Kitorang Basodara: Kumpulan Istilah Terkait Resiko Politik Pilkada di Provinsi Papua 2018

0
3578

Oleh: Yosef Rumaseb)*

Menyikapi dinamika pemilihan umum (pemilu) tahun 2018 – 2019, muncul beberapa tulisan atau berita berisi istilah yang merefleksi resiko-resiko politik secara nasional. Istilah ini dibuat berdasarkan fakta sejarah.

Saya catat beberapa dari istilah itu dan merangkainya sesuai dengan situasi sospol di Provinsi Papua yang mulai dilanda demam pemilihan Gubernur.

I. Kumpulan Istilah Tentang Ancaman atau Resiko 

1. 1. Indeks Kerawanan Pilkada (IKP)

ads

Komisioner Bawaslu RI Frits Edward Siregar mengatakan, menurut penilaian Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) Bawaslu, ada tiga indikator yang menyebabkan potensi kerawanan pemilu. Ketiga indikator itu meliputi kontestasi, penyelenggara, dan partisipasi masyarakat.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai, Provinsi Papua menduduki peringkat pertama daerah terawan se-Indonesia pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah. Frits menganjurkan agar semua pihak berkaca pada pengalaman Pilkada sebelumnya di Papua. Kontestasi pasangan calon dan partai politik dinilai berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya, pasangan calon lebih mengedepankan kesukuan ketimbang program untuk menarik suara pemilih.

Drama politik tahun 2018 ini di Provinsi Papua akan diikuti kampanye hingga pemilihan Gubernur dan pemilihan beberapa Bupati di Kabupaten Puncak, Paniai, Deiyai, Jayawijaya, Mimika, Mamberamo Tengah, dan Biak Numfor.

1.2. Tahun Vivere Pericoloso di Tahun Politik

Istilah vivere pericoloso mengacu pada pengertian “situasi penuh bahaya”, atau setidaknya “menyerempet bahaya”. Istilah ini dijadikan judul tulisan Manuel Kaisiepo di akun fb-nya “2018 Tahun Politik, Tahun Vivere Pericoloso?!”

Manuel Kasiepo mengacu pada Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1964 yang mengingatkan Indonesia pada situasi dan kondisi tahun itu yang dia sebut “Tahun Vivere Pericoloso” disingkat TAVIP. Tahun 1964/5 ditandai oleh friksi dan polarisasi politik yang sangat tajam serta manuver vs kontra manuver politik sengit dalam skala yang masif. Polarisasi dan konflik itu mencapai klimaksnya pada peristiwa 30 September 1965.

Menurut Manuel, di Indonesia secara nasional memasuki tahun 2018, ada kekhawatiran pengulangan situasi polarisasi politik seperti pada era tahun vivere pericoloso (TAVIP) 1964/5 tersebut.

Baca juga: 2018 Tahun Politik: Tahun Vivere Pericoloso?

1.3. Tahun Politik

Manuel juga juluki tahun 2018 – 2019 sebagai TAPOL (Tahun Politik) sebab menurut pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada tahun ini akan berlangsung pilkada serentak terbesar se-Indonesia di 171 daerah, mencakup 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Puncak dari keseluruhan drama politik ini adalah pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019 yang berlangsung serentak dengan pemilu legislatif.

Menurut Manuel, ada potensi polarisasi politik seperti pada era “TAVIP” 1964/5 .

Memang panggungnya beda, setting politiknya juga berbeda. Namun kekhawatiran itu tetap dirasakan sebagian kalangan, sekurang-kurangnya dengan mengacu pada pilkada Jakarta tahun 2017 yang menunjukkan betapa mudahnya membelah masyarakat ke dalam polarisasi politik berbasis politik identitas, betapa gampang menyulut kebencian dan konflik berdasarkan isu2 primordial. Dan pilkada Jakarta adalah barometer !

1. 4. Ideologi Kebencian

Lagi-lagi saya kutip tulisan Manuel Kasiepo di akun facebooknya.

Kebencian ini bukan ekspresi kegundahan emosional psikologis yang sifatnya personal belaka seperti ketika Kain membenci Habel adiknya, lalu membunuhnya. Ini kebencin yangg telah berubah menjadi sesuatu yang bersifat massal dan dahsyat. Seperti kosakata populer dari Mahkamah Konstitusi (MK): “Terstruktur, Sistematis, dan Massif.”

Kebencian telah berubah menjadi ideologi: “Ideologi Kebencian,” seperti diungkapkan Niza Yanay, dalam bukunya, The Ideology of Hartred: The Psychic Power of Discource (2013). Niza adalah profesor di departemen sosiologi/antropologi Universitas Ben Gurion, Israel.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Ideologi kebencian ini adalah “signifier of danger” dalam relasi kekuasaan, yang mampu memobilisasi massa, menjadi bagian dari instrumen kekuasaan yang dioperasikan.

“Bayangkan seorang gadis muda Israel yang hidup nyaman dan tak pernah bertemu dengan orang2 Palestina. Bagaimana mungkin dia secara personal memiliki kebencian terhadap orang2 Palestina dan Arab umumnya?”, Niza memberikan contoh bagaimana cara ideologi kebencian bekerja.

Satu contoh akibat dari ideology kebencian yang terjadi di Indonesia dikisahkan oleh Bapak Simon Morin (mantan Anggota DPR RI Periode 2004-2009) dalam tanggapanya terhadap postingan Manuel Kaisiepo sbb :

“Saya pernah menyaksikan akibat dari kebencian yang pernah ditanamkan di Maluku dan melahirkan konflik Maluku. Pada waktu itu saya menjadi anggota tim pencari fakta konflik Maluku dari DPRRI.

Saya dan bapak Hary Sabarno pakai helokopter mengunjungi sebuah desa kecil bernama Kariu di salah satu pulau di Maluku yang dibumi hanguskan. Kebetulan ini desa Kristen yang berdampingan dengan desa Moslem yang lebih besar.

Kami bertanya kenapa bisa terjadi seperti ini. Mereka yang kami tanyai menjawab bahwa dulu mereka hidup rukun dan saling membantu. Kalau pada Hari Raya Lebaran yang Kristen datang membantu memasak atau mengirim makanan untuk saudara2nya yang merayakannya. Demikian juga sebaliknya. Kalau pada hari Natal saudara2 yang Moslem datang membantu dan menyuruh saudara2nya yang Kristen pergi ke gereja. Tiba tiba provokator datang dan menyebarkan rasa kebencian antar mereka dan semua seperti terhipnotis, timbul rssa kebencian yang luar biasa terhadap saudaranya yang berbeda agama dan saling menyerang.

Akibat konflik ini hampir sepuluh ribu orang Maluku terbunuh seperti yang pernah diungkapkan DR. Tomagola dari Universitas Indonesia.”

1. 4. Perang Proksi

Istilah Perang Proksi atau proxy war artinya perang atau konflik yang dipicu oleh tangan yang tidak kelihatan itu. (Mantan) Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmatyo kerap kali memberikan pernyataan mengenai bahaya proxy war. Suatu perang tanpa bentuk, tak jelas siapa kawan maupun lawan.

Roel Muz dlm tulisan di Kompasiana menjelaskan bahwa perang ini menggunakan cara cara licik, penuh muslihat (tricky), yakni memakai pihak ketiga untuk menaklukkan lawan. Proxy artinya wakil, jadi perang proxy adalah memberikan “mandat” perang kepada pihak ketiga. Muz juga mengutip istilah A.Mumford (2013), pemegang mandat perang proksi hanyalah kepanjangan tangan dari suatu pihak yang berupaya mendapatkan kepentingan strategisnya, lewat cara menghindari keterlibatan langsung, atau dalam istilah Jawa, disebut sebagai “nabok nyilih tangan uwong ” artinya menampar, memukul dengan meminjam tangan pihak ketiga.

1.5. Informasi Hoax

Oxford English Dictionary mendefinisikan istilah “hoax’ sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’.

Beberapa waktu belakangan, beredar postingan dari beberapa akun facebook yangmengumbar ujaran kebencian, dianggap menghina orang Papua, berisi foto penulis, motifnya sama tapi nama penulis beda-beda, penulis menampilkan kesan sebagai orang Indonesia pendatang (bukan OAP), yang marah orang Papua, orang Papua menyebarkan tulisan itu, makin banyak orang marah, tapi ketika dicari tahu siapa sumber awal postingan itu pasti tidak ketemu kecuali yang mencari adalah pihak keamanan yang punya keahlian dan akses legal untuk melacak akun yang bersangkutan.

Postingan-postingan itu di-screenshot dan disebar-luaskan. Apa yang bisa kita pelajari dari fenomena itu?

Itulah antara lain ciri informasi hoax. Ketika masih di jaman bahula itu dinamakan issue provokasi, beredar dari cerita mulut ke mulut. Sekarang, dengan kemajuan teknology, cerita dari mulut ke mulut itu pindah ke dunia maya. Hoax atau berita palsu yang bersifat provokasi pasti punya tujuan. Itu hanyalah suatu proses awal untuk mematangkan kondisi sosial untuk membangun “idiology kebencian” untuk langkah berikut. Ketika kebencian sdh memuncak dan menjadi idiology maka tinggal dipicu dan jadilah konflik horisontal (proxy war).

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

II. Kumpulan Istilah Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal 

Resiko politik yang dijelaskan lewat istilah di bagian I di atas saya rangkai dalam satu kalimat yaitu dinamika politik pemilu di tahun politik 2018-2019 berpotensi menciptakan kerawanan, membawa Indonesia termasuk Papua, ke ambang suasana vivere pericoloso, yang subur bagi ideology kebencian, rentan konflik kekerasan yang bisa jadi mangsa perang proksi antara lain dipicu melaui berita hoax.

Untuk mengimbangi ancaman di atas, maka saya catat istilah-istilah yang saya gali dari kearifan lokal yang berisi muatan atau prinsip resolusi konflik yang mungkin berguna bagi kita di Provinsi Papua jelang Pilgub 2018.

2.1. Papua Tanah Damai

Konflik kekerasan baik vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara) maupun horisontal yang berlangsung di antara sesama warga masyarakat mendorong pihak agama serta aktivis HAM/kemanusiaan mendorong agenda bersama untuk menyelesaikan permasalahan di Papua secara damai.

Istilah ini mengandung prinsip dan anjuran agar para pemangku kepentingan tidak menghalalkan segala cara, terutama cara-cara kekerasan, untuk mencapai tujuan (termasuk tujuan politik).

2.2. Kitorang Basodara

Istilah ini sudah lama ada, dan berkembang dalam idiom masyarakat Maluku dan kemudian Papua. Kitorang Basodara dalam bahasa Indonesia baku artinya Kita Bersaudara. Sebagai orang-orang yang bersaudara, kita dalam menyelesaikan konflik sebaiknya mengedepankan dialog atau musywarah.

2.3. Satu Tungku Tiga Kaki

Masyarakat sebagai warga negara merupakan komunitas yang kehidupannya diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah dengan aturan. Pada saat bersamaan, identitas adat dan agama sangat kental mewarnai kehidupan sosial budaya mereka, apalagi di Papua. Ibarat tungku api yang memiliki tiga kaki yaitu adat, agama dan pemerintah.

Ada aturan pemerintah, agama dan adat yang mengatur perilaku bermasyarakat. Jika ada konflik maka aturan ini yang sebaiknya digun

2.4. New Papua

Istilah New Papua dikampanyekan oleh Kapten Audy Akwan di WA Group The Spirit of Papua yang dihost oleh Prof. George Saa (Lulusan Florida Technology Institute Jurusan Angkasa Luar), Samuel Tabuni (Pendiri dan CEO Papua Language Institute, yang ada di Waena, Jayapura dengan tim pengajar ” native speakers”), dan kawan-kawan.

WA Group ini beranggota kira-kira 250 orang terdiri dari unsur pemerintah (Gub, Wagub Papua, beberapa Bupati di Prov Papua, Staf Khusus Presiden, Diplomat RI, pejabat-pejabat teras TNI, POLRI), profesional, jurnalis, LSM, termasuk para Advokad HAM, pengacara, kelompok/individu yang berseberangan pendapat dengan NKRI di dalam dan luar negeri, mahasiswa/tokoh-tokoh muda masa depan Papua baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, rohaniawan, pengamat, dengan berbagai latar belakang profesi, iptek dan kepentingan. Sangat aktif semua.

Istilah New Papua memuat visi tentang pembangunan SDM Papua dengan visi ekonomi, pendidikan serta kesehatan yang baik (stop miras/aibon/rokok), serta saling dukung untuk membangun masa depan yang lebih baik. Satu orang punya pekerjaan tetap, punya kios/usaha, punya kebun, tidak mabuk, dukung saudara lain dalam usaha serupa. Sebagai Kepala Daerah (Gub atau Bup) prioritaskan pembangunan orang Papua.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

III. Signal Positif

Pilkada 2018, baik di level provinsi maupun kabupaten di Provinsi Papua, berada dalam bayang-bayang situasi dan kondisi rentan konflik sebagaimana dikemukakan pada bagian I. Namun demikian, para kandidat calon gubernur Papua telah memberikan signal positif dalam proses awal menuju pencalonan masing-masing tentang konsern mereka untuk menciptakan pilkada yang damai.

Pasangan Bakal Calon (Balon) Gubernur Papua dan Wakil Gubernur Papua saat ini ada dua yaitu incumbent Lukas Enembe – Klement Tinal (disingkat Lukmen) yang didukung 10 parpol dan Balon John Wempi Wetipo – Habel Melkias Suwae (yang disingkat JWW-HMS didukung oleh 4 parpol.

Beberapa signal positif dari kedua balon saya catat sebagai berikut :

3.1. Pidato Bapak Lukas Enembe 30 Desember 2017

Pada upacara akbar masyakat adat yang mengukuhkan Bapak Lukas Enembe sebagai Tokoh Budaya di Papua, Sentani 30/12/2017, Bapak Enembe didampingi Bapak Klement Tinal menyatakan komitment untuk menjaga Papua sebagai Tanah Damai.

Komitmen ini seyogyanya akan diikuti oleh para pendukung, termasuk Tim Sukses, dan 10 partai pendukung, untuk memastikan pemilu kepala daerah di Provinsi Papua berjalan damai.

3.2. Undangan Paslon JWW-HMS kepada Paslon Lukmen

Paslon JWW – HMS akan mendeklarasikan pencalonannya di Wamena pada 8 Januari 2018. Kepada pers, JWW sudah menyatakan rencana untuk mengundang Bapak Enembe menghadiri deklarasinya.

JWW mengaku kepada media bahwa Enembe adalah kakaknya. Dia akan mengundang sang kakak untuk hadiri deklarasi pencalonannnya di lapangan terbuka kepada rakyat.

Ini menunjukkan komitmen “kitorang basodara” dan komitmen anak adat untuk saling menghormati dan bersaing dengan prinsip damai dan sehat.

3.3. Dialog Sehat Timses di WAG The Spirit of Papua

WA Group The Spirit of Papua beranggotakan pula Tim Sukses dari masing-masing pasangan calon Gubernur. Meskipun belum tiba pada kontestasi pilgub sesungguhnya, namun diskusi antar tim sukses pada forum ini berlangsung logis, elegan, menuju pada tujuan yang sama untuk membangun Papua. Ini memberi signal positif mengenai komitmen untuk mendiskusikan agenda politik juga secara elegan dan damai.

Semoga para pemiikir yang adalah tim sukses masing-masing paslon dapat menularkan hal baik ini ke lingkungan sekitar mereka masing-masing.

IV. Penutup

Secara vertical, negara sudah memiliki perangkat sesuai hukum untuk menjamin berlangsungnya pilkada dengan aman, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Jika itu terjadi tanpa bias maka aman dan damailah Tanah Papua. Ada KPU, Bawaslu, POLRI maupun penegak hukum lainnya. Tentu perangkat negara itu akan bekerja maksimal untuk memasitikan pilkada yang sukses dan damai.

Namun demikian, secara horisontal, setiap warga negara juga dapat (atau wajib?) berkontribusi pada proses tersebut. Dua point di bawah ini adalah saran saya.

Sebaiknya sesering mungkin para opinion leaders dari masing-masing paslon bisa bertemu dan berdiskusi serta menunjukkan kepada masa pendukungnya melalui medsos dan media massa bahwa pilkada untuk memilih Papua Satu yang berkualitas untuk Satu Papua bisa dilakukan dengan damai karena Kitorang Basodara di Tanah Damai ini.

Salah satu titik krusial yang perlu diantisipasi pemangku kepentingan dalam dinamika pilkada ke depan adalah pemanfaatan media sosial untuk berkampanye atau mendukung paslon tertentu. Semoga pemakai medsos pun memperhatikan kearifan pro perdamaian dalam proses menyatakan pendapat dan pilihan politik.

Manokwari 7 Januari 2018

Referens :

Banyak referens dan tidak saya tulis karena terlalu panjang sehingga tdk termuat.

)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak. 

Artikel sebelumnyaParadoks Papua
Artikel berikutnyaHidangan Sehat dalam Piring Kotor: Piramida Terbalik Kebijakan Khusus Presiden untuk Papua (1)