Politik Rasisme, Kematian Bayi dan Anak Serta Ambang Kepunahan Orang Papua (Bagian 2/Habis)

0
2091

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA)*
Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Augustinus, Sorong, Papua Barat

Kekerasan  budaya dan Kematian Bayi dan Anak?

Sebagaimana telah uraikan melalui analisa kekerasan struktural namun suatu hal yang merupakan suatu kesulitan adalah bagaimana dapat membedakan kekerasan sehari-hari dalam masyarakat. Dalam artikelnya, Galtung (1990) mendefinisikan konsep ini sebagai bukan fenomena (non-fenomena) kekerasan budaya. Menurutnya, kekerasan budaya adalah legitimasi kekerasan secara langsung atau nyata dan kekerasan strukturalnya dapat dilihat  atau tampak dan bahkan dirasa benar. Di mana kekerasan struktural menunjukkan kelemahan atau  kekurangan sistem  dari segmen-segmen tertentu dari masyarakat, sedangkan kekerasan budaya merupakan rasionalisasi dari kekerasan ucapan atau perkataan.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Galtung; ‘Budaya berkhotbah, mengajar, menasehati,  dan membuat kita  tumpul atau tak berdaya untuk melihat eksploitasi dan / atau represi yang terjadi tetapi diterima sebagai hal  biasa atau lasim dan alami, atau  bahkan sama sekali tidak melihat  kekerasan itu sebagai hal yang jahat atau buruk’ (1990: 295). Kekerasan struktural tsb diwujudkan melalui kebijakkan membedakan perbedaan sosial, ekonomi, politik, ras, suku di antara kelompok yang dibiarkan dan disembunyikan dalam wacana kekerasan budaya.

Hubungan kekuasaan yang mendukung kelompok dominan direproduksi oleh narasi atau cerita masyarakat, sehingga tidak menguntungkan kelompok bawah atau kelas bawah. Hal ini dikategorikan sebagai kekerasan budaya. Sedangkan kekerasan langsung merupakan proses dari kekerasan struktural. Kekerasan budaya lebih bersifat permanen karena melalui transformasi atau perubahan yang lambat melalui aspek-aspek tertentu dalam budaya. Jadi, dikatakan bahwa tidak ada sebab akibat secara langsung kekerasan budaya kepada kematian bayi dan anak.

ads

Meskipun beberapa studi yang fokus pada kekerasan struktural yang menargetkan kelompok-kelompok pribumi dalam masyarakat, tidak ada investigasi atau penelitian khusus yang telah dilakukan untuk mengungkapkan dengan cara apa melegitimasi kekerasan budaya terhadap kematian bayi dan anak (Butt 1999, Sugandi, 2008).

Sedangkan kekerasan struktural membatasi ruang gerak masyarakat pribumi, sehingga mereka berubah secara tak terlihat, karena itu mereka memegang teguh ‘cara-cara primitif’ untuk  bertanggung jawab atas posisi mereka  yang berada di bawah standar dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara ia tidak mengacu pada kekerasan budaya, Sugandi (2008) telah menunjukkan bahwa masyarakat adat umumnya mendapatkan label sebagai orang terbelakang dan orang yang hidup pada zaman batu walaupun mereka sudah hidup dalam masyarakat modern. Semua metode ini adalah stereotip (pandangan negatif) dan stigmatisasi secara efektif yang digunakan oleh para penguasa negara untuk melegitimasi kekerasan struktural yang berbasis pada doktrin rasisme yang ditujukan kepada penduduk asli.  Penegasan tsb di atas merupakan pemikiran yang dapat merendahkan posisi orang Papua dalam masyarakat bukankah karena sistem tsb yang dapat memotong atau membunuh sumber daya dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, itu karena ‘sifat rendah diri ‘ yang menghalangi mereka untuk mengembangkan hidup mereka. Mekanisme seperti ini sama dengan kekerasan budaya yang selanjutnya digunakan untuk memperkuat klaim atau tuntutan kepada orang Papua bahwa orang Papua membutuhkan pola berasimilasi dengan budaya Indonesia.

Gaya hidup modern yang menipa masyarakat adat sehingga diasumsikan bahwa mereka dapat bertanggung jawab atas budaya asli mereka untuk mempertahankan posisi atau jati diri mereka di masyarakat.

Operasi Koteka yang dilakukan di Wamena, pada akhir tahun 1970, mencontohkan atau memperlihatkan taktik ini, di mana masyarakat adat dipaksa untuk menghacurkan atau merusakan nilai-nilai tradisi (budaya) mereka dan mengadopsi gaya hidup modern dengan mengantikan koteka dengan pakian bekas (Sugandi, 2008).

Dalam pemahaman ini kekerasan budaya terhadap orang asli atau orang Papua sangat merusak; tidak hanya  kekerasan struktural yang mendegradasi mereka, sehingga mengabaikan budaya mereka, tetapi juga kekerasan budaya luar, karena itu mereka bertanggung jawab untuk mempertahankan posisi  atau jati diri mereka dalam masyarakat Indonesia. Namun kemudian kelompok dominan atau yang mendominasi menetapkan untuk memberantas hambatan ini melalui asimilasi. Dengan kata lain, kekerasan budaya membuat kelompok subordinasi (kelompok bawah) tetap berada di tempatnya atau tetap berada di posisinya dan memperkuat superioritas atau dominansi kelompok yang berkuasa yang diperkuat dengan rasionalisasi atau pandangan bahwa orang Papua memiliki budaya yang rendah, sehingga  melegitimasi ketidaksetaraan dalam masyarakat. Inilah cara pandang rasisme yang berakar dalam struktur kebijakkan negara terhadap orang Papua.

Selama 57 tahun kekerasan dan penindasan terhadap orang Papua oleh pemerintah Indonesia telah meresap ke dalam masyarakat dan berakar sebagai kekerasan struktural besar-besaran, di mana mereka menepatkan orang non-Papua sebagai kelompok elit dan orang Papua sebagai kelompok primitif dengan memproduksi dan mereproduksi kekerasan budaya melalui ide-ide rasis (Galtung, 1990).

Kekerasan budaya adalah taktik yang dapat digunakan oleh para penguasa NKRI untuk mempertahankan dan memblokir posisi kelompok subordinasi atau kelompok bawah  agar tetap berada pada posisinya. Cara ini merupakan metode yang digunakan secara sadar dan  kolektif terorganisir dengan baik (Galtung, 1990). Sebagaimana telah ditegaskan bahwa  kekerasan struktural yang berbasis doktrin rasisme merampas hak keadilan dan menciptakan ketidakadilan, sehingga melahirkan dua kemungkinan aksi sebagai perlawanan atas sistem tsb: Pertama adalah kemungkinan reaksi kekerasan langsung yang diarahkan kepada para agresor atau para penyerang, dan yang kedua adalah perlawanan atau agresi  yang diarahkan dalam bentuk perasaan putus asa, pasrah dan frustrasi yang melahirkan manifestasi dalam bentuk  sikap apatis dan antipati.

Kekerasan budaya diinternalisasi  dan diimplementasikannya bukan hanya oleh anggota kelompok dominan saja tetapi juga oleh kelompok yang ada bawahnya (subordinasi). Akibatnya para korban kekerasan struktural  tsb  dapat menerima keberadaan dan ketakberdayaan  mereka sendiri (menerima nasib mereka sendiri)  dan menerima keadaan mereka sebagai suatu yang normal atau wajar. Cara ini disukai oleh kelompok yang dominan atau kelompok yang berkuasa,  yang lebih memilih stabilitas  pemerintahnya daripada kekacuan. Meskipun masyarakat secara aktif menolak dan melawan kekerasan struktural melalui cara ketidakpatuhan atas kebijakan pemerintah, kurang atau tidak partisipasi secara aktif dan pemberontakan, namun perjuangan nyata difokuskan pada upaya mengubah posisi keberadaannya sebagai kelompok sub-ordinasi (bawahan) di dalam kehidupan kelompoknya. Untuk membangun kondisi dimana mereka tidak tunduk pada bahaya dan penderitaan sebagai akibat dari praktek yang dirancang oleh kelompok penguasa untuk mereproduksi  ketidaksetaraan dalam kehidupan sosial (Parsons, 2007).

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dalam kenyataannya bahwa jika kelompok bawah atau sub-subordinasi mimilih cara kekerasan untuk mempertahankan jati dirinya, maka kelompok penguasa secara cepat menjaga keutuhan stabilitas dengan menyalahkan korban kekerasan struktural tsb sebagai separatis, teroris, dll, serta taktik mengalihkannya kepada kekerasan budaya sebagai penyebab utamanya (Galtung, 1990).

Di Indonesia taktik ini dapat dilihat melalui cara menuduh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Komite Nasional Papua Barat (KNPB)[1] sebagai organisasi yang berbahaya, sehingga  dapat dihadapi dan dilawan dengan perlawanan sengit, tanpa menempuh jalur demokratis yaitu dialog.  Seringkali para korban  ‘oposisi’ Indonesia yang terlibat perlawanan sengit dengan OPM sama sekali dikesampingkan, yang terpenting adalah melegitimasi kekerasan tsb, sehingga tetap dipertahankannya.

Persolan ini telah diteliti oleh Kirsch (2010) yang meneliti budaya kekerasan yang diceritakan dengan pola kita-dan-mereka yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menggambarkan kekerasan merupakan bagian dari hidup orang Papua.  Hal ini digambarkan melalui kekerasan atau perang antara suku  dan perlawanan oleh OPM, dengan tujuan untuk menciptakan  stereotipe (gambaran yang buruk atau jelek) tentang orang Papua sebagai orang primitif dan terbelakang (orang kuno).  Karena itu,  aksi  kekerasan Negara terhadap orang Papua  tetap dipertahankan dan legitimate sebagai wujud pengalihan motif utama bangsa Indonesia, yaitu bertujuan mengambil alih tanah dan sumber daya alam Papua atas nama pembangunan dan modernisasi, dengan terus menerapkan kebijakan militerisasi  di Papua sebagai kebijakan yang sah (Kirsch, 2010).

Membingkai konflik dengan cara ini telah terbukti sangat efektif,  karena didukung pula oleh dominasi persepsi internasional tentang orang Papua sebagai  manusia primitif, sehingga melegitimasi  stereotype (pandangan buruk atau jelek) tentang orang Papua yang dikenakan oleh Pemerintah Indonesia. Maka dengan demikian mencegah pertanyaan komprehensif atau menyeluruh  dari pelaporan tentang berbagai penganiayaan atau kekerasan struktural yang dipraktekan oleh Pemerintah Indonesia terhadap orang Papua. Melalui seting kekerasan budaya pengaturan ini tidak hanya merupakan legitimasi kekerasan balasan terhadap pemberontak yang agresif tetapi  membenarkan struktural kebijakan kekerasan terhadap orang Papua dan menolak – mengkanter protes para pencinta HAM bahwa kekerasan tsb merupakan bagian intergral hidup orang Papua.

Stereotipe atau pandangan jelek atau buruk bahwa kekerasan budayalah yang menjadi bagian dari hidup orang Papua yang dapat diterjemahkannya dan dijadikannya sebagai pokok permasalahan yang menyebabkan  kematian bayi dan anak-anak Papua. Cara hidup orang Papua dan cara membesarkan anak-anak mereka, sangat berbeda dari budaya  orang Indonesia. Hal ini diangagap oleh orang non-Papua dan Pemerintah Indonesia sebagai cara  ‘primitif’, karena itu cara merekalah yang benar, yang digunakannya untuk mengangkat  orang Papua dari keadaan rendah dirinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Butt (1999) mengacu pada retorika ini sebagai mitos politik yang diciptakan oleh Pemerintah Indonesia. Misalnya dengan mengatakan bahwa status kesehatan bayi masyarakat  Papua adalah ‘kemiskinan yang merupakan bagian terintegral’ dalam hidup orang Paua sendiri. Karena itu,  hanya melalui asimilasi dan perhatian oleh Negara, sehingga mengalami kemajuan-perubahan.  Asumsi budaya kekerasan yang disebarluaskan oleh Indonesia bersifat inheren dan tidak inheren dalam konsep kesehatan bayi  bagi masyarakat asli Papua. Strategi politik rasisme ini memperkuat dan menginternalisasi keyakinan inferioritas atau keadaan rasa rendah diri  oleh orang Papua, yang sebenarnya cara ini merupakan upaya menyembunyikan dampak dari kekerasan struktural yang diciptakan oleh negara, sehingga menyebabkan tingginya angka kematian bayi dan anak-anak Papua.

Penelitian sebelumnya dengan jelas menunjukan cara tsb merupakan cara politisasi  kebijakkan pemerintah Indonesia sebagai sarana untuk mengontrol kebijakan politik rasismenya dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia sebagai warganegara dalam komunitas budaya yang berbeda (Butt, 1999). Secara khusus yang berkaitan dengan dunia kesehatan ditargetkan kepada bayi sebagai strategi politik  tentang perlunya asimilasi dan penanaman nasionalisme NKRI. Pemerintah Indonesia menggunakan dalih yaitu memberikan perawatan medis yang hanya sebagai upaya untuk memajukan agenda politik berbahayanya, padahal secara prinsip seharusnya Pemerintah punya tanggungjawb moril untuk memajukan kesehatan warganya melalui akes kesehatan yang memadai. Kerena itu, para pasien orang asli Papua yang membutuhkan perawatan, tidak mengunjungi klinik karena ada kecurigaan terhadap agenda politik ganda Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, terdapat banyak praktek penyembuhan tradisional yang masih tersebar luas di antara masyarakat Papua, di mana kombinasi obat asli dan perawatan medis modern dari negara Barat digunakan untuk mengobati penyakit (Courtens, 2008). Apakah pengobatan tradisional telah dimasukkan dalam retorika budaya kekerasan untuk melegitimasi posisi ketidakmampuan orang Papua dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kematian bayi dan anak-anak, rupanya pokok ini diabaikan.

Sayangnya penelitian di Papua belum secara khusus berfokus pada kekerasan budaya orang Papua sebagai rasionalisasi yang melegitimasi kekerasan struktural. Titik fokus telaahan pada pemusnahan budaya Papua tanpa analisis mendalam untuk mengeksplorasi alasan di balik kehancuran yang tampaknya tidak masuk akal dan apa kemugkinan  implikasi  terhadap masyarakat.  Dengan demikian dilihat bahwa ida kekerasan budaya merupakan rasionalisasi atau akal-akalan yang dicipatakan oleh Pemerintah Indonesia, dan sebagai kerudung yang menutupi dampak atau akibat dari kekerasan struktural yang diterapkan selama ini di Papua, sehingga menjadi penyebab kematian bayi dan anak-anak Papua selama ini.

Baca Juga:  Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

Hak Asasi Manusia, Kematian Bayi dan anak-Anak

Sebagaimana penelitian sebelumnya tentang kekerasan struktural seringkali lalai  menekankan  hal-hal tertentu dari hak asasi manusia ditindas. Meski begitu, studi[2] tentang efek dari kekerasan struktural pada anak-anak sering merujuk pada Konvensi Anak (CRC) sebagai kerangka hukum untuk mengatasi masalah ini.

Konvensi Hak  Anak merupakan bagian integral dari hak-hak asasi manusia seperti  hak civil, hak ekonomi, hak politik dan sosial budaya – yang mencakup semua anak di bawah usia delapan belas tahun sesuai dengan ketentuan hukum yang diatur oleh negara. Konvensi atau Perjanjian Hak-Hak Asasi Manusia  menetapkan  54 artikel dan dua Protokol Opsional; hak untuk hidup; untuk mengembangkan diri sepenuhnya; perlindungan dari pengaruh berbahaya, kekerasan dan eksploitasi; dan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan keluarga, sosial dan budaya. Empat prinsip inti dari Konvensi  non-diskriminatif; mengutamakan  kepentingan anak; hak hidup, kelangsungan hidup dan pengembangan diri anak; dan menghormati pandangan anak atau cara berfikir anak (ICRC, 1992).

Selain itu Perjanjian atau Konvensi tsb menetapkan tentang perlindungan atas hak-hak anak dengan menetapkan standar  untuk pelayanan kesehatan; pendidikan; dan hukum, sipil dan pelayanan sosial. Indonesia telah menandatangani Konvensi atau Perjanjian ini pada tanggal 26 Januari 1990 dan  disahkannya  pada tanggal 5  September 1990 (ICRC, 1992).

Melalui persetujuan perjanjian ini berarti Indonesia seharusnya turut bertanggungjawab mewujudkan kewajibannya  sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkannya melalui Konvensi atau Perjanjian ini, dan berkomitmen untuk melindungi dan menjamin hak-hak anak dan mempertanggungjawabkan komitmennya tersebut di hadapan masyarakat internasional. Negara-negara yang telah turut menandatangani  Konvensi atau Perjanjian ini wajib  mengembangkan dan melakukan semua tindakan dan kebijakan demi kepentingan dan pengembangan anak (ICRC, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Yousefzadeh (2012), terfokus pada kemiskinan anak dan kehilangan hak hidup di Iran, dan Konvensi atau Perjanjian Anak digunakan untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan dimensi kekurangan melalui pendekatan tiga P, yaitu Penyediaan, Perlindungan dan Partisipasi yang digunakan untuk mengidentifikasi  kelompok minoritas mana  dalam masyarakat yang menjadi korban. Meskipun studinya tidak secara khusus berfokus pada kekerasan struktural, kondisi kekurangan yang mempengaruhi kelompok tertentu dalam masyarakat pada dasarnya merupakan efek atau akibat dari kekerasan struktural. Sebagai pengganti penelitian ini Konvensi Hak Anak  dijadikan sebagai pedoman hukum untuk mengidentifikasi kekerasan struktural sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Tulisan ini secara khusus difokuskan pada apakah pengaruh kekerasan struktural  yang menyebabkan kematian bayi dan anak-anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena itu titik fokusnya pada pasal 24 CRC  yang mengacu pada kematian bayi dan anak-anak dan penyediaan standar pelayanan kesehatan dasar. Ayat 1. Negara-negara yang mengakui Perjanjian hak anak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan dan fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara yang mengakui Perjanjian hak anak harus berusaha menjamin bahwa tidak ada anak yang dirampas haknya melalui akses pelayanan perawatan kesehatan seperti tercantum dalam Konvensi ini dan hak asasi manusia internasional lainnya atau instrumen kemanusiaan dimana negara tersebut merupakan pesertanya. Ayat 2. Untuk tujuan ini, Negara-negara yang menandatangani Perjanjian hak anak harus menyediakan  kerjasama melalui upaya PBB dan organisasi-organisasi antar pemerintah lainnya yang kompeten atau organisasi non-pemerintah yang bekerjasama  dengan PBB untuk melindungi dan membantu anak  dan untuk melacak orang tua atau anggota lain dari keluarga pengungsi  untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk reunifikasi anak tsb dengan keluarganya.

Pada kasus tsb di atas di mana tidak ada orang tua atau anggota keluarga lainnya yang tak dapat ditemukan, anak akan diberikan perlindungan yang sama seperti anak lain secara permanen atau sementara dari lingkungan keluarganya karena alasan apa pun, sebagaimana diatur dalam Konvensi atau Perjanjian ini. Negara-negara yang ikut menandatangani atau menyetujui Perjanjian hak anak ini harus berupaya menwujudkan atau merealisasikan hak ini sepenuhnya dengan harus mengambil tindakan yang tepat: (a) Mengurangi kematian bayi dan anak-anak; (b) Untuk menjamin penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan pada pengembangan pelayanan kesehatan dasar; (c) Untuk memerangi penyakit dan kekurangan gizi, termasuk dalam kerangka perawatan kesehatan primer (yang mendasar), melalui penerapan teknologi tersedia dan melalui penyediaan makanan bergizi yang memadai dan air minum bersih, dengan mempertimbangkan bahaya dan risiko pencemaran lingkungan; (d) Menjamin perawatan kesehatan pra-persalinan dan pasca-persalinan bagi ibu-ibu; (e) Untuk memastikan bahwa semua segmen masyarakat, terutama para orangtua dan anak-anak, diinformasikan, memiliki akses  pendidikan dan didukung dengan  pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi anak, keuntungan menyusui, kebersihan dan sanitasi lingkungan dan pencegahan kecelakaan; (f) Mengembangkan perawatan kesehatan preventif, bimbingan bagi orang tua dan pendidikan dan pelayanan keluarga berencana.

Negara-negara yang ikut menandatangani Perjanjian hak anak ini harus mengambil semua langkah yang efektif dan tepat dengan tujuan menghilangkan praktek-praktek tradisional yang merugikan kesehatan anak. Ayat 4. Negara-negara pendukung Konvensi hak-hak anak berusaha meningkatkan dan mendorong kerjasama internasional dengan maksud untuk mencapai realisasi penuh hak-hak  yang diakui dalam pasal-pasal sebagaimana telah disebutkan. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diarahkan kepada  kebutuhan negara-negara berkembang “(ICRC, 1992: 11-12). Artikel ini mengakui hak-hak anak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai secara kesehatan dan kewajiban negara untuk berusaha  memastikan bahwa tidak ada anak yang dirampas haknya dari akses  pelayanan kesehatan tersebut. Dengan kata lain, Konvensi ini telah memperluas gagasan tradisional ‘bahaya’ di luar kekerasan fisik ke bentuk  lainnya yang dapat merusak dan berbahaya  termasuk kelalaian medis; anak memiliki hak untuk dilindungi dari bahaya ini.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Meskipun Konvensi menawarkan kerangka hukum untuk mengatasi efek  atau dampak dari kekerasan struktural oleh negara, misalnya efek atau dampak yang diperlihatkan melalui angka kematian bayi dan anak yang tinggi memperlihatkan bahwa  kesalahan negara yang tidak menangani proses kekerasan struktural yang dilakukan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat sebagai bentuk dari pelanggaran atas hak-hak mereka. Sedangkan kurangnya kesehatan yang memadai dapat dikutuk, kekerasan struktural yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak anak sebagian besar terus dialami oleh kelompok tertentu akan terus bercokol. Konvensi atau Perjanjian ini meliputi akuntabilitas negara melalui bahasa penegasan atas kewajibannya  demi kepentingan anak-anak, mengarahkan negara untuk mendirikan institusi  perlindungan atas anak-anak dan pemberian bantuan untuk kebutuhan dasar mereka, namun dokumen ini mengatur tentang apa kewajiban yang persis diperlukannya dan apa yang merupakan pelanggaran (Simon, 2000). Kewajiban negara untuk mengupayakan peningkatan pelayanan kesehatan dari yang kurang memadai menjadi memadai tetapi  jika Negara tidak berupaya untuk memperbaiki keadaan ini, maka hal ini dikategorikan sebagai kekerasan struktural tersembunyi yang dilakukan oleh negara, yang kemudian dianggap sebagai hal yang normal karena merupakan bagian dari sistem kekerasan budaya.

Kesalahan negara dalam hal ini sebagaimana digambarkan dalam Pedoman Maastricht  yang merupakan kerangka hukum yang menyeluruh untuk mengatur kewajiban dan tanggung jawab negara pada skala megah. Dokumen ini menawarkan kerangka hukum bagaimana menangani kekerasan struktural dengan mengidentifikasi perbedaan antara orang Papua dan kelompok non-Papua berkaitan dengan peluang, sumber daya dan kemiskinan secara keseluruhan sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kovensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah diratifikasi (a) oleh Pemerintah Indonesia  pada  tanggal, 23 Februari 2006 yang  mewajibkan negara untuk menegakkan hak-hak ini (ICESCR, 1995).

Pedoman Maastricht memberikan gambaran secara konkret tentang apa yang merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan menetapkan tiga jenis kewajiban Negara: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. Kegagalan negara  melakukan salah satu dari tiga kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak yang disebutkan di atas. Selain Pedoman menetapkan standar  untuk kewajiban perhatian minimum pada  pasal 9; “Pelanggaran atas Perjanjian  terjadi ketika suatu negara gagal  memberikan pelayanan yang memuaskan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana telah disebut sebagai ‘kewajiban inti minimum untuk menjamin kepuasan, setidaknya, tingkat kebutuhan pokok minimum dari setiap hak [. . .].

Jadi, misalnya, pihak Negara di mana mencabut hak individu  untuk mendapatkan bahan makanan, pelayanan kesehatan dasar, tempat tinggal dan perumahan, atau bentuk yang paling dasar dari pendidikan, menjadi tannggungjawb Negara, jika tidak berarti Negara tsb melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya. ‘kewajiban inti minimum tersebut berlaku terlepas dari ketersediaan sumber daya dari negara yang bersangkutan atau faktor-faktor lain dan kesulitan “(ICJ, 1997: 3). Dalam artikel II bagian 6 menekankan pokok tentang kegagalan Negara memenuhi kewajibannya memberikan perawatan kesehatan  dasar (primer) secara khusus disebutkan sebagai pelanggaran sesuai dengan pasal 72  Princip-prinsip Limburg; ” suatu Negara dikategorikan sebagai yang melanggar Perjanjinan ini, di antaranya, jika:

  • Gagal untuk mengambil langkah yang diperlukan
  • Gagal untuk mengatasi dan mengurangi segera persoalan yang dialami oleh masyarakat  dan kebutuhan individu diabaikan
  • Gagal melaksanakan atau mewujdukan apa yang merupakan hak masyarakat dan hak individu tanpa menunda-nunda.
  • Dengan sengaja tidak memenuhi standar minimum ketentuan internasional yang telah diakui yang merupakan standar  kebutuhan yang harus dipenuhinya.
  • Ini berlaku secara terbatas sesuai dengan hak yang diakui dalam Perjanjian ini, selain sesuai juga dengan apa yang diterima oleh Perjanjian ini.
  • Sengaja memperlambat atau menghentikan realisasi upaya memajukan hak, kecuali dilakukan dalam batasan yang diizinkan oleh Perjanjian atau  melakukannya karena kurangnya sumber daya yang tersedia atau force majeur (kemampuan yang memadai);
  • Gagal menyerahkan laporan yang diminta sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Perjanjian “(ICJ, 1997: 4).

Ketentuan-ketentuan tersebut tidak hanya memaksa negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan, tetapi juga  mengutuk negara-negara yang mengabaikan tanggungjawabnya melakukan tindakan yang memadai untuk menegakkan hak-hak tsb.

Diskriminasi atas hak ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan oleh negara terhadap kelompok tertentu seperti yang dialami oleh orang Papua adalah kekerasan kemanusiaan, secara khusus  karena mereka mengalami ketidakadilan yang tidak proporsional (ICJ, 1997). (*)

Referensi:

[1] .  Situasi aneksasi atau pencaplokan Papua Barat ke dalam NKRI pada waktu perang emas pada tahun 1969 yang memacu tendensi lahirnya kelompok perlawanan, seperti Organisasi Papua Mereka (OPM), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dll.

[2] .  Schwebel  &  Christie (2007), pilisuk (2008)  dan Kent (2006).

Artikel sebelumnya52 Petugas Kesehatan di Papua Terpapar Covid
Artikel berikutnyaKNPB: Hukum Indonesia Rasis Terhadap Orang Papua