Corona Mengajak (Orang) Papua Berkebun

0
1369

Oleh: Benny Mawel)*

World health Organitation (WHO), para kepala negara, termasuk Indonesia hingga anak sekolahan, ibu rumah tangga, berbicara sosial distancing, physical distancing dengan kerja, belajar dan berdoa di rumah demi jaga jarak untuk atasi penyebaran dan kematian orang akibat Covid-19.

Sebagian sudah mulai taat pada anjuran jaga jarak tatapi ada yang mati tempel sampe tiap hari. Kita yang tidak taat, masa bodoh masih terus berklujuran, berkumpul, baku peluk, bersalaman, yang menjadi satu kekhawatiran virus akan meraja lelah, kematian akan terus bertambah.

Sudah terbukti, setiap hari, kasus baru terus bertambah di dunia dan di Indonesia. Jumlah orang terinfeksi di Indonesia 514 orang, sembuh 29 dan meninggal 48 orang. Jumlah yang meninggal bergerak cepat daripada jumlah yang sembuh. Jumlah yang terinveksi pun terus bertambah mendongkrak angka kematian.

Karena itu, soal saya di sini, bukan mereka yang mulai taat dan bekeluyuran, jumlah yang terpapar dan mati tetapi, bagaimana dengan rakyat Papua yang mayoritas hidup dari bertani dan berternak.

ads

Apakah dana otonomi khusus, dan dana pembangunan kampung yang menyambung kehidupan ketika berpaling dari berkebun beberapa waktu lalu akan memenuhi kebutuhan orang asli Papua saat krisis ini?

Orang asli Papua perlu bergumul khusus dan serius dengan ancaman itu. Ancaman ini bukan hanya kematian yang akan terpapar dengan virus tetapi yang tidak terinfeksi. Orang yang tidak terinveksi butuh makan saat ini dan ketika virus ini berlalu.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Ancaman ini juga bukan hanya soal depopulasi tetapi juga tentang eksistensi orag asli Papua usai virus ini berlalu. Orang asli Papua harus berfikir, melindinggi diri hari ini, mempertahankan eksistensi melanesia di wets Papua di masa depan.

Karena itu, kita tidak bisa menanti dana otonomi khusus akan mengalir ke kita. Kita tidak bisa menanti dana pembangunan kampung. Kita menanti pun menjadi satu penantian atau harapan yang sia-sia. Kita bisa sakit dan mati dalam harapan kosong.

Lantas apa? Sistem kerjanya. Kerja dulu baru ada laporan. Laporan kerja menjadi pijakan pencairan dana. Syukur kalau kita sudah kerja dan laporan kita sudah masuk dan sudah dalam proses pencairan dana saat krisis ini.

Anggaran cair pun, kita ingat, anggaran cair melalui jalan mana anggaran itu akan tiba di tangan kita. Karena, larangannya, pegawai harus kerja dan berdoa di rumah. Kontak fisik dengan sesama dan benda-benda mati yang berpotensi virus hidup dibatasi dalam beberapa jam.

Dengan demikian, kita semua harus isolasi diri, tidak boleh ada kontak fisik orang dengan orang. Kontak fisik harus kita hindari dalam batas waktu virus ini menjadi ancaman. Karena menjaga jarak, mengisolasi diri adalah kunci memutus mata rantai perkembangan virus ini.

Kita juga tidak bisa berharap pada anggaran penangulangan wabah ini. Karena anggaran itu dimungkinkan lebih pada penanganan pasien. Pemerintah alokasikan untuk kebutuhan rakyat yang diisolasi pun tidak mungkin menjangkau 200 juta lebih penduduk di Indonesia.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Anggaran itu kemungkinan diperuntukan bagi rakyat yang kasusnya lebih parah dan sampai ke yang punya akses saja. Daerah sekitar ibu kota negara dan dekat dengan jangkauan pemerintah pusat akan lebih mudah.

Kita di Papua, dengan berbagai upaya pemerintah daerah, kita mungki dapat. Kita dapat pun kemungkinan tidak bisa membeli dengan dua faktor. Pertama, Ancaman krisis ekonomi, dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Kedua, pasokan makanan selama lockdown atau sosial distance berlangsung dimungkinakan berkurang. Atau persediaan ada tetapi pergi belanja bagi yang punya uang menjadi ancaman bagi orang serumah. Hanya harapan, yang pergi tidak membawa virus.

Lalu bagaimana, jalan terbaiknya. Orang Papua mesti menempuh jalan balik. Orang Papua berbalik dari kantor pemerintah provinsi, kota, kabupaten, distrik dan kantor kampung mengejar, menugu anggaran bantuan atau belas kasihan. Karena, orang sudah tidak kerja di kantor lagi tetapi di rumah.

Kita tidak bisa ke rumah. Kita dilarang ke rumah. Karena, kunjungan kita menjadi ancaman bagi keluarga yang kita kunjunggi atau sebaliknya kita menerima virus. Kita membawanya ke rumah kita.

Karena itu, kita harus memilih kembali ke rumah kita sendiri. Berdiam diri rumah. Dari rumah, kita harus mulai arahkan kiblat ke lahan rumput yang luas, ke hutan sagu dan ke laut. Kita membangun jalan mandiri kebun.

Kita mulai dengan duduk bersama dalam satu kamar dan satu rumah, merencanakan kemandirian kesejahteraan kita, bukan mencari dan mengundang tetangga untuk mendukung rencana keluarga. Kita mandiri membangun rencana.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Satu rencana yang kita bagun itu. Rencana jalan ke dan dari kebun mandiri keluarga. Setiap orang, setiap keluarga dan serumah, bukan dengan tetangan, bmembangun jalan mandiri ke kebun. Jalan mandiri hanya milik seseorang, keluarga, dan serumah itu untuk pergi kebun dan pulang rumah.

Kalau sudah ada jalan,kita mesti mulai membangun pagar kebun, membersihkan lokasi kebun dari rumput dan pohon. Kita harus mengerakkan otot mencangkul dan menanam Nota, Hom, pain, sayuran dan pangkur sagu dan tangkap ikan.

Kita mulai ternak, memberi makan ternak kita. Kita mulai memenuhi kebutuhan kita dari kebun sendiri. Untuk itu, kita mesti membangun komitmen ini dan taat melakukannya. Saya yakin dan percaya, kita tidak bisa mengatakan hidup dari sawah saja tetapi dari kebun keladi dan hutan sagu.

Kita minum air dari sumur kita sendiri,”sabda Gembala Sokrates Sofyan Yoman.

Sudah jelas too…kita berhenti ke kota, karena bertamu, berkeluyuran karena tidak membawa kehidupan tetapi membawa ancaman kematian orang serumah.

Kita ke kebun di hutan yang luas, tidak akan membawa ancaman tetapi akan membawa berkat berlimpah bagi kehidupan diri sendiri, keluarga dan orang serumah.

Singkatnya dengan ke kebun, kita memberi harapan bagi eksistensi melanesia, dan dengan ke kota dan keluyuran, kita turut mendukung kematian, habisnya etnis melanesia di Papua.

)* Penulis adalah jurnalis Jubi.co.id dan Koran Jubi

Artikel sebelumnyaJurnalis Asing Liput Papua dan Situs Siluman (Bagian 1)
Artikel berikutnyaCovid19, Ancaman Serius Eksistensi OAP: Lockdown Papua!