Sepak Terjang Perjuangan Rakyat Republik Maluku Selatan  

0
4199

Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda.

Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku Selatan dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara federal.

Seteleh presiden pertama Yohanis Manuhutu  (April-Mei 1950), presiden kedua Dr. Christian Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya Negara Republik Maluku Selatan (RMS).

Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI, Soumokil tidak setuju dengan penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia dengan Serikat.

Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) yang baru berdiri itu pun langsung berantakan ketika Kota Ambon digempur Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

ads

Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, sedangkan perjuangan gerilya berlanjut dengan kekuatan yang kecil masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962 namun akhirnya kalah perang.

Pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat ditangkap dan kemudian dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa, Soumokil dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada 12 April, 1966.

Setahun setelah itu, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda, kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Di masa Prof. Johan Manusama (1966–1993), menjadi Presiden RMS, sebagian kaum muda RMS, aksi pertama terjadi pada 31 Agustus 1970 berupa serangan terhadap Wisma Indonesia, kediaman Duta Besar RI di Wassenaar, Belanda.

Dikutip dari tirto.id, Pada 1953, Johan memilih berangkat ke Belanda berama bekas panglima militer RMS yang sempat bergerilya di sekitar kepulauan Maluku, seperti Domingus Sopacua dan Isaac Tamaela dan menjadi Jenderal RMS di pengasingan.

Johan Manusama sendiri menjadi wakil RMS di Eropa selama sisa hidupnya. Setelah Soumokil dieksekusi pada 1966, Manusama diangkat menjadi Presiden RMS. Dia menjadi Presiden RMS ketiga setelah J.H. Manuhutu (25 April-3 Mei 1950) dan Soumokil (1950-1966).

Di masa Johan Manusama menjadi Presiden RMS ini, mempengaruhi kaum muda RMS dan melakukan penyerangan. Aksi pertama terjadi pada 31 Agustus 1970 berupa serangan terhadap Wisma Indonesia, kediaman Duta Besar RI di Wassenaar Belanda.

Selain itu, setidaknya dua kali RMS terkait kasus penyanderaan kereta api. Penyanderaan pertama terjadi pada 2 Desember 1975 dan pada 23 Mei 1977 di Glimmen. Dalam aksi ini pasukan Marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) bertindak tegas untuk menghentikannya.

Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan di Belanda. Sejumlah penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari pemerintah Belanda.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Masa kepresidenan Manusama berakhir pada 1992 dan digantikan Frans Tutuhatunewa M.D (1993–2010). Tidak menyerukan aksi kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia namun Presiden menyatakan, generasi muda berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.

Namun terjadi konflik agama di Ambon yang menelan banyak korban nyawa. Isu kemerdekaan dan kedaulatan berkobar lagi saat konflik sektarian, antara sebagian besar Alifuru, yang beragama Kristen dan pendatang Muslim dari Jawa dan Sulawesi (migrasi ini telah berlangsung puluhan tahun dengan sokongan pemerintah Indonesia).

Kekerasan sektarian meletus pada Januari 1999 di Ambon dan menyebar di seluruh kepulauan, berlanjut hingga 2005. Ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu mengungsi karena kerusuhan itu.

Seorang tokoh Ambon, Alex Manuputty, mendirikan Front Kedaulatan Maluku pada Desember 2000. Dia mengklaim konflik Muslim-Kristen hanya dapat ditangani jika Maluku mencapai kemerdekaan dan mendukung pendirian negara Republik Maluku Selatan. Gubernur Maluku Saleh Latuconsina secara resmi melarang FKM pada 2001.

Pada bulan April 2010, John Wattilete (2010-sampai sekarang) menjadi presiden kelima RMS. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis dibanding presiden-presiden sebelumnya.

Wattilete lahir di Kota Bemmel, 60 tahun lalu, dari seorang ayah Maluku dan ibu asal Belanda. Ia dipercaya memimpin Republik Maluku Selatan sejak 2010, menggantikan Frans Tutuhatunewa.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Pada awal kepemimpinannya, Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan kaki di Belanda pada Oktober 2010. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal, Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya.

Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikansambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal.

Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luararena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat.

Banyak aktivis Alifuru ditangkap  dan disiksa. Empat orang Aktifis RMS ditangkap dan dipenjarah, yakni Johan Teterisa, Reimond Tuapattinaya, Ruben Saiya dan  Ferdinand Waas. Pihak berwenang juga menyiksa para aktivis lain dari RMS, yang terlibat dalam aksi damai, meski tak sebanyak orang-orang yang beraksi di Stadion Merdeka. (BY)

Sumber:

Artikel sebelumnyaBaverly Mangge dan Perjuangan Membangun Pendidikan Berkualitas di Tanah Papua
Artikel berikutnyaTingkat Kesembuhan Pasien Covid di Papua Tertinggi Kedua di Indonesia