Penghisapan Ekonomi, Rasisme dan pengalaman Orang Papua

0
2332

Rasisme adalah akar dari penindasan. Awal mulanya, rasisme  tumbuh dan berkembang ketika terjadi perbedaan klas  dan terjadi sistem penghisapan ekonomi dan perbudakan tanpa upah mulai dijalankan.

CLR James, dalam bukunya Modern Politic menyatakan, konsep pembagian masyarakat berdasarkan ras  dimulai dengan perdagangan budak. Pandangan  merendahkan dan mencemoh manusia lain ini berkembang  bersamaan dengan perbudakan dimulai ketika klas yang berkuasa melihat pentingnya mendapat tenaga kerja dengan upah yang murah dan loyal.

Rasisme bukan sekedar sentimen anti suatu etnis, melainkan sebuah paham atau keyakinan bahwa ras suatu bangsa lebih unggul dari pada bangsa lain.  Paham  rasis ini melandasi bangsa-bangsa yang kuat menaklukkan bangsa lain  dengan kekuatan perang. Bangsa yang kalah perang dianggap inferior dan bangsa yang menang anggap diri mereka superior, kemudian melakukan apa saja terhadap bangsa yang kalah perang, termasuk perbudakan dan perampasan tanah bahkan pemusnahan ras atau etnis suatu bangsa.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Kaum rasialis sangat yakin, bahwa pola hidup maupun pola berpikir suatu bangsa sangat  ditentukan oleh ras bangsa tersebut. Implikasinya muncul suatu sentimen dan prasangka rasial. Dalam perkembangannya, diskriminasi rasialis itu termanistasi dalam  praktek bernegara. Kaum-kaum rasis itu telah berubah wujud dan berlindung dibawah negara. Bahkan telah menjadikan negara alat kekuasaan untuk melakukan penjajahan bangsa dan  wilayah lain secara ekonomi, politik dan budaya.

Melakukan penjajahan dengan prasangka rasial bahwa bangsa lain masih terbelakang, inferior, dan tidak mampu,  sehingga datang sebagai penyelamat, dan pembawa kemakmuran  untuk merubah bangsa lain  yang bukan manusia menjadi manusia.

ads

Praktek-praktek diskriminasi rasial yang terkait dengan penjajahan dalam bentuk apa pun dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Prasangka rasial mewarnai setiap kebijakan pembangunan, ekonomi, sosial, budaya,  penegakkan hukum dan bidang lainnya.

Ms, E. Tendayi Achiume, Pelapor Khusus PBB  kelima tentang bentuk-bentuk rasisme, dalam laporannya menyebutkan, diskriminasi ras, xenophobia, intoleransi, dan Popularisme nasionalis yang mengedepankan kebijakan eksklusif, atau represif yang merugikan kelompok, berdasarkan ras, etnis, asal suku, agama dan kategori sosial lainnya mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia non diskriminasi dan kekerasan.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Kekerasan rasial dan diskriminasi beranggap pada ideologi supremasi dan popularisme etnik nasionalis. Rasisme telah menjadi faktor utama pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida.

Dalam kasus rasisme di Indonesia, masyarakat Papua telah lama mengalami perlakuan rasis dari berbagai bentuk, namun selalu  didiamkan. Dari sisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan demokrasi serta bidang lainnya.

Dimulai dari sejak proses persiapan hingga pelaksanaan Pepera 1969, rakyat Papua sudah merasakan tindakan diskriminasi rasial dalam berbagai bentuk kekerasan rasial.  Pembunuhan, intimidasi, pembungkaman dan pembatasan oleh Militer Indonesia.

Dalam kasus rasisme di Surabaya, Jawa Timur, 57 orang Papua ditangkap dan ditahan di berbagai penjarah di Indonesia. Dalam pandangan pemerintah Indonesia, tahanan tersebut bukan terkait dengan peristiwa politik, melainkan tindak pidana. Pemerintah dan aparat keamanan berusaha memisahkan rasisme dengan isu politik Papua.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Dalam proses penanganan ini  menunjukkan, hukum yang diskriminatif dan rasial terhadap orang Papua. Aktor dan pelaku pengujar rasis justru dihukum ringan dari pada orang Papua yang mendapat diskriminasi rasial dikenakan dihukum lebih berat.

Dalam hal kebebasan menyampaikan pendapat, masyarakat Papua diperlakukan beda dengan dihadapan hukum.  Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembubaran secara paksa, disertai dengan kekerasan, ujaran-ujaran rasis yang merendahkan harkat dan martabat, penghinaan atas adat istiadat dan identitas orang Papua.

Kasus Pelanggaran HAM berat dan kekerasan lainnya di Papua, diabaikan begitu saja tanpa di proses hukum terhadap para pelaku kekerasan. Tindakan ini dilihat oleh orang Papua sebagai penegakkan hukum yang diskriminatis dan rasial. (*)

REDAKSI

Artikel sebelumnyaUpdet 12 Juni: 12 Orang Sembuh, 41 Kasus Baru, Total 1211 Orang Positif Covid-19
Artikel berikutnyaSolidaritas Pelajar Papua Minta 7 Tapol Papua Dibebaskan Tanpa Syarat