Dramatisasi Papua dalam Ancaman Pandemi Covid19

0
1753

Oleh: Paskalis Kossay)*

Sebelum membahas lebih jauh tentang Dramatisasi Papua, baiklah terlebih dahulu kita tinjau apa sebenarnya virus corona itu?

Virus Corona atau Severe acute respiratory syndrome Coronavirus 2 ( SARS-CoV-2 ) adalah virus yang menyerang pada sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut Covid-19. Virus Corona ini bisa menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut, sampai kematian.

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 ( SARS-CoV-2 ) yang lebih dikenal dengan nama virus corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia . Virus ini bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui.

Pertama kali ditemukan virus ini dikota Wuhan China pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan cepat keseluruh wilayah China dan kini sudah menyebar di 200 negara di dunia termasuk Indonesia.

ads

Virus tersebut begitu cepat tersebar diseluruh dunia menyerang ribuan orang. Merujuk update data dari Worldometer (Kompas.com 27/3) kasus virus corona tercatat mencapai 529.614 kasus positif terinfeksi virus corona, 23.976 orang meninggal dunia dan 123. 380 orang dinyatakan sembuh dari virus corona.

Sementara itu berdasarkan data pemerintah Indonesia , update data virus corona di Indonesia , per Jumat ( 27/3 ) total positif virus corona tercatat 1.046 kasus, kematian 87 orang, dan sembuh 46 orang.

Sedangkan update data virus corona di Papua per Kamis ( 26/3 ) sesuai laporan Juru bicara penanganan Covid-19 , dr. Silwanu Sumele , pasien positif virus corona 7 orang. Pasien Dalam Pengawasan ( PDP ) 38 orang dan Orang Dalam Pantauan ( ODP ) 728 orang.

Sebenarnya jumlah orang yang terinfeksi virus corona di Indonesia cukup banyak, namun belum diketahui pasti karena belum terdeteksi sehingga tidak pengetesan oleh pemerintah.
Hal ini diungkapkan oleh peneliti pusat Pemodelan Matematika Penyakit Menular (CMMID) London Inggris. Mereka yang mengembangkan pemodelan matematika untuk memprediksi secara kasar kemungkinan jumlah kasus penyebaran Covid-19 disuatu negara berdasarkan jumlah kematian.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pemodelan ini mempermasalahkan soal tingginya persentase tingkat kematian Covid-19 di Indonesia. Mereka memperkirakan tingginya angka kematian ini disebabkan pemerintah kurang agresif melakukan pengetesan para terduga Covid-19 (CNN Indonesia, 27/3).

Merujuk penelitian CMMID tersebut diatas, memang benar, awalnya pemerintah Indonesia memandang remeh terhadap virus ini. Presiden Jokowi terlihat sante menyikapi perkembangan penyebaran virus ini. Tidak ada langkah-langkah besar dan agresif untuk menanggulangi perkembangan yang begitu cepat virus ini.

Presiden justru membebankan kepada pemerintah daerah masing-masing untuk memantau setiap perkembangan virus corona disaerah dan diambil langkah-langkah penanganan yang seperlunya. Tidak ada kebijakan nasional yang bersifat agresif dan menyeluruh menjangkau hingga kedaerah-daerah.

Padahal kondisi rill kesehatan masyarakat Indonesia sangat rentan dengan penyakit sejenis apapun. Dihadapkan dengan beragam masalah kesehatan, dari keterbatasan infrastruktur, tenaga medis , kekurangan tenaga dokter sampai kelangkaan peralatan medis dan kelangkaan persediaan obat.

Kondisi ini sebenarnya sudah diketahui umum apalagi seorang presiden tentu sudah paham baik kondisi rill rakyatnya. Namun presiden Jokowi tidak segera mengambil tindakan nyata dan tegas untuk mencegah penyebaran virus corona yang semakin meluas dan mematikan ini.

Dari update data yang dilaporkan oleh Gugus Penanganan virus Corona pusat, jumlah positif terinfeksi virus dengan angka kematian dari hari ke hari terus meningkat. Sementara angka yang sembuh dari virus cenderung bergerak lambat ( sedikit /kurang ). Perkembangan ini sebenarnya menunjukan suatu indikasi kuat bahwa penyebaran virus Corona di Indonesia ini sangat mengkhawatirkan. Banyak yang belum terdekteksi secara medis.

Kondisi begini dikhawatirkan akan tertular tanpa tertangani oleh petugas pemerintah. Harusnya pemerintah segera menentukan kebijakan yang tegas dan fokus untuk pencegahan sampai kedaerah-daerah pelosok. Sekarang ini pemerintah hanya fokus dikota, sedangkan didaerah terabaikan. Padahal jumlah orang yang rentan cepat terinfeksi virus itu ada didaerah dengan kondisi fasilitas kesehatan yang minim. Itulah sebabnya perkembangan virus corona di Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dramatisasi Papua

Papua juga tidak luput dari serangan virus yang mematikan ini. Sesuai update per kami ( 26/3 ) yang positif terinfeksi virus corona ada 7 orang. Yang masih dalam pengawasan ( PDP ) 38 orang, sedangkan mereka yang status Orang Dalam pemantauan ( ODP ) ada 728 orang.

Membaca data diatas cukup mengejutkan. Angka itu baru terdeteksi dan diketahui petugas. Dikhawatirkan masih banyak yang belum terdeteksi. Belum terdeteksi karena beragam alasan. Karena kekurangan tenaga dokter dan paramedis, keterbatasan fasilitas dan peralatan medis, dan sulitnya jangkauan karena sulitnya jangkauan akibat kondisi geografis yang kompleks.

Dengan menyadari berbagai kekurangan dan keterbatasan itu maka Gubernur Papua Lukas Enembe memutuskan menutup pintu masuk dan keluar papua sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona selama 14 hari terhitung sejak 26 Maret 2020.

Keputusan penutupan pintu masuk dan keluar wilayah papua tersebut segera ditanggapi oleh Mendagri Tito Karnavian, bahwa pihak tidak setuju dengan keputusan penutupan pintu masuk dan keluar papua. Alasan ketidaksetujuannya adalah karena Presiden Jokowi melarang Pemerintah daerah dilarang mengambil kebijakan sendiri-sendiri dalam penanganan penyebaran virus corona.

Mendagri berdalih karena Presiden melarang, tetapi kita belum melihat kebijakan apa yang dibuat Jokowi kemudian dilanggar oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua.

Karena semakin tidak jelas itulah maka Wakil Presiden Ma’aruf Amin menyatakan, langkah Papua tutup akses bukan dalam pengertian lockdown. Wapres menilai bahwa, langkah yang diambil Pemerintah Provinsi Papua dengan menutup akses masuk dan keluar daerah tersebut bukan dalam pengertian lockdown ( Kompas.com, 26/3 ).

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dalam kasus ini kelihatan ada dua kekuatan yang saling bertentangan persepsi tentang papua. Satu pihak Mendagri dengan Presiden Jokowi dan pihak lain Wapres Ma’aruf Amin .
Wapres Ma’aruf Amin lebih melihat aspek kemanusiaan. Sementara pihak Mendagri dengan presiden lebih melihat aspek politik.

Karena itu Mendagri langsung merespon dengan pernyataan politis juga bahwa pihaknya tidak setuju dengan penutupan akses masuk ke papua. Pernyataan begini sebenarnya tidak pantas disampaikan oleh seorang Menteri urusan dalam negeri.

Sebab kondisi didalam negeri saat ini tengah panik oleh penyebaran virus corona yang mengancam keselamatan nyawa warga negara. Harusnya Mendagri maupun Presiden mendukung setiap kebijakan kepala daerah dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona.

Ancaman virus corona dipapua memang nyata adanya. Satu sisi pemerintah daerah dihadapkan dengan keterbatasan fasilitas dan tenaga medis. Dihadapkan dengan datangnya ancaman serius virus corona didepan mata.

Tetapi Mendagri tidak mendukung , malah diprotes supaya tidak dibuat kebijakan menutup akses masuk keluar papua.

Penunjukan sikap politik seperti ini bukan baru pertama ditunjukan Mendagri. Banyak kali pemerintah pusat mempermainkan papua hanya karena kepentingan politik. Dalam kaca mata setiap pejabat pemerintah pusat, papua itu dalam konteks politik.

Oleh karena itu setiap langkah dan kebijakan papua selalu dikontrol dengan ketat supaya tidak menimbulkan implikasi buruk dalam tatanan bernegara. Maka itu biarpun keputusan gubernur itu untuk pencegahan penyebaran covid-19 , namun Mendagri menilainya dengan kacamata politik sehingga nilai kemanusiaannya terabaikan.

Tidak hanya keputusan penutupan akses masuk ini dicurigai, tetapi sudah banyak kali , setiap aktivitas para tokoh papua dicurigai. Akhirnya ruang gerak kita dilumpuhkan dan digiring masuk dalam skenario politik mereka

)* Penulis adalah politisi Papua

Artikel sebelumnyaSOS Papua Meragukan Komitmen Kemenhub
Artikel berikutnyaVaksin Pandemi Covid19, Sudah Ada atau Belum?