Seminar Lingkar Studi Papua: Orang Papua sangat Peduli dengan Pendidikan, Cita-Cita Awal Otonomi Khusus, Persoalan Kesehatan, Peran Media dan Entrepreneurship (Part 2)

    0
    2953
    Permasalahan kesehatan di Papua telah lama menjadi perbincangan dan seakan mencapai klimaksnya di awal tahun 2018 dimana 70 anak Asmat harus meninggal dunia akibat gizi buruk dan wabah campak. Lingkar Studi Papua (LSP) sebagai komunitas yang terdiri dari para akademisi dan pemerhati Papua berbasis di UK menaruh perhatian yang sangat besar terhadap isu ini. Hal itu ditumpahkan dalam diskusi yang produktif sebagai salah satu rangkaian kegiatan Indonesian Scholars International Convention ke 18 di University of Coventry, Inggris.
    drg. Aloisius Giyai (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua) dan Bapak Yorrys Raweyai, Tokoh Nasional dari papua

    Dalam kesempatan tersebut, LSP merumuskan berbagai permasalahan kesehatan dan usulan solusi yang dapat dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan di Papua, dan Indonesia pada skala yang lebih besar.

     Permasalah kronis Papua

    Pemateri di sesi pertama drg. Aloisius Giyai dalam pemaparannya mengatakan tingginya angka kematian ibu dan bayi, gizi buruk, HIV/AIDS, malaria, tuberkulosis, minimnya sarana-prasarana kesehatan, kurangnya dokter dan tenaga kesehatan menjadi masalah klasik di Papua. Akan tetapi seakan perkembangan ke arah perbaikan terasa sangat lambat. Dana besar yang berasal dari dana Otsus seakan tidak disalurkan sebagaimana mestinya jika melihat kasus gizi buruk Asmat awal tahun 2018 kemarin. Kasus gizi buruk tersebut seakan menjadi sebuah “wake up call” yang membuka mata dan menjadi titik tolak yang ideal untuk mengupas persoalan kesehatan di Papua.

    drg. Aloisius Giyai, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua memaparkan isu-isu kesehatan di Papua.

    Dalam presentasi yang disampaikan oleh Bapak Yorrys Raweyai, seorang tokoh kunci dari di kanca perpolitikan nasional dari Papua ini mengatakan, “Kenapa kasus gizi buruk ini begitu penting?”  Ia lanjut menjelaskan bahwa bom waktu bernama gizi kurang harus diwaspadai. Tidak hanya risiko untuk berubah menjadi gizi buruk jika tidak ditangani secara serius, tetapi lebih penting adalah bagaimana gizi kurang ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak Papua. Dan mereka pun menjadi rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit. Sebuah generasi yang sulit untuk berkompetisi dengan saudara-saudara di belahan Indonesia yang lain, dan akan menjadi sebuah lingkaran setan kemiskinan di masyarakat Papua. Mungkin bisa dibilang sebuah “new genocide”, yang tidak berarti membunuh secara fisik tetapi membunuh potensi generasi muda Papua untuk dapat bersaing untuk keluar dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam sesi yang pertama ini, kedua pembicara sepakat bahwa ini adalah masalah yang serius yang harus segera ditangani pokok permasalahannya juga permasalahan lain seperti meningkatnya kasus HIV/AIDS, malaria dan tuberkulosis yang terus mengancam masyarakat Papua. Perlus solusi jangka panjang dan terukur untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

    Pembicara sesi pertama seminar LSP dan moderator Arie Ruhyanto,Mahasiswa S3 University of Birmingham

    Kedua pembicara di sesi ini telah memaparkan beberapa permasalahan serta kesempatan untuk berubah di bidang kesehatan dan paneli diskusi ini menyimpulkan bahwa,

    ads

    “Kita perlu bersyukur bahwa saat ini pembangunan di Papua sudah lebih cepat dan menjangkau berbagai wilayah terpencil di Papua. Akan tetapi, pembangunan ini bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak disikapi dan ditindaklanjuti dengan baik. Pembangunan yang berwawasan budaya dan lingkungan perlu dilakukan. Jangan sampai justru memunculkan konflik-konflik baru seperti kerusakan lingkungan yang berakibat pada masyarakat”

     Solusi

    Sesi panel diskusi pertama ini telah menghasilkan dan mendorong perlu adanya solusi jangka panjang dan berkelanjutan. Dana Otsus yang mencapai 67 triliun telah digelontorkan sejak tahun 2002 akan tetapi efek yang dirasakan oleh masyarakat belum optimal. Meskipun otonomi khusus telah dicanangkan dengan pemerintah daerah sebagai pemimpin utama, tetapi untuk sektor kesehatan dan pendidikan masih dirasa perlu untuk melibatkan secara aktif pemerintah pusat untuk memastikan tercapainya agenda nasional untuk kedua sektor tersebut.

    Peserta seminar dari kalangan mahasiswa Indonesia di Inggris Raya

    Hal lain yang menjadi sorotan dan catatan penting dalam diskusi sesi pertama ini adalah pembentukan pusat-pusat studi strategis di Papua untuk dapat secara independen memberikan evaluasi dan input terhadap permasalahan-permasalahan di Papua juga sangat penting. Peran tersebutlah yang juga diambil oleh LSP. Pusat-pusat penelitian yang berbasis di perguruan-perguruan tinggi Papua sangat diperlukan, yang menjadi wadah bagi para ahli dan pemerhati Papua untuk ikut berkontribusi langsung dalam membangun Papua.

    Pembangunan Papua yang berwawasan lingkungan dan menempatkan masyarakat Papua sebagai aktor utama juga sangat penting. Pendidikan kesehatan untuk mengubah persepsi yang salah tentang kesehatan di masyarakat juga diperlukan. Dan yang paling utama adalah political will yang kuat dari para penentu kebijakan. Tidak bisa dipungkiri, kebocoran anggaran sudah menjadi rahasia umum dan justru menjadi penyebab tidak maksimalnya program-program kesehatan di Papua. Program-program fiktif yang akhirnya menempatkan masyarakat menjadi korban dari keserakahan oknum-oknum elit di pemerintah.

    Kami yakin semua berharap bahwa Papua akan maju dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kolaborasi dari semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga dan memajukan Papua.

    Tulisan ini dirangkum oleh Mushtofa Kamal, Mahasiswa S2 di Liverpool School of Tropical Medicine, ambil Tropical and Infectious Diseases

    Pewarta: George Saa

    Artikel sebelumnyaForum Oikumenis Gereja: Hentikan Rasisme Terhadap Orang Papua!
    Artikel berikutnyaSehari Sebelum HUT ke-20, AMP Komite Kota Bali Reorganisasi