Politik Rasisme, Kematian Bayi dan Anak Serta Ambang Kepunahan Orang Papua (Bagian 1)

0
2172

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA)*
Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Augustinus, Sorong, Papua Barat

Korban-Korban Tersembunyi (invisible victims) oleh Politik Rasisme  

Penelitian yang dilakukan oleh Ibu Stella Roos PETERS  dari Universitas Utrcht pada tahun 2012 di Papua dengan judul “Korban-Korban Tersembunyi (Invisible Victims)”, dengan sub Judul “Akibat-Akibat Kekerasan Struktural pada Kematian Bayi dan Anak-Anak di Papua Barat, Indonesia dalam Konteks  Hak-Hak Asasi Manusia” (The effects of structural violence on Infant and Child mortality in Papua Barat, Indonesia in the context of Human Rights).

Penelitian ini mengeksplorasi akibat  kekerasan struktural berbasis politik rasisme sebagai penyebab kematian bayi dan anak di antara penduduk asli Papua Barat, Indonesia dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM). Kekerasan struktural berbasis politik rasisme menciptakan peluang yang tidak setara antara kelompok yang dominan (powerful) dan yang lemah (powerlessness) dalam masyarakat, sehingga menyebabkan tingkat kematian bayi dan anak secara tidak wajar. Tiga kelompok yang menjadi fokus penelitian yaitu orang Papua di daerah pedesaan, orang Papua di daerah perkotaan dan non-Papua. Perbedaan tingkat kematian bayi dan anak di antara tiga kelompok ini cukup signifikan. Kematian bayi dan anak untuk orang Papua yang tinggal di pedesaan memiliki persentase lebih tinggi, yaitu 18,4%  (38 kematian / 207 kelahiran), orang Papua yang tinggal di perkotaan 13,9% (38 kematian / 274 kelahiran) dan non-Papua memiliki persentase lebih rendah, yaitu 3,6% (2 kematian / 56 kelahiran). Statistik ini menunjukkan ketimpangan yang cukup besar angka kematian bayi dan anak oleh masyarakat Pappua dan non-Papua.

Bersumber dari kelompok wawancara yang diadakan di antara kelompok-kelompok yang berbeda menegaskan, bahwa diskriminasi yang dipraktekan oleh Pemerintah Indonesia terhadap orang Papua terjadi secara sistematis, karena berbasis politik rasisme, sehingga sangat merugikan orang Papua.  Observasi partisipatif di rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan telah menunjukkan bahwa kekerasan struktural diterapkan melalui sistem perawatan kesehatan. Di daerah perkotaan agak lebih baik pelayanan kesehatan kepada masyarakat daripada di wilayah pedalaman (terpencil). Di daerah pedesaan tidak  cukup tenaga medis dan peralatannya, termasuk persediaan obat-obatan berkualitas, yang tersedia hanya obat-obat yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa. Pemerintah Indonesia belum mengambil langkah-langkah atau kebijakkan yang cukup signifikan dan proporsional memperbaiki situasi yang mengerikan ini, yang notabene dialami oleh penduduk asli di pulau ini.  Melalui kebijakkan politik transmigrasi oleh Pemerintah Indonesia, sehingga menyebabkan menurunnya populasi orang asli Papua, dan meningkatnya populasi orang non-Papua menjidi 50% dari seluruh penduduk di tanah Papua.

ads

Di bawah ini statistik pertumbuhan penduduk di Papua

   Orang  Papua                                                           Orang  non-Papua

1971 :     887,000 (96%)                                                       36.000 (4%)

1990 : 1,215,897 (75%)                                                        414,210 (25%)

2000:  1,505,405 (68%)                                                        708,425 (32%)

2005:  1,558,795 (59%)                                                        1,087,694 (41%)

2010:  1,760,537 (49%)                                                         1,852,297 (57%)

2020:   2,112,681 (29%)                                                        5,174,782 (71%)

Di daerah perkotaan terutama dihuni oleh orang-orang non-Papua, sedangkan di daerah pedesaan dihuni oleh orang-orang Papua. Karena Pemerintahan yang korup, militeristik, dan rasis berakibat buruk pada kebijakan pelayanan kesehatan yang diskriminatif, sehingga berakibat pada tingkat kematian bayi dan anak yang cukup tinggi di kalangan orang Papua. Kurangnya akses kesehatan  adalah bentuk pelanggaran kedua terhadap hak istimewa anak yang seharusnya diberikan oleh negara kepada anak-anak sebagai hak asasinya, dan secara hukum diperlukan standar minimal kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Maastricht sebagai persyaratan terjaminnya hak ekonomi, sosial dan budaya bagi setiap warga negara.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi perjanjian ini, karena itu, kegagalan Negara untuk memenuhi kewajibannya tersebut adalah pelanggaran atas hukum internasional yaitu perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya guna mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

Namun demikian kekerasan struktural yang diterapkan terhadap orang asli Papua hampir sepenuhnya tertutup dari pandangan mata, karena  dialihkan kepada pemikiran bahwa angka kematian bayi dan anak-anak Papua disebabkan oleh kekerasan budaya Papua. Pengelaan atas kekerasan terstruktur ini adalah upaya politik Pemerintah Indonesia dari sorotan dunia internasional. Rasionalisasi orang-orang non-Papua bahwa kekerasan yang menyebabkan kematian bayi dan anak-anak Papua, di kalangan masyarakat Papua, karena gaya hidup primitif. Kekerasan budaya di kalangan orang Papua telah terinternalisasi, dianggap sebagai memperkuat kekerasan struktural, yang menyebabkan perasaan putus asa dan kesedihan bagi orang Papua. “Kami harus menjaga diri kami sendiri. Semua program di sini dimaksudkan untuk orang Papua tetapi kami tidak dapat melakukan jenis pekerjaan seperti itu,  sehingga kami hanya menonton dari jauh. Kami tidak termasuk; kami adalah orang lain atau orang asing di negeri kami sendiri”. (Seorang Papua di Ayawasi).  Cara mereka memperlakukan kami, rasanya seperti kami tidak punya pemerintah“. (Seorang Papua di Manokwari).

Kedua kutipan tsb di atas dari narasumber selama diadakan wawancara. Kedua pernyataan tersebut memperlihatkan kepada kita, bagaimana ungkapan perasaan hati orang asli Papua atas realitas penindasan yang dialaminya selama ini. Kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar hidup sebagai manusia (the basic human needs) dan sosial, eksploitasi alam, melemahnya institusi lokal, erosi budaya tradisional dan norma-norma, bahkan distribusi yang tidak merata – tidak adil dari hasil kekayaan yang ada, kekejaman militer (kekerasan milter), dan diskriminasi yang melembaga ikut andil mematikan – membunuh bayi dan anak orang asli Papua. Pemerintah Indonesia, melalui kebijakkannya yang injustice menimbulkan berbagai ancaman serius bagi kelangsungan hidup penduduk asli Papua Barat.  Sejak 1960-an telah terjadi konflik yang menelan ribuan nyawa orang Papua.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Selain itu, situasi kesehatan memburuk sebagai akibat dari kurangnya persediaan perawatan kesehatan oleh pihak Pemerintah, ledakan penyakit HIV / AIDS, transmigrasi terecana dan spontan, serta keterbelakangan (dibelakangkan oleh negara) terus-menerus, telah menyebabkan transisi demografi atau pertumbuhan penduduk yang cepat menurut, sehingga  menjadi ancaman kepunahan, karena jumlah orang Papua semakin hari semakin menjadi minoritas di tanah leluhurnya sendiri (Elmslie, 2010). Operasi militer di seluruh wilayah Papua dan  penembakan oleh tentara Indonesia kepada para pendemonstran damai pro-kemerdekaan di ibukota Provinsi Papua, Jayapura, biak, dan di beberapa kota lain beberapa tahun lalu, menambah angka kematian bagi orang asli Papua, dan hal ini menjadi ancaman kepunahan bagi orang asli Papua (HRW, 2011).

Selain bentuk manifestasi konflik fisik yang terjadi, pun terjadi ketidakadilan dan diskriminasi secara psikologis, ekonomis dan sosial, yang terjadi secara tersembunyi, sehingga menimbulkan korban-korban tersembunyi (invisible victims) setiap hari di kalangan orang asli Papua. Kurang memadainya akses kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi bagi orang asli papua, sehingga berakibat pada kemajuan dan kesejahteraan bagi orang asli Papua. Orang asli Papua  kurang, bahkan tidak diberi  kesempatan oleh Pemerintah Jakarta berinofasi, berkreasi, berkompetisi dengan orang yang lain, sehingga mereka bisa mampu melepaskan diri dari lingkaran setan kemiskinan yang mililitnya. Berbagai program pembangunan dan kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi penderitaan orang Papua,  sebagian besar tidak berhasil. Bahkan, kebijakan Pemerintah Indonesia yang terus mempertahankan pendekatan militeristik dan pembangunan fisik semata akan menyebabkan situasi sosial ekonomi memburuk dan mengerikan bagi orang asli Papua, akibatnya terjadi ketidakseimbangan peluang hidup antara orang Papua dan masyarakat non-Papua (Bonay & McGrory, 2005). Proses ini didefinisikan oleh Galtung (1969) sebagai kekerasan struktural  (structural violence) yang menyebabkan penderitaan yang tak dapat dihindari atau tidak dapat elakan dalam kehidupan  sehari-hari, di mana mereka tidak punya pilihan lain, mereka menjadi korban dari struktur yang bukan pilihan mereka sendiri. Pada intinya kekerasan struktural (structural violence) di Papua terlihat dari angka kematian bayi dan anak orang asli Papua yang sangat tinggi yaitu 11,7% (117/1000), dua kali lebih tinggi dari rata-rata 5,6% (56/1000) dari orang  non-Papua (Blair, 2003). Statistik yang mungkin, bahkan lebih tinggi di daerah-daerah terpencil di mana satu-satunya penelitian tentang hal ini di pulau ini mengungkapkan tingkat kematian bayi dan anak dari 26,8% (181/675) (Bronsgeest, Den Haan & Van Ooijen, 2008). Penelitian sebelumnya oleh Haines (2011) telah menetapkan bahwa hasil kekerasan struktural dapat terlihat dengan jelas melalui perbedaan tingkat kematian bayi dan anak antara segmen masyarakat yang berbeda.

Namun demikian tidak ada atau belum ada penelitian yang telah dilakukan untuk membahas perbedaan antara orang asli Papua dan non-Papua yang berdomisili di seluruh Papua. Meskipun statistik  menunjukan sesuatu yang mengerikan bahwa subjek kematian bayi dan anak cukup tinggi, namun sebagian besar tersembunyi dari pengamatan publik, karena penolakan Pemerintah Indonesia untuk tidak mengizinkan wartawan dan ilmuwan asing mengakses ke wilayah-wilayah tertentu di Papua (West Papua). Lembaga-lembaga internasional sudah mulai memperhatikan status kesehatan yang mengkuatirkan dari anak-anak dan bayi di Provinsi Timur Indonesia, namun mengenai Papua tidak jelas indikasi laporannya dan dikaburkan melalui laporan yang bersifat umum; dan hanya menyebutkan kata sewenang-wenang dalam paragraf tunggal tentang sitausi kematain bayi dan anak di Papua (USAID, 2009, UNICEF, 2010). Persoalan utamanya adalah kurangnya perhatian oleh Pemerintah, namun tampaknya sebagian besar orang beranggapan bahwa penyebab utama kematian bayi dan anak di Papua karena akibat kekerasan budaya, sehingga mereka  melegitimasi kekerasan budaya merupakan kekerasan struktural terhadap penduduk asli Papua (Galtung, 1990).

Pemerintah Indonesia secara eksplisit menggunakan representasi sterotipe (penilaian atau pandangan negatif) bahwa orang Papua adalah orang primitif, orang tak beradab agar melegitimasi aksi mereka untuk menguasai kekayaan tanah dan sumber dayanya  dengan kedok demi modernisasi dan pengembangan daerah (Kirsch, 2010). Hasilnya Indonesia telah dianugerahi kemewahan dan pujian supaya tetap diam atau bungkam agar tidak menjadi topik sorotan  masyarakat internasional. Secara keseluruhan dapat dilihat  bahwa minim prioritas yang diberikan oleh negara kepada anak-anak dan penduduk asli dalam wacana hak asasi manusia, sehingga menyebabkan mereka menjadi korban tak terlihat dari kekerasan struktural.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Penelitian sebelumnya tentang kekerasan struktural oleh Haines (2011) Schwebel & Christie (2007) dan Pilisuk (2008) menegaskan  mengenai aspek kesalahan dalam konteks hak asasi manusia. Namun efek berbahaya dari kekerasan struktural pada status kesehatan anak-anak harus dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak-hak tertentu seperti  pengobatan yang baik dan perlindungan dari bahaya sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Anak (CRC) (ICRC, 1992). Selain Pedoman Maastricht (ICJ, 1997) menawarkan kerangka hukum yang menegaskan mengenai kesalahan negara yang berkaitan dengan kekerasan struktural dengan mengidentifikasi proses terjadinya berbagai pelanggaran yaitu pelenggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Penegakan hak-hak ini melalui instrumen internasional yang dapat memberikan perbaikan struktural yang tepat dari persoalan struktural  yang terjadi. Kekerasan struktural adalah kenyataan yang terjadi di Papua yang harus dikonfrontasi dan diubah untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan damai secara berkelanjutan.

Kekerasan struktural dan Kematian Bayi dan Anak

Landasan  kerangka teori tentang  konsep kekerasan struktural dan budaya,  diulas menurut konteks internasional berdasarkan Konvensi Anak dan Pedoman Maastricht. Konseptualisasi dari tema-tema ini akan digunakan untuk menyelidiki penyebab tingginya angka kematian bayi dan anak di antara penduduk asli Papua Barat. Dalam analisis ini tanggung jawab negara atas efek  kekerasan struktural dan kultural kepada kematian bayi dan anak akan menjadi kunci perhatian utama.

Teori Galtung (1969) menjelaskan hubungan antara kekerasan dan kekuasaan dalam konteks militerisasi, kemiskinan dan penindasan politik merupakan kondisi yang lazim di Papua. Kekerasan biasanya dikonseptualisasikan sebagai bahaya fisik dan / atau psikologis dan cedera yang disebabkan secara langsung, dan dalam beberapa kasus merupakan suatu kesengajaan, tindakan melalui  kekuatan fisik atau psikologis secara ekstrim (Parsons, 2007: 174). Galtung (1969) berpendapat bahwa kita harus menyertakan pula bahwa bahaya yang secara tidak langsung  menyebabkan penderitaan yang tak terelakan dalam kehidupan sehari-hari di bawah gagasan kekerasan, seperti orang mati karena kurangnya akses perawatan medis yang tepat. Kekerasan struktural terjadi bila realisasi somatik dan mental manusia berada di bawah realisasi potensi  yang mereka miliki;  (meghindar) dari kekerasan normal sehari-hari yang menghambat pertumbuhan pribadi dan menghilangkan orang-orang dari apa yang secara potensial memungkinkan. Dengan kata lain, kekerasan adalah  apa yang menyebabkan kesenjangan antara potensi dan aktualisasi; “Apa yang bisa dan apa yang”. Maka ketika potensi terhalang oleh kekuatan dari luar maka kekerasan secara langsung berhubungan dengan subjek-objek-aksi  – yang dipicuh oleh aktivitas dan niat dari agen tertentu – dan tidak ada aktor yang jelas terlibat, kekerasan yang demikian disebut kekerasan struktural atau kekerasan tidak langsung. Benda-benda atau korban kekerasan struktural adalah individu yang dipaksa  masuk ke dalam situasi tertentu di mana mereka  telah dipilih dan ditentukan oleh struktur dan tidak mereka pilih sendiri.

Dengan demikian, struktur kekuasaan diatur untuk menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan yang lain, dalam kasus-kasus yang bernuanasa rasisme, atau untuk melestarikan kelompok tertentu. membunuh – memusnahkan kelompok lain (suku – ras lain), melalui skenario kasus terburuk (Parsons, 2007). Dalam artikelnya Galtung (1990) menekankan bahwa struktur yang menghasilkan kekerasan tidak langsung bukan kejadian alami dan abadi, tetapi reproduksi atau hasil dari hubungan kekuasaan yang ada yang mencakup bentuk ketidakadilan seperti penindasan, marginalisasi, ketimpangan, eksploitasi, dominasi, penindasan dan memperdayakan yang lemah. Foucault (1988) menggambarkan keadaan dominasi sebagaimana yang membekukan hubungan kekuasaan di mana satu kelompok tidak memiliki kemampuan untuk mengubah dan membentuk pengaturan struktural seperti; kekuasaan tidak lagi sebagai substansi  yang diidentifikasi oleh individu yang dilatihannya; melainkan kekuasaan menjadi mesin yang tidak ada yang memilikinya.

Namun kelompok yang mendominasi sengaja menggunakan pengaruh dan kekuasaan mereka atas orang lain untuk melestarikan cara yang memperlancar hubungan dan praktik  demi keuntungan kepentingan mereka sendiri dan mengontrol kekuatan kelompok bawahan  agar tidak mengubah pola hubungan tersebut (Marcuse, 1966, di Parsons, 2007). Ketidaksetaraan ini telah mengakibatkan perbedaan dalam status sosial-ekonomi di Papua  di mana orang Papua telah terpengaruh dengan sistem ini atau terbuai dengan sistem ini. Para trasmingran memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga mendominasi pertumbuhan ekonomi pasar, mengesampingkan orang Papua, orang Papua dikucilkan dari manfaat atau keuntungan ekonomi (Elmslie, 2010).

Kekerasan struktural seperti ini menyebabkan standar  hidup yang lebih rendah secara keseluruhan untuk kelompok yang kurang beruntung,  terlepas dari potensi individunya. Tren yang sering menimpa penduduk pribumi, diulas oleh Subramanian, Smith, Subramanyam dan Hales (2006), di mana mereka menemukan pola yang tidak sama, seperti status perawatan kesehatan dan akses kesehatan antara kelompok pribumi dan non-pribumi dalam masyarakat karena perbedaan status sosio-ekonomi. Telah terbukti metode yang sangat efektif untuk mengukur ketimpangan dalam masyarakat adalah untuk menyelidiki angka kematian bayi dan anak antara kelompok yang berbeda (Haines, 2011). Secara tradisional fokus penelitian pada bayi dan kematian anak adalah akibat dari faktor-faktor seperti pekerjaan dan pendidikan ayah atau ibu, pendapatan keluarga, ras, etnis, dan tempat tinggal.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dalam artikelnya Haines (2011) memperlihatkan angka  kematian bayi dan anak sebagai hasil dari variabel-variabel sosio-ekonomi yang menentukan status kesehatan untuk mewakili ketidaksetaraan dalam masyarakat, terutama untuk segmen tertentu dalam masyarakat yang kurang beruntung. Sebagai pengganti penelitiannya angka kematian bayi dan anak akan digunakan untuk menunjukkan hasil kekerasan struktural dan sebagai ukuran perbandingan antara orang Papua dan non-Papua.

Teori kekerasan struktural menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk memahami pelanggaran atas hak asasi manusia secara struktural sebagai suatu jembatan kepada individu untuk pemenuhan hak asasi manusia yang  tak terjangkau. Kekerasan struktural yang fundamental karena distribusi yang tidak merata dari sumber daya sehingga peluang hidup yang tidak proporsional melanda kelompok yang kurang beruntung dengan prevalensi lebih tinggi dari kemiskinan dan penyakit tanpa sarana dan kemampuan untuk melawan atau mencegah kondisi ini. Proses ini tidak kebetulan terjadi, melainkan ketimpangan yang terjadi disebabkan oleh distribusi yang tidak merata bahkan distribusi kekuasaan yang tidak merata dan selanjutnya dapat dilacak asal-usul  hirarki sosial yang sistematis yang merugikan mereka yang tidak memegang banyak kekuasaan, bahkan kekuatan lainnya. Dengan kata lain kekerasan struktural membatasi kesempatan masyarakat kurang mampu untuk membuat pilihan dan membuat individu-individu tidak mampu atau tidak memiliki kemampuan mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang merupakan hak-hak dasar sebagai manusia.

Dengan menghapus sistem pengekangan yang disebabkan oleh kesenjangan sosial, ekonomi dan politik yang membatasi ruang gerak mereka, individu-individu dapat mengamankan kemampuan dasar mereka (Ho, 2007). Chapman (1996) membedakan kekerasan struktural sebagai pelangaran atas hak asasi manusia, di mana ia membaginya sbb: (1) yang merupakan hasil dari tindakan dan kebijakkan  Pemerintah, (2) yang terkait dengan pola diskriminatif (3) yang terkait dengan kegagalan negara untuk memenuhi kewajiban hak pokok  minimum sebagaimana telah diuraikan. Meskipun kerangka ini mengulas perspektif  tentang kekerasan struktural dalam konteks hak asasi manusia, pemahaman konkret dari kekerasan struktural atas apa yang benar-benar sebagai hak yang sebenarnya dilanggar belum memperlihatkan keterangan yang memadai; meninggalkan teori Chapman (1996) tanpa landasan kenyataan yang kuat.  Penelitian – penelitian berfokus pada efek dari kekerasan struktural pada status kesehatan anak-anak yang sering dilakukan pada skala global dan digarisbawahi tanggung jawab masyarakat internasional. Meskipun dalam aspek ini penelitian tentang kekerasan struktural, perhatian diarahkan pada akuntabilitas dan para pelaku, akibatnya melemahnya  tanggung jawab masyarakat internasional secara keseluruhan tanpa mengutip undang-undang khusus yang telah dilanggar dan bagaimana mencapai eksekusi.

Kelicikan, kekerasan dan penganiayaan struktural merupakan tantangan yang sulit untuk mekanisme hukum internasional. Sedangkan kekerasan langsung secara fisik yang berkaitan dengan peristiwa tertentu dengan korban diidentifikasi dan pelaku serta kekerasan struktural yang menyebabkan kerugian secara tidak langsung seringkali melalui proses yang lambat, tanpa pelaku diidentifikasi dengan jelas. Kent (2006) menggambarkan kekerasan struktural sebagai klasifikasi menyeluruh untuk kondisi sosial-ekonomi yang merugikan dan yang menjadi tanggung jawab negara melalui konsep pengabaikan yang disengaja. Menurut Haines (2011) Kent (2006) menggambarkan adanya kekerasan struktural yang dapat diamati melalui tatanan sosial pada persentase kematian bayi dan anak yang tinggi. Sikap Pemerintah atau Negara mengabaikan persoalan kematian bayi dan anak   dipahami sebagai suatu kesengajaan yang bukan kesalahan perorangan melainkan sistemik atau kesalahan secara sistem atau secara kebijakkan (Kent, 2006).

Fokus utama  penelitian ini adalah mengidentifikasi dampak kekerasan struktural, namun sebuah studi konkret tentang bagaimana mendapatkan akses ke pihak lembaga-lembaga yang bertanggung jawab  dan bagaimana mengambil tindakan hukum terhadap mereka belum diselidiki; kesenjangan atau jurang antara penelitian atau investigasi atas pengaruh kekerasan struktural pada masyarakat dan penuntutan terhadap kasus-kasusnya. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sikap pengabaian atau kelalaian dari pihak pemangku pengambil kebijakkan teradap kematian bayi dan anak daripada pelecehan atau tindakan kekerasan terhadap anak secara langsung yang merupakan situasi triase moral. Bahaya yang lebih buruk yang secara tidak langsung sering sulit diketahui  sementara bahaya luar justru mendapat perhatian luas. Kecenderungan yang ada adalah negara memelihara atau menjaga sistem politik kekerasan berbasis doktrin rasisme ini daripada melaksanakan tanggung jawabnya melindungi hak-hak rakyatnya. Meskipun kekerasan langsung terhadap orang Papua telah menjadi subyek dari banyak papers ilmiah[1]; banyak penelitian lebih  menekankan masalah kekerasan struktural dan dampaknya terhadap angka kematian bayi dan anak yang tinggi, untuk memberikan penegasan atau menekankan tentang  ketidaksetaraan sosial yang ada. (*)

Referensi

[1] . Kirsc, (2010), Trajano (2010)  and Wing & King (2010).

Artikel sebelumnyaHaruskah Kita di Rumah Terus Selama Virus Corona Ada?
Artikel berikutnyaGelar Muslub, Ayub Kowoi Dinobatkan Jadi Kepala Suku Yerisiam Gua