Jumat 2014-05-09 14:16:30
PAPUAN, Jayapura— “Saya pikir Papua masuk ke dalam NKRI ini merupakan kecelakaan. Kecelakaan sejarah, kecelakaan politik, kecelakaan sosial maupun kecelakaan budaya. Setelah 50 tahun dalam NKRI, nyatanya nasib Papua bukan lebih baik, tetapi malah lebih buruk."
Demikian penegasan Sekjen Presedium Dewan Papua (PDP), Mohammad Thaha Alhamid, belum lama ini saat dihubungi suarapapua.com, via telepon selulernya dari Jayapura, Papua.
“Lebih kacau balau dan nyaris tak berpengharapan. Tahun 1969, Indonesia menolak one man one vote dengan alasan orang Papua masih primitif dan bodoh. Tahun 2013, bahkan 2014 ini juga Pilkada dan Pileg masih pake sistem noken. Apa artinya ? 50 tahun ini, Indonesia bikin apa? Sehingga orang Papua masih tetap primitif dan bodoh."
"Saya kira, banyak hal mesti dibicarakan dengan cermat. Dengan hati dan kepala dingin. Jangan biasakan diri larut dalam upacara yang simbolik tapi tanpa perubahan nasib yang nyata," katanya.
Menurut Thaha, perasaan Orang Asli papua hari ini setelah bersama Indonesia adalah ada tiga kelompok besar. Pertama, sebagian besar rakyat jelas merasa tertindas dan teraniaya, miskin, hidup tidak layak dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang buruk.
Di lapisan ini, umumnya mereka faham keadaannya, tapi mereka tidak bisa merumuskan apa akar masalah dan bagaimana jalan keluar dari masalah itu.
Dilapisan kedua, orang Papua yang masih terjebak himpitan ekonomi, tapi umunya yang sudah cukup makan, pendidikan, bisa bekerja dan berusaha.
"Mereka inilah yang selama ini, coba rumuskan masalah serta berupaya mencari jalan keluar. Termasuk lewat tuntutan politik, emansipasi soaial maupun keadilan ekonomi. Jumlah lapisan ini, sangat terbatas dan selalu jadi sasaran," tegasnya.
Dan kelompok yang ketiga, lapisan ini adalah elit-elit politik dan birokrat Papua. "Mereka umumnya pegang kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan. Mereka tahu dan faham bahwa mayoritas rakyat di kampung-kampung masih tertindas, hidup tidak layak dan serba terbatas, tetapi mereka justru sedang menikmatinya."
"Mereka suka upacara, suka retorika, suka pulang pergi Jakarta dan luar negeri. Suka hidup mewah dan sangat menikmati situasi ini."
"Dan dari berbagai persolan yang terjadi pada orang Papua setelah dianeksasi secara paksa ke Indonesia atau dikawinpaksakan kepada Indoensia, Papua telah menjadi anak tiri. Sehingga segalah upaya yang dilakukan oleh Iundonesia terhadap Papua tidak pernah dengan sepenuh hati."
"Selalu dengan setengah-setengah. Ada indikasi, Pemerintah tidak ingin membangun Papua. Pemerintah indonesia hanya menginginkan kekayaan alam dari perut bumi Papua yang melimpah," tegasnya.
Sehingga, lanjut Thaha, yang diperjuangkan oleh Indonesia untuk tetap mempertahankan Papua bersama Indonesia adalah bukan karena manusia Papuanya, tetapi karena ingin merebut dan mengeruk terus kekeayaan yang ada di dalam perut bumi pulau, yang berbentuk paruh burung surga atau Cenderwasih ini.
Dari berbagai persoalan itu, menurut Thaha, solusi yang terbaik bagi orang Asli Papua hari ini adalah Dialog. “Saya kira, jalan utama yang elegan, orang Papua sendiri, dari seluruh lapisan dan tingkatan, dari seluruh latar belakang mesti berkontemplasi, merenung dan berdialog dengan diri sendiri. Barulah, ambil langkah untk duduk bersama, cari jalan terbaik. Perkara pola hubungan Papua dengan Jakarta, saya rasa semua kita sudah tahu."
"Jalan terbaik dan mulia cuma Dialog. Jangan perang, jangan baku marah, jangan usir orang lain, jangan bunuh rakyat seenaknya. Yang paling Mulia adalah dialog. Menjadi pertanyaan bersama, apakah Pemerintahan baru nanti, Papua masih menjadi perhatian unt terus mendorong jalan damai? Ataukah akan datang lagi praktek kekerasan dan pembantaian seperti di masa lalu?" tutup Thaha. Â
ARNOLD BELAU