Kemana Jalan Damai Papua?

0
1662

Oleh: I Ngurah Suryawan)*

“Dialog diibaratkannya seperti membuka kebun. Sebelum membuka kebun, lahan harus dibersihkan dulu. Apa yang kemudian ditanam dalam kebun itu, menjadi pilihan pembuka lahan.”

“Orang lain tidak akan datang menyelesaikan konflik di tanah Papua. Makanya, kita sendiri yang harus berinisiatif untuk selesaikan.”  (Alm. Pater Neles Tebay dalam Mambor, 2006)

Saya masih meyakini, meski terhitung terlambat, dialog damai bermartabat untuk Papua adalah solusi terbaik mengatasi kompleksitas yang terlanjur akut. Hal ini tentu lebih baik daripada pendekatan keamanan, intimidasi, dan kekerasan yang tiada henti terus saja terjadi. Aparat keamanan dikirimkan ke Papua, meski dinyatakan bukan untuk mengintimidasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda. Rakyat Papua trauma dan selalu menghadapi getir saat berurusan dengan aparat keamanan. Ingatan kekerasan dan penderitaan yang mereka alami tidak mungkin terhapuskan.

Almarhum Pater Neles Tebay, yang saya kutipkan ungkapan di atas, sangat tepat sekali menggambarkan jalan keluar mengatasi lingkaran kekerasan di Tanah Papua. Dialog damai bermartabat ibarat kita membuka kebun. Kita harus membersihkan tanah tersebut terlebih dahulu sebelum kita menanamnya dengan berbagai tumbuhan yang kita inginkan. Kita harus saling terbuka—antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia—untuk “membersihkan” berbagai macam persoalan dan kemudian mengakui dan menyepakati persoalan-persoalan yang terjadi. Intinya adalah komunikasi yang manusiawi dan tidak ada kesenjangan. Semuanya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

ads

Gerakan Damai 

Satu syarat penting dialog terebut adalah terciptanya kedamaian di Tanah Papua. Budaya damai harus menjadi komitmen semua kalangan. Oleh sebab itulah, pendekatan kekerasan yang memantik bara harus dihentikan tanpa alasan apapun. Memulai dialog haruslah dengan kedamaian dan kejernihan pikiran, bukan di atas ancaman dan teror.

Sesungguhnya rintisan tersebut telah dilakukan jauh-jauh hari. Salah atunya adalah inisitif dialog Papua Tanah Damai. Gerakan ini dinisiasi kelompok agama, masyarakat adat, pemuda, pemerintah, dan juga aparat keamanaan. Momentumnya adalah Lokakarya “Membangun Budaya Damai menuju Papua Tanah Damai” yang berlangsung di Sentani, Jayapura, 25-30 November 2002. Pada saat itulah sebenarnya mulai tumbuh pemahaman dan komitmen bersama untuk menjadikan seluruh wilayah Tanah Papua sebagai zona damai. Lebih lanjut, ke depannya, perlu dirumuskan bersama usaha-usaha kolaboratif berbagai pihak untuk menangangi konflik yang telah mendarah daging ini. Semuanya akan melangkah maju jika komitmen menjadikan Papua damai berada di atas segala-galanya. Intinya, kualitas komunikasi dan komitmen Papua damai menjadi pondasinya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Sekretariat Keadilan dan Perdamain  (SKP) Keuskupan Jayapura yang menjadi penggagas dan merangkum hasil lokakarya merumuskan sembilan unsur penting membangun budaya damai dalam konteks Papua. Kesembilan unsur tersebut adalah: partisipasi, kebersamaan dan toleransi-menghargai, komunikasi/informasi, kesejahteraan, rasa aman dan nyaman, keadilan dan kebenaran, harga diri dan pengakuan, dan keutuhan/harmoni. Selain mewujudkan budaya damai, sangatlah penting juga membangun budaya rekonsiliasi. Untuk menjalankan budaya rekonsiliasi sangatlah diperlukan untuk mencari kebenaran mengenai masa lampau, mencari tahu keadilan mana yang perlu ditegakkan, dan mencari sekaligus berjuang untuk menciptakan suatu masa depan yang lebih adil (Tim SKP Jayapura, 2006).

Inisiatif Papua Tanah Damai sebagai gerakan sosial bersama kemudian dilanjutkan oleh JDP (Jaringan Damai Papua) dengan gerakannya Dialog Jakarta – Papua. Alm. Neles Tebay dan Alm. Muridan S. Widjojo sebenarnya telah meletakkan pondasi penting untuk menyambung inisiatif Papua tanah damai. Solusi sekaligus gerakan yang dilakukan adalah mengkampanyekan dialog Jakarta-Papua ke berbagai komponen masyarakat. Konsultasi publik dan pertemuan dengan berbagai komunitas secara intensif dilakukan.

Momentumnya adalah pelaksanaan Konferensi Perdamaian Tanah Papua pada tanggal 5-7 Juli 2001 di Auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen), Abepura yang dihadiri oleh kurang lebih 800 orang peserta, mewakili kurang lebih 252 komunitas dan faksi-faksi organisasi sosial yang ada di Tanah Papua. Salah satu hasil berkualitas dari konferensi tersebut adalah kesadaran bersama tentang pentingnya membangun Papua Tanah Damai melalui dialog yang bermartabat antara pemerintah Indonesia di Jakarta dan masyarakat Papua di seluruh Tanah Papua. Intinya, mengawali dialog harus tercipta Papua tanah damai. Hanya dengan cara itulah kekerasan bisa dihentikan.

Arus Balik

Namun sayang, inisiatif tersebut kini kembali patah. Bara telah tercipta lagi dan lagi. Seolah bebal dan seperti keledai, negara ini selalu saja mengulangi kesalahan dalam menangani permasalahan Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Kerusuhan terjadi di kota-kota besar di Tanah Papua pasca ujaran rasisme dalam penyerangan Asrama Papua di Surabaya 16 Agustus 2019. Kerusuhan pecah di Manokwari, Sorong, dan Fakfak pada 19-20 Agustus 2019. Rangkaian demonstrasi mengutuk ujaran rasisme terhadap orang Papua terjadi di Jayapura, Timika, Nabire, Merauke, dan kota lainnya di Papua. Belum selesai peristiwa tersebut, kerusuhan kembali pecah dan memuncak di Wamena pada 23 September 2019. Isu yang berhembus adalah kerusuhan dipicu kembali oleh ujaran rasisme dan berbuntut kepada sentimen kepada para migran.

Rakyat Papua pastinya marah dan bertumpuk kekesalannya. Berbagai kasus kekerasan yang menimpa orang Papua di tanahnya sendiri, maupun yang menimpa mahasiswa Papua di berbagai daerah di Indonesia hadir silih berganti. Perlakuan intimidasi, kekerasan, dan diskriminatif terhadap aktivitas mahasiswa Papua tak terhitung jumlahnya. Saya meyakini mereka pasti menyimpan segudang kisah intimidasi, rasisme dan diskriminatif itu. Kita tidak bisa lagi menampiknya.

Dalam keseharian rakyat Papua, hidup dan mati begitu tipis artinya di tanah kelahirannya sendiri. Mereka terpapar ancaman yang suatu saat mencabut hidup mereka. Anak-anak sekolah di Paniai meregang nyawa, gizi buruk di Asmat merenggut anak-anak Papua tanpa dosa, dan kita seolah memalingkan muka saat rakyat Papua di Nduga mengungsi dan berjuang untuk hidup di tengah “perang tersembunyi” di kampungnya. Kisah pedih lainnya seolah menjadi tumpukan data tanpa makna. Hidup berlanjut seperti biasa dan mereka terus berjuang menghadapi ancaman kematian yang mengintainya setiap saat.

Bagi saya, selain kesejahteraan penghidupan, satu hal yang lebih penting artinya dalam kehidupan ini adalah kemerdekaan sebagai manusia. Itu artinya, kemerdekaan untuk berimajinasi tentang harkat dan martabat diri, kehidupan, mengekspresikan pendapat dan kebudayaan adalah mutlak. Inilah lubang menganga dari “dosa sejarah” negara ini memperlakukan rakyat Papua.

Salah satu kesalahan besar negara ini adalah mengekang imajinasi orang Papua untuk menjadi dirinya sendiri. Yang kita lakukan adalah menjadikan rakyat Papua seperti yang kita inginkan. Jika kita bersedia bercermin, kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah buah dari imajinasi yang diperjuangkan untuk merebut harkat dan martabat sebagai manusia yang ditindas penjajah. Hingga kini, kompleksitas permasalahan Papua salah satu akarnya adalah karena permasalahan ini. Kita mencoba untuk mengekang pikiran manusia dengan otoritas mengatur (mengarahkan) karena merasa lebih pintar  dan perilaku kekerasan yang tak kunjung berakhir dari aparat keamanan negeri ini.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Teknokrasi negara dan kaum cerdik pandai mencipta berbagai rumus dan model untuk menangani Papua. Berbagai perangkat kepengaturan dipersiapkan untuk mengarahkan rakyat Papua sesuai dengan keinginan yang dimaksud. Mentalitas dan cara berpikir orang Papua mencoba untuk diubah tanpa menyelami kedalamannya.

Saya menduga, pembangunan (infrastruktur) yang kini digenjot pemerintah di Tanah Papua dilandasi cara berpikir di atas. Kita lupa, bukan jalan dan bangunan fisik lainnya yang utama. Yang terutama itu adalah mengembalikan harkat dan martabat rakyat Papua untuk berimajinasi tentang diri dan masa depannya. Ruang-ruang imajinasi inilah yang disumbat dengan berbagai macam stigma, perlakuan diskriminatif, rasisme, dan tentu saja kekerasan.

Saatnya kita kembali berkomitmen dan bekerja untuk menjadikan Papua Tanah Damai dan mendorong dialog bermartabat bagi rakyat Papua. Oleh sebab itulah, pemerintah harus membuka diri dan mengakui ada persoalan di Papua. Selesaikan kasus ujaran rasisme dan diskriminasi secara terbuka. Hal ini akan memupuk kepercayaan rakyat Papua terhadap negara. Setelah itu terjadi, rancang dialog damai bermartabat untuk Papua. Terbuka dan akui ada kekerasan dan persoalan di Papua dan secara emansipatoris merumuskan solusi ke depan. Jika itu gagal harus terus dicoba lagi. Pada titik ini kualitas komunikasi yang emansipatif dan empati akan menjadi jawabannya. Hanya dengan itu kita bisa terus-menerus memelihara harapan untuk menemukan jalan damai Papua. Tidak hanya dengan gelontoran dana, perilaku arogan kekerasan para aparat keamanan, cari untung sendiri para broker dan elit birokrasi, tingkah polah kaum cerdik pandai dari luar Papua maupun orang Papua sendiri yang melegitimasi hasrat para elit Papua untuk memekarkan daerah.

Kesemuanya bertujuan agar jalan damai Papua semakin tampak jelas bukannya bikin air kabur.

Denpasar, Februari 2020

)* Penulis adalah pengajar di Unipa Manokwari

Artikel sebelumnyaHPMS Tolak Pembangunan Pos Militer di Siriwo
Artikel berikutnyaMasyarakat Mengaku Takut dengan Kehadiran TNI di Distrik Mare