kedepan. Tetapi ada caleg yang belum mempunyai visi dan misi. Ada juga hanya mempunyai mottonya. Sementara caleg yang mempunyai visi dan misi berusaha menghadirkan situs-situs masalah yang dijejaki pemimpin sebelumnya.

Memberikan keterangan saling menundukkan dan mencoret cerita-cerita pemimpin legislatif masa lalu dan membangun narasinya yang lebay.

“Saya sendiri akan bangun pembangunan di daerah saya, karena selama ini tidak diperhatikan,” kata salah seorang caleg dalam kampanye.

Ungkapan semacam ini didengungkan para caleg lainnya, yang selama ini merasa dianaktirikan dalam proses pembangunan.

Sebaliknya ada bekas legislatif juga mengklaim memiliki rekam jejak yang baik.

“Saya sudah buat perda di Paniai,” kata caleg lainnya.

Caleg lainnya menyatakan, “Saya ini aktornya yang mendatangkan pembangunan jalan”.

Selain itu, ada caleg yang memberikan keterangan yang menunjukkan sikap netral. “Naimipa na enaa, tenaimipa na enaa, aniki naineka” (boleh dipilih, boleh juga tidak dipilih karena kepentingan saya).

Ada caleg lainnya yang mengatakan dengan dana yang diadopsi dengan mengaca pada pribadi legislatif yang terbangun menjadi kebiasaan. “Ani naimai. Aniya mobil kaca gelap ga uwina, Jakarta too nota uwoo umi tou koo taitakao” (berikan suara kepada saya untuk makan minum di Jakarta).

Basa-basi kampanye cukup banyak memberikan nafas panjang sepertinya. Masyarakat menerima dengan suka cita. Tidak sedikit apresiasi yang dipantulkan masyarakat.

Ekspresi masyarakat sepertinya mendapatkan harapan baru dengan hadirnya narasi-narasi kampanye. Sampai pulang ke pelosok kampong dan komunitas keluarga dan marga, narasi kampanye tidak banyak diobrolkan. Tetapi sedikit dari masyarakat yang hadir meneruskan kepada yang lainnya.

Ada kontak komunikasi yang kerapkali menghadirkan suasana diskusi yang cukup alot dan mengaktifkan ruang perdebatan yang potensial memisah antarsesama masyarakat. Ini akibat dari dukungan masyarakat kepada sosok caleg yang diidolakan.

Satu hal yang paling menonjol adalah dukungan masyarakat berjalan di atas emosinya yang membedakan. Ini bukan reproduksi pengetahuan dari masyarakat, tetapi akibat dari munculnya pemikiran mendapatkan kedudukan dan kekuasaan parlemen. Maka, masyarakat terbagi-bagi menjadi pro caleg A versus pro caleg B. Selama masa kampanye, saya menemukan tidak sedikit masyarakat mendirikan kesadaran sebagai pihak yang berbeda terhadap masyarakat lain di luar pendukungnya. Sekalipun satu keluarga, marga atau suku, apalagi bangsa tidak dapat menyatu.

Pemilu, Panggung Sandiwara

Politik praktis ini sudah menjadi tradisi/budaya dan pendekatan menuju seorang tonawi (baca: pemimpin atau pengusaha). Banyak manusia Papua dan Paniai berbondong-bondong mencari menjadi seorang tonawi, baik yang sekolah, maupun yang tidak pernah sekolah (menggunakan ijazah pinjaman).

Memang menjadi tonawi tidak punya persyaratan yang ketat untuk diperoleh siapa saja. Tetapi selama ini menjadi tonawi seolah-olah hanya melalui politik praktis yang sudah terbangun dan disediakan negara.

Ruang Pemilu dimainkan serupa dengan adegan-adegan atau periode Pemilu sebelumnya. Tetapi periode ini cukup berbeda sejauh pengamatan saya.

Satu hal yang berbeda terlihat dari boncengan kepentingan merebut kekuasaan eksekutif di kabupaten Paniai. Ada kekuasaan intervensi dari boncengan kepentingan dalam urusan merebut legislatif.

“Ada tiga kekuatan besar sudah masuk di kampung-kampung,” kata seorang kawan diskusi.

Hasil pengamatan itu tidak jauh berbeda dengan pengamatan masyarakat lainnya.

Saya menemukan ada empat kelompok yang kuat dan besar yang bermain di sana. Masing-masing kelompok memiliki strategi penguasaan masyarakat dan memenangkan suara terbanyak. Khususnya wilayah barat Paniai, paling aktif bermain adalah tiga kekuatan.

Masing-masing kekuatan itu berusaha menjaring suara yang banyak untuk memenuhi banyak kursi, dengan berbagai pendekatan dan alat, termasuk media sosial. Berdasarkan narasi yang berkembang dalam obrolan masyarakat dan mengobservasi langsung terindikasi ada beberapa pendekatan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pertama, mereka memanfaatkan dan memfasilitasi penyelenggara dengan menempatkan PPD, PPS dan KPSS. Proses Pemilu berlangsung dengan menyalahi kode etik dan sumpah janji yang termuat dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ada semacam keberpihakan kepada caleg tertentu dan pro terhadap partai politik tertentu. Memang tidak semua penyelenggara ada keberpihakan.

Kedua, caleg dan komplotan partai pemenang Pemilu melibatkan masyarakat dan pemuda. Masyarakat dan pemuda adalah tangan panjang. Mereka ini menghadapi badai alam dan tamparan cerita atau sentimen yang mencoreng harkat dan martabat. Ramai-ramai masyarakat saling menyerang, termasuk antara komplotan tangan panjang itu.

Selain itu, ada indikasi dukungan dari pembina politik tingkat kampung.

“Garuda ageyaa nidimemegaika, idibi nake naimai menineka,” kata seorang aparat kampung.

Permintaan ini bukan tanpa pro kontra antara masyarakat.

Potret keberpihakan itu terdesain secara sistematis. Sistem Pemilu yang tidak bersih dari kotoran elitis yang mau terus berkuasa di masyarakat. Akibatnya terbangun kelompok-kelompok dan komplotan yang bersaing secara ketat dan menciptakan perpecahan komunikasi masyarakat.

Perpecahan ini diperparah dengan konflik sosial. Pada 16 Februari 2024, Frits menjadi korban akibat konflik perebutan suara antara masyarakat pro satu caleg dan pro kepada caleg lainnya di kelurahan Enarotali.

Di tempat lain, konflik perebutan suara antara caleg dan masyarakat mengemuka. Keadaan ini justru menciptakan perpecahan masyarakat sebelumnya yang satu.

Uang Memisahkan Kawan

Uang tidak punya tulang, bisa menembak mati seorang manusia. Tetapi uang memiliki kekuatan mengajak dan memerintah. Siapa saja akhirnya bisa tunduk dan menuruti, melaksanakan kerja sesuai kehendak pemilik uang.

Dalam urusan pesta Pemilu, uang menjadi alat pelaksana untuk merampok dan memeras hati nurani manusia. Arti sebuah kebebasan atau tindakan bebas memilih masyarakat kepada caleg bukanlah prioritas.

Memang peran uang di beberapa kampung tidak menonjol. Tetapi kasus Pemilihan Umum Susulan (PSS) di beberapa distrik, termasuk distrik Muye bisa jadi sampel. Menurut keterangan yang saya terima, C1 dan hologram model baru dibawa kabur PPD distrik Muye. Tindakan ini konon dikendalikan salah satu caleg yang menyuplai dana sekelompok orang yang bertugas mengamankan.

“Penyelenggara Pemilu orientasinya uang,” kata kepala suku Paniai Barat yang juga sebagai caleg provinsi Papua Tengah, pada 18 Februari 2024.

“Paniai Barat kouko sudah main dengan uang, dibayar dengan uang”. Pernyataan itu disampaikan seorang caleg salah satu partai pada 20 Februari 2024.

Dalam obrolan masyarakat mendapati keterangan yang serupa. Ada seorang warga dari kampung Epoo Obano memberikan keterangan, adanya tawaran-tawaran dana dari seorang caleg untuk mendapatkan suara. Tidak hanya tawaran saja, di tempat lainnya caleg dan politisi, terutama yang memiliki rencana merebut eksekutif terang-terangan belanja suara dengan sejumlah dana.

“Paniai uang ita tapa” (artinya, uang beredar cari suara),” kata seorang warga di pelabuhan Aikai pada 16 Februari 2024.

Pilihan uang menjadi urusan primer. Sekalipun memiliki hubungan sosial, kekerabatan dan hubungan kawan yang harmonis. Ada penyelenggara Pemilu orientasinya uang, lebih memilih memihak.

Saluran-saluran komunikasi yang memupuk solidaritas antar kawan tersumbat. Ada pemuda bersumpah hendak memisahkan dirinya dengan kawannya yang menduduki sebagai penyelenggara, oleh karena tidak memberikan perhatian terhadap kepentingannya.

Praktik money politics tidak sekadar memuaskan keserakahan manusia. Tetapi jauh dari itu, berhasil menempatkan harga diri dan martabat manusia dalam urusan politik uang.

Ada unsur manipulasi kebebasan memilih menjadi komoditas politik. Bukan soal hati nurani masyarakat yang dihadirkan dalam pesta Pemilu, tetapi penyerangan terhadap kontestasi hak sipil politik.

Uang menjadi urusan pertama disoalkan. Maka, tidak dipungkiri kemungkinan-kemungkinan orientasi pembangunan kedepannya masih diteruskan pola dan budaya pembangunan yang cenderung prioritas kepentingan pribadi atau lebih menitikberatkan kepada kehendaknya.

Melebihi Relasi Sosial

Kekayaan sosial yang tak dapat diganti dan apalagi dibayar dengan money politics adalah persatuan. Persatuan sebagai akumulasi dari kekayaan hubungan-hubungan sosial yang terdidik dan terlatih secara baik dan harmonis selama berabad-abad lamanya.

Tetapi, politik praktis justru menjadi satu kausalitas dan senjata ampuh yang melumpuhkan keberadaan hubungan antarasesama manusia, khususnya manusia Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

“Saya ini Amoye paa kamu tahu, dorang itu ibopaa,” (pernyataan pembedaan antara warga akibat klaim bukan sebagai pendukung caleg dari sekampung) kata seorang warga kampung Mogeya pada 18 Februari 2024.

Kesadaran bermusuhan ditempatkan di depan wajah. Ekspresi-ekspresi pembedaan dihadirkan dalam perdebatan merebut suara.

Aniya mude pekaida umete keike uwii etinega keii epaa keike,” kata seorang caleg pada 16 Februari 2024.

Pernyataan ini menjelaskan akan menciptakan konflik baru dalam hubungan sosial antara caleg dan masyarakat, yang terus saling menyerang sentimen negatif.

Pernyataan ini punya basis pemikiran yang menempatkan hubungan sosial bukanlah sesuatu yang berharga daripada urusan politik praktis, yang seolah sebagai satu-satunya pendekatan mendapatkan kedudukan sebagai seorang tonawi.

Ancaman dan saling serang pernyataan itu tidak hanya hadir dari kaum rakyat. Intelektual yang memiliki cara pandang yang seharusnya berbeda pun ikut mereproduksi narasi-narasi yang saling menyerang.

“Intelek ini penuh dengan ba saja. Aki kii epaa kike peu epaa”. Tidak sedikit mengurangi amarah yang berlebihan dari lawan narasi.

Hubungan-hubungan yang dibangun dengan harmonis dan ditempatkan dengan teduh, bisa dalam sekejap menjadi carut-marut. Bahkan mengklaim bukan sebagai satu keluarga, marga yang memiliki genealogi yang sama. Akibatnya, basa-basi ini diingat dan disimpan dalam memori pribadi, bahkan secara kolektif. Maka, terciptalah jarak antara sesama. Jarak ini punya potensi yang terus dipupuk dalam kehidupan mendatang.

Konstruksi Pikiran Baru

Temuan-temuan yang digambarkan dalam tulisan ini, ada satu asumsi yang mendasari bahwa politik praktis sebagai alat jitu yang terbangun secara sistematis untuk membongkar hubungan-hubungan persatuan sebagai keluarga, suku dan bangsa.

Hubungan-hubungan kekerabatan, kekeluargaan, kebersamaan, persatuan sudah tidak bisa dipastikan terjaga. Kendati negara memberikan kebebasan dan ruang politik kepada masyarakat Papua, tetapi justru dibaliknya ada semacam misi lainnya dan berhasil menciptakan perpecahanan dan berkotak-kotak komunitas dengan bersolidaritas dalam hubungan kepentingan kekuasaan.

Keterpilihan relasi dan bangunan kelompok baru dibentuk dengan pemikiran yang dimanipulasi melalui politik praktis yang diterjemahkan melalui media pesta Pemilu. Politik praktis menjadi pencipta basis pengetahuan dan pembangunan kesadaran semu membentuk pikiran-pikiran yang saling memandang berbeda dan saling menentang antara semarga, sesuku dan sebangsa. Pikiran berbeda dan kontradiktif itu pada perkembangan dan tingkatannya melahirkan aksi fisik. Konsekuensinya, kekerasan dan ancaman bahkan konflik antara sesame mengemuka.

Rekaman-rekaman kekerasan yang saling berhadapan dan saling serang apalagi meninggal luka-luka dan bilur-bilur politik yang jahanam tentu akan terselip dibalik ingatan memori. Memori semacam itu punya daya cipta ruang perpisahan yang cukup kuat dan berpotensi berkepanjangan.

Saya termasuk generasi yang menghadapi fenomena itu dan masih merasakan suasana hangatnya, akibat cerita politik praktis di masa lalu. Perpisahan dan terbentunya pikiran berbeda tidak hadir di masa pesta Pemilu. Maka, tidak salah politik praktis disebut sebagai pendekatan lainnya menciptakan politik pecah belah “devide et impera” diantara sesama anak suku bangsa.

Sebenarnya pembangunan kelompok dan identitas baru itu pemahaman sepintas yang hadir secara spontanitas. Sebagai akibat dari merespons situs-situs masalah dan strategi perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif yang tertayang di suasana politik praktis atau pesta Pemilu.

Tetapi, dalam fenomena keterpilihan relasi sosial ini justru ada yang menguntungkan, ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar yang datang dan menduduki posisi beruntung. Mereka berdansa dan bertepuk sembari senyum-senyum di belakang. Para pebisnis dan kekuasaan yang menjajah dan menghisap tanah air selama ini.

Maka, ubahlah perspektif kita yang saling serang dan menekan yang berujung atau saling menundukkan dengan serbuan narasi negatif ataupun strategi saling memperalat yang justru menciptakan ancaman, kekerasan dan konflik yang berujung pada perpecahan hubungan keluarga dan sebangsa yang harmonis. Tidak hanya dalam hubungan masyarakat sipil, tetapi juga termasuk sesama intelektual.

Semestinya politik praktis diciptakan sebagai alat dan media yang dapat menghasilkan pemimpin yang siap selamatkan manusia dan tanah air dari incaran kepentingan yang tidak pernah merekognisi dan memproteksi orang Papua selama ini. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.