Arsip12 Tahun Tragedi Abepura Berdarah; Tidak Ada Rasa Keadilan Bagi Korban

12 Tahun Tragedi Abepura Berdarah; Tidak Ada Rasa Keadilan Bagi Korban

Jumat 2012-12-07 16:31:45

PAPUAN, Jayapura — Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, bersama dengan Bersatu Untuk Keadilan (BUK) mengingatkan bahwa pernah terjadi kejahatan kemanusiaan atau yang dikenal dengan peristiwa Abepura berdarah, 12 tahun silam, tepatnya 7 Desember 2000, yang menewaskan lima warga sipil, dan ratusan lainnya di kabarkan luka-luka parah.

“Kami menggelar jumpa pers dengan tujuan untuk mengingatkan kepada public, bahwa pernah terjadi kejahatan kemanusian yang dilakukan militer Indonesia terhadap beberapa warga sipil, namun sama sekali belum memenuhi rasa keadilan bagi korban.”

 

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekertaris BUK, Baguma Yarinap, yang di damping Kordinator KontraS Papua, Olga Hamadi, saat menggelar jumpa pers, siang tadi, Jumat (07/12) di Kantor KontraS Padang Bulan, Papua.

Menurut Baguma, secara umum proses hukum terhadap kasus Abepura berdarah sudah sampai pada tahap pengadilan HAM di Makassar, namun sama sekali tidak memberikan rasa keadilan bagi korban, sebab dua petinggi Polisi yang dianggap bersalah akhirnya di bebaskan juga.

“Dua pelaku utama, yakni Komisaris Besar Polisi Jhony Waina Usman yang saat itu menjabat sebagai Komandan satuan Brimob Polda Irian Jaya, dan Ajun Komisaris Besar Daud Sihombing sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi, keduanya dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan murni dari jeratan hukum.”

Padahal, lanjut Baguma, dari hasil investigasi yang dilakukan KPP HAM, seharusnya ada 25 orang pelaku dari aparat kepoilisian yang diminta pertanggung jawabannya di pengadilan HAM Makassar.

Kemudian, dari 105 korban warga sipil, hanya 17 orang saja yang diminta keterangan  sebagai saksi di pengadilan HAM Makassar.

Dikatakan, melihat proses peradilan yang yang tidak memberikan efek jerah pada para pelaku, tentu akan menimbulan ketidakpercayaan kepada penegakan hokum di Indonesia, dan lampiasannya dilakukan berbagai ekspresi.

“Aksi menaikan bendera, aksi demo, dan bentuk-bentuk aksi lainnya yang dilakukan masyarakat Papua merupakan dampak dari proses penegakan hokum yang  tidak memenuhi rasa keadilan orang Papua sebagai korban dari kekerasan itu,” kata Baguma.

Dalam tuntutannya, BUK dan KontraS mendesak Presiden Republik Indonesia, melalui Komnas HAM RI yang baru saja terpilih untuk segera menindaklanjuti berbagai temuan pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah Papua, khususnya dua kasus besar, yakni kasus Wasior Berdarah dan Kasus Wamena berdarah.

“Kami dengar, kedua kasus tersebut sudah ditangan kejaksaan, namun karena dianggap belum memilki data-data dan bukti yang kuat, sehingga dikembalikan lagi kepada Komnas HAM, namun kami melihat kejaksaan sengaja mengulur-ulur waktu penyelesaiaan kasus tersebut,” tegas Baguma.

Selain itu, BUK dan KontraS juga mendesak Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP untuk mendorong evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di tanah Papua, dan menolak pasukan organic dan non organic, serta merasionalisasikan jumlah aparat TNI/Polri di tanah Papua yang mengakibatkan banyak pelanggaran HAM berat ditubuh warga sipil.

BUK dan KontraS juga meminta agar pemerintah dan aparat TNI/Polri dapat menghentikan segala macam upaya dan bentu kekerasan, baik penembakan, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang, dan pembungkaman demokrasi di tanah Papua terhadap seluruh warga sipil di tanah Papua.

Sementara itu, Kordinator KontraS Papua, Olga Hamadi mengatakan bahwa lemahnya penegakan hokum yang berdampak pada ketidakadilan bagi para korban bukan hanya terjadi pada kasus Abepura berdarah saja, namun hampir semua kasus pelanggaran HAM di Papua bernasib demikian.

“Kami akan terus mengingatkan kepada pemerintah, bahwa masih ada banyak kasus pelanggaran HAM berat yang belum diseleesaikan sampai saat ini,” kata Olga.

Khusus untuk Kasus Abepura, menurut Olga sudah ada langkah baik karena sudah sampai pada tahapan proses hokum di pengadilan, namun lagi-lagi tak memberikan rasa keadilan terhadap korban kareha hakim tidak melihat secara objektif, dan justru takut kepada pelaku yang notabene dari institusi militer.

Sekedar diketahui, kasus Abepura berdarah terjadi pada malam pukul 01.30 WIT, saat itu sejumlah orang tidak dikenal menyerang Mapolsekta Abepura, kemudian membakar beberapa ruko disekitar, yang mengakibatkan satu orang anggota Polisi meninggal dunia.

Buntutnya, sekitar pukul 02.30 WIT malam yang sama, ratusan aparat dikerahkan ke tiga Asrama di sekitar Abepura, seperti Asrama Ninmi, Asrama Yapen Waropen, dan Asrama IMI, dan tiga pemumikan penduduk sipil untuk menangkap warga.

Anggota Brimob saat itu melakukan pengrusakan, pemindahaan paksa, ancaman, makian, pemukulan, hingga mengambil sejumlah barang milik mahasiswa.

Dikabarkan, satu mahasiswa atas nama Elkius Suhuniap meninggal dunia, sedangkan dua mahasiswa lainnya dari Asrama Ninmi, Jhoni Karuggu dan Orry Dronggi dikabarkan meninggal karena mendapat penyiksaan hebat selama di dalam tahanan Polresta Jayapura.

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.