Jumat 2016-01-15 09:17:10
WAMENA, SUARAPAPUA.com — Berlanjutnya kasus kematian anak di wilayah Mbua, Kabupaten Nduga, Papua, mesti segera ditanggapi serius pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
Permintaan ini disampaikan Tokoh Gereja, Peduli HAM, mahasiswa, masyarakat dan orang tua korban yang tergabung dalam Forum Peduli Hak Asasi Manusia (HAM) Pegunungan Tengah Papua, Jumat (15/1/2016) saat jumpa pers di Kantor Klasis Kingmi Baliem Tengah, Wamena, Jayawijaya.
Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem menegaskan, kasus kematian anak di wilayah Mbua merupkan bagian dari pelanggaran HAM yang terus diabaikan pemerintah.
“Ini sudah masuk pada kategori pelanggaran HAM, karena hak-hak masyarakat sipil dan hak anak di bawah umur yang seharusnya diobati secara baik, tetapi ada pembiaran dari pemerintah daerah,” ujar Theo saat jumpa pers, siang tadi.
Ironisnya, kata Theo, hingga hari ini belum ada statemen resmi dari Pemerintah Kabupaten Nduga terhadap kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menelan puluhan nyawa anak Papua di wilayah Mbua.
Ia malah mempertanyakan, mengapa mekarkan sebuah kabupaten, sedangkan generasi yang akan mengisi daerah itu sedang mengalami kematian misterius tanpa ada perhatian?
Peran Dinas Kesehatan setempat juga dipertanyakan. Sebab, tak ada upaya serius. Justru mereka membiarkan kematian terus berlanjut, padahal kewenangan melakukan sesuatu dari provinsi sudah dilimpahkan ke daerah.
Jika tidak ada perhatian dari pemerintah pusat hingga daerah, dipastikan masyarakat Mbua akan mati melarat.
“Nah, bagian ini kami lihat sebagai pelanggaran Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) yang butuh perhatian serius. Maka, kami peduli HAM pegunungan tengah pertanyakan, dimana peran pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah?”
“Kami melihat dibalik kejadian yang terus berlanjut ini, Dinas Kesehatan Nduga, Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat segera membuktikan apa sebenarnya yang terjadi. Ini yang kami bersama masyarakat korban di wilayah Mbua harapkan,” ungkap Theo Hesegem.
Theo menambahkan, laporan yang telah disusun berdasarkan hasil investigasi oleh mahasiswa akan dilaporkan ke Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Kepresidenan.
Intinya, kata Theo Hesegem, pihaknya minta Pemerintah Pusat hingga Daerah menanggapi secara serius kasus KLB di Mbua ini.
Persoalan lain, kehadiran aparat TNI/Polri di Mbua bukan menyembuhkan luka hati masyarakat, tetapi justru menakutkan hingga masyarakat lari di saat kondisi yang memprihatinkan itu.
Diduga, kehadiran aparat di sana justru membuat trauma masyarakat setempat.
“Kami takut kalau polisi dan militer itu datang, jadi biar bilang mau pengobatan massal atau apa kah kami tidak mau. Kami harap bantuan dari kesehatan saja,” tutur Theo mengutip pernyataan masyarakat Mbua.
Kehadiran aparat keamanan sudah tak sesuai tugas dan kewenangan. Sebab, orang sakit atau kasus kematian adalah kewenangan Dinas Kesehatan.
“Jangan sampai masyarakat di sana karena takut bawa anak-anak mereka ke hutan dan mati di hutan akibat tidak mendapat perawatan medis. Ini keraguan kami, jadi itu tidak boleh terjadi. Kami minta militer dibatasi,” ujar Theo.
Senada diungkapkan Pastor John Jonga, Pr. Menurutnya, kehadiran TNI/Polri bikin resah masyarakat Mbua.
Pastor John berharap, dalam situasi KLB ini tak perlu ada keterlibatan TNI/Polri dalam kegiatan pengobatan massal atau dalam bentuk lainnya.
“Kami juga mendesak Presiden Jokowi agar menugaskan Staf Ahli atau Petugas Khusus untuk mencari tahu kasus kematian umat Tuhan di Mbua. Tidak bisa bilang hanya penyakit Pertusis dengan komplikasi Pneumonia yang ketika dicari tahu ini penyakit batuk-batuk yang biasa dialami 100 hari.”
“Tetapi bagaimana penyakit mematikan ini muncul, itu harus ditemukan. Jadi, mendesak Presiden, karena dia sudah keliling Papua habiskan miliaran rupiah, tetapi dia tidak pernah singgung tentang masyarakatnya di Nduga,” tutur Pastor John.
Hasil investigasi yang telah dilakukan oleh tim Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua (SKJWM), kata dia, bisa diterima Presiden Jokowi dan Menteri Kesehatan RI.
Sementara itu, Arim Tabuni, koordinator SKJWM, menyatakan, angka terakhir kematian anak di wilayah Mbua sebanyak 54 orang. Diantaranya, 25 orang laki-laki dan 29 orang perempuan.
“Angka 54 ini data terakhir pada awal Januari dan diperkirakan akan terjadi, karena tidak ada penanganan serius dari pemerintah daerah maupun pusat,” ujar Arim.
Ketidakseriusan pemerintah terhadap KLB di Mbua disesalkan Pdt. Abraham Ungirwalu, ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Jayawijaya (PGGJ).
Pendeta Abraham mengaku heran karena ketika ada kejadian teroris yang menewaskan satu atau dua orang hampir seluruh Indonesia gempar, tetapi kasus kematian puluhan orang di Tanah Papua, tidak ada respons.
“Kematian yang dialami oleh warga Papua di gunung maupun di daerah lain hingga kini dilihat seperti hal yang biasa. Tidak ada kepedulian. Sayang sekali,” ucapnya.
Lanjut Pendeta Abraham, “Populasi kita orang Papua terus berkurang. Bandingkan dengan PNG, angka kelahiran di Tanah Papua banyak, tetapi jika disensus kembali angka kematian kita justru paling tinggi. Jadi, Pemerintah Pusat dan Daerah harus serius untuk menangani persoalan kematian umat di Mbua ini.”
Ketua Klasis GKI Baliem Yalimo, Pdt. Judas Meage juga menyoroti sikap apatis pemerintah terhadap kejadian di Mbua.
Pendeta Meage menilai Pemerintah Pusat tak serius dengan Papua. Hal berbeda jika berbicara isu Papua terutama PT Freeport, cepat sekali tindakannya karena kemungkinan akan mengalami kerugian nilai Dollar, tetapi nilai manusia diabaikan.
“Padahal, nilai manusia sangat lebih mahal ketimbang nilai Dollar. Itu yang terjadi. Jadi, kami rasa prihatin dengan kematian anak di Mbua. Ini nyawa manusia, bukan binatang yang dibiarkan begitu saja,” ucapnya lirih.
Kehadiran Presiden Jokowi di Papua khususnya di Wamena, seharusnya ada pernyataan resmi mengenai KLB di Mbua. Kunjungannya terkesan biasa saja karena tak singgung sedikitpun.
“Ada kasus KLB seperti ini presiden harus bicara supaya perhatikan serius, jangan biarkan sesama ciptaan Tuhan mati seperti binatang,” tegas Pendeta Meage.
Editor: Mary
ELISA SEKENYAP