Ariana Lokbere: “Kami Mau Bebas! Sampai Sekarang Kami Masih Trauma.”

0
1706

Oleh: Devi)*
Penulis adalah Pekerja Sosial

Beberapa baris harapan dilontarkan oleh Ariana Lokbere ketika ditanya oleh moderator Indria Fernida saat dirinya hendak berpamitan dari acara diskusi online:  “Harapan saya agar teman-teman mahasiswa di Tanah Jawa dan Tanah Papua yang mau menyampaikan pendapat tidak boleh dianggap melawan negara. Kami mau bebas. Mau bebas berpendapat, bebas berjalan, bebas keluar masuk. Karena sampai sekarang kami masih trauma. Kami ingin damai menjalani hidup. Damai sebagai manusia yang bermartabat dan bernilai.”

Mariana Amiruddin selaku Komisioner Komnas Perempuan menyatakan akan membantu Ariana kembali kuliah dengan cara bersurat pada pihak kampus agar menerima Ariana berkuliah kembali sebagai bagian dari reintegrasi dan pemulihan pasca penahanan. Kegiatan ini, Dialog Publik dalam Rangka Memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional, hari ke-1 Penangkapan dan Penahanan Tahanan Perempuan di Papua, diselenggarakan oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, dan Ombudsman pada 25 Juni secara online via zoom dan disiarkan lewat Youtube di link ini Hari Anti Penyiksaan Internasional. Hari ke-1: Penangkapan dan penahanan tahanan perempuan di papua   pada jam 09.15 hingga 12.05 WIB.

Ketua Komnas HAM dalam pembukaan acara meminta agar negara segera meratifikasi OPCAT (Optional Protocol to the Convention Against Torture) alias Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan. “Sejak 1998, kita telah meratifikasi instrumen induk tetapi operasional protokolnya belum diratifikasi hingga sekarang.”

Ariana Lokbere menceritakan pengalaman buruk yang dialaminya: “Kami dianggap sebagai teroris atau pembunuh, dianggap binatang, dengan tuduhan makar yang ancaman hukumannya seumur hidup atau 20 tahun. Ini hal yang tidak wajar. Saya tidak pernah merusakkan nama negara, tidak pernah membunuh, tapi mereka sita kami punya HP dan tutup kami punya mulut. Kami dibawa ke Polda Metro Jaya, ditanya-tanya dan buru-buru dipindah ke Mako Brimob.”

ads

Pendeta Suarbudaya Rahadian selaku tim pendamping advokasi tapol The Jakarta Six mengungkapkan, “Tahanan politik Papua, khususnya yang ditahan di Jakarta, adalah sampel bagaimana penanganan narapidana dan tahanan yang luput dari perhatian publik bahwa mereka adalah orang-orang yang seharusnya mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Para tapol ditahan dengan melanggar banyak protokol. Ariana ditangkap tanpa surat penahanan. Tiba-tiba datang orang mengaku wartawan yang hendak wawancara, minta bertemu di warung lalu karena Ariana tidak nyaman, orang itu malah mengejar dan menangkap Ariana. Mereka yang laki-laki di Depok juga didatangi dan diserbu intelijen yang bahkan merobohkan pagar asrama dan menodongkan pisau lalu dibawa ke Polda Metro Jaya. Belum lama di sana sudah dipindahkan lagi ke Mako Brimob dan selama 14 jam para penasihat hukum hanya mendampingi tanpa diperbolehkan bertatap muka. Setelah 24 jam baru diperbolehkan mengobrol beberapa saat saja itupun dengan pengawasan sangat ketat dari intel dan aparat.

Di Mako Brimob mereka berenam tinggal terpisah di ruang tertutup rapat, bahkan ada ada satu yang dimasukkan dalam ruangan tertutup berpintu baja, tanpa jendela dan teralis sama sekali, sangat pengap tanpa kipas angin, dan terus-menerus diputarkan lagu tanpa henti. Pintu hanya dibuka dan mereka diperbolehkan keluar saat ada kunjungan sebentar yang hanya hanya 2x seminggu. Jadi memang banyak hak-hak para aktivis kemanusiaan Papua ini yang tidak terpenuhi. Dari sudut pandang keluarga dan pendamping, meski ada alasan hukum bahwa ini terduga kasus makar sehingga tidak boleh sering dikunjungi, tetap saja kami melihat bahwa ini adalah penyiksaan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Mereka tidak pernah melihat matahari, tidak tahu jam dan waktu, serta yang terutama, sama sekali tidak punya kepastian kasus mereka sudah sampai tahap mana, karena memang pada 70 hari pertama komunikasi keluar sangat dibatasi. Kondisi Ariana sampai begitu depresi, tatapannya kosong dan tidak bisa bicara lagi. Begitu juga Surya yang sangat drop dan tidak bisa mengingat apapun sama sekali. Di Mako Brimob, karena perempuan, Arina terpisah jauh dari yang lain, ditempatkan di ujung. Ketika mati lampu lama, Ariana hanya bisa berteriak berjam-jam lamanya tanpa ada yang datang untuk sekadar membawa lilin atau lampu. Ini sungguh penyiksaan mental karena akses komunikasi dan perjumpaan dengan keluarga, pengacara, serta rohaniawan sangat dibatasi. Memang penahanan seolah hanya 9 bulan saja, tetapi siksaan mental yang mereka alami berkali lipat lebih berat.”

Dano Tabuni, yang berada di samping Pdt Suarbudaya menambahkan dengan pengalamannya, “Di penjara kami sama sekali tidak menerima hak-hak kami sebagai warga negara, seperi kata Ariana, kami diperlakukan seperti binatang. Dari Mako Brimob kami dipindahkan ke Rutan Salemba. Kita mengklaim Belanda adalah kolonial, tapi negara ini lebih buruk lagi. Nilai-nilai kemanusiaan tidak ada dalam penjara. Ruangan over kapasitas, tempatnya tidak layak, bahkan tinggal di kolong jembatan masih lebih layak daripada di rutan, air tidak layak, makanan tidak layak, bila makanan itu diberikan ke kucing saja kucing tidak mau makan, tapi kami terpaksa makan karena kalau tidak makan itu baru makan apa? Penjara itu lahan bisnis sipir. Biasanya kami mendapat makanan dari keluarga tetapi ketika pandemic covid, tidak boleh lagi ada kunjungan dan bezoek, jadi makanan dan alat mandi kami juga dipersulit. Kalau orang lain yang ada transaksi uang dengan sipir, pasti bisa masuk, tapi kebutuhan kami tidak bisa. Koperasi dalam penjara harganya 5x lipat daripada harga di luar. Pengeluaran di penjara jadi sangat banyak. Ini dialami oleh semua tahanan. Transaksi uang dalam penjara ini perlu penanganan khusus.”

Menurut Mariana Komaruddin dari Komnas Perempuan, pihaknya telah melakukan kunjungan pada tahanan perempuan yang melakukan demonstrasi dan menyampaikan pendapat di media sosial, yakni dengan mengunjungi Sayang Mandabayan di Lapas Manokwari, Arina Elopere di Lapas Pondok Bambu, dan di Surabaya melihat lokasi asrama Papua dan ke Polda Jawa Timur. “Kami cek proses penangkapannya dulu. Ternyata menurut Sayang maupun Ariana memang penangkapan itu tidak diinfokan dulu, tidak ada ruang pembelaan diri, tidak bisa bertanya mau dibawa ke mana, dan tidak ada surat perintah penangkapan. Prosesnya sangat intimidatif dan penuh kekerasan, terutama yang di Surabaya sehingga menimbulkan trauma juga pada mereka yang tidak ditangkap. Apalagi posisi Sayang yang baru melahirkan dan harus menyusui bayinya. Kedua tahanan perempuan termasuk telah mengalami penyiksaan. Dalam proses penangkapan dan pemeriksaan mereka juga telah terjadi penghukuman lebih dulu, yang termasuk di dalamnya adalah intimidasi. Para perempuan yang tidak ditangkap juga mengalami tindakan intimidatif.

Ada 11 hak yang sebetulnya dimiliki oleh setiap terduga :

  1. Hak meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada petugas yang datang
  2. Hak meminta penjelasan tentang tuduhan, tempat akan dibawa, dan bukti awal à Dalam kasus kedua tahanan perempuan Papua ini bukti hanyalah bendera bintang kejora. Ini sesuatu yang sebetulnya bisa diiterpretasikan lain, tidak bisa jadi bukti makar sebab bintang kejora dalam konteks Papua adalah simbol budaya lokal
  3. Hak diperlakukan sebagai tidak bersalah à Dalam kasus Ariana dan Sayang, keduanya sudah dianggap bersalah sejak proses penangkapan
  4. Hak mendapat perlakuan manusiawi
  5. Hak mendapat penerjemah
  6. Hak mendapat juru bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas
  7. Hak segera mendapatkan pemeriksaan
  8. Hak didampingi penasihat hukum
  9. Hak mendapat penasihat hukum secara cuma-Cuma
  10. Hak mengungkapkan pendapat
  11. Hak untuk diam
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Persyaratan ini diperlukan untuk menghindari perlakuan buruk (ill treatment) dalam seluruh prosesnya. Aparat sebetulnya tidak perlu kuatir. Tindakan manusiawi justru akan mempermudah proses hukum, juga untuk menghindari salah tangkap.

Dalam kasus Sayang, dia tidak mendapat ruang dan waktu khusus untuk menyusui bayinya. Akibatnya dia mengalami pembengkakan payudara dan demam tinggi. Padahal menurut Bangkok Rules, bagi tahanan yang memiliki anak kecil, semestinya penahanan dilakukan sedekat mungkin dengan rumah dengan memperhitungkan tanggung jawab pengasuhan dan preferesi pribadi. Sayang Mandabayan tidak mendapatkan semua itu, sebab dia sendiri berasal dari Sorong dan seluruh keluarganya d Sorong tetapi malah ditahan di Manokwari. Ini sebabnya penting agar protokol OPCAT segera diratifikasi, terutama dalam situasi politik yang memanas (agar aparat tidak sembarangan memperlakukan tahanan politik). Masih menurut Bangkok Rules, setiap tahanan yang telah dilepaskan  berhak mendapatkan reintegrasi dan pemulihan.”

Di sesi tanya jawab, penasihat hukum Gustav Kawer mengetik pertanyaan pada Komnas Perempuan tentang Tersya Iyaba dalam kasus Wamena mengalami penyiksaan, pelecehan dan pemerkosaan; saat ini Tersya Iyaba sudah dipindah ke Polda Papua di Jayapura dan divonis 6 tahun penjara. Komnas Perempuan menjawab agar segera diadukan ke Komnas Perempuan dulu agar segera bisa ditindaklanjuti, apabila sudah vonis seperti ini maka Komnas Perempuan akan melakukan pemantauan lanjutan. Komnas Perempuan dalam kesempatan ini mengajak LPSK untuk melakukan proses pemulihan bagi Sayang dan Ariana.

Ariana Elopere menambahkan, “Saya pikir saya keluar penjara ini sudah bebas. Nyatanya negara masih memantau saya. Pada tanggal 16 bulan ini ada orang datang ke asrama, mencari saya dan bertanya ini itu. Ini bagaimana? Saya trauma. Saya mau melanjutkan kuliah.” Pdt. Suarbudaya menjelaskan. “Pengalaman diikuti dan ditanya-tanya orang seperti yang dialami Ariana juga dialami oleh teman-teman mahasiswi putri Papua di Jakarta yang didatangi aparat TNI berseragam dan polisi tidak berseragam. Itu sebabnya Ariana berbeda tempat dengan saya, karena merasa tidak aman. Mereka terus diikuti oleh orang-orang dengan dalih ingin melakukan wawancara. Teman-teman Papua sudah hafal dengan modus ini, yang katanya wartawan tapi nanti berujung interogasi dan penangkapan. Jadi apa yang bisa dilakukan LPSK?

Seorang peserta juga ada yang menambahkan pertanyaan pada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) tentang mengapa tidak proaktif dalam kasus kedua tahanan perempuan Papua, jawabannya adalah Undang-Undang mensyaratkan bahwa LPSK harus menunggu laporan sehingga pelapor harus menandatangani formulir permohonan. Namun, Maneger Nasution selaku Wakil Ketua LPSK berjanji akan berkomunikasi lebih lanjut dengan Pdt. Suarbudaya selaku tim pendamping untuk menindaklanjuti pemberitahuan ini menjadi laporan agar kemudian bisa memberikan pengamanan, menyediakan shelter, pemenuhan hak procedural, juga hak medis, bagi mereka.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Terhadap pertanyaan peserta tentang mengapa masih terjadi kekerasan, Mariana dari Komnas Perempuan  menjawab “Sejarah penindasan di Papua sudah berlangsung sejak zaman Belanda dan kemerdekaan Indonesia dianggap tidak melibatkan Papua sehingga kekerasan terhadap Papua terus berlanjut sekalipun ada sedikit perubahan sejak 1998. Persoalan sejarah, sosial, politik, dan structural ini rumit untuk Papua karena kebencian yang tertanam sejak masa lalu. Di luar konteks politik juga banyak orang mengalami penyiksaan karena budaya kita masih budaya kekerasan sehingga intimidasi dan tindakan represif masih terjadi dan dianggap biasa. Ini PR bersama bagaimana negara dan masyarakat bisa menjadi anti kekerasan.”

LPSK menjawab “Kejahatan struktural dilakukan oleh negara di rumah negara. Penyiksaan itu masalah structural dan masyarakat mengalami distrust untuk melapor sebab menganggap: bagaimana bisa melaporkan lembaga negara pada lembaga negara juga, apakah betul pengaduan ini akan diproses. Untuk kasus Papua sendiri, kita tidak bisa melihat hanya dari satu kacamata Jakarta yang sudah penuh stigma pada Papua padahal akar masalah ada pada persoalan keadilan dan perlunya pemulihan harkat kemanusiaan.” Indria Fernida dari Asia Justice and Rights selaku moderator menambahkan “Riset panjang LIPI telah menjelaskan 4 akar utama persoalan utama, anatara lain sejarah, kekerasan, pelanggaran HAM, termasuk juga kebijakan pembangunan saat ini, sehingga memang sangat rumit.

Atas pertanyaan moderator tentang rekomendasi paling mendesak yang praktikal bagi Tapol Perempuan Papua tanpa harus menunggu ratifikasi OPCAT, Pdt Suarbudaya menjawab “Keberhasilan pendampingan tapol kemarin adalah jejaring lintas sektoral, ada pengacara, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan keluarga. Biasanya dalam kasus seperti ini yang maju adalah LSM, tetapi kemarin ketika kerabat dilibatkan dalam kunjungan penjara, negosiasi Di Mako Brimob dan Polda justru berhasil oleh mama-mama dan adik-adik perempuan. Partisipasi yang lebih luas menghasilkan perjuangan yang lebih membumi. Ini bukan hanya persoalan politik, tetapi yang terutama adalah persoalan manusia yang memiliki hak asasi. Yang kedua adalah komunikasi multi sektoral, pada 2 bulan pertama kami tidak punya akses ke mana pun, tetapi kemudian jadi banyak lembaga terlibat dan membantu lewat komunikasi efektif.”

Rekomendasi dari Komnas Perempuan: “Tujuan NPM adalah ratifikasi OPCAT. Dengan ratifikasi ini masalah-masalah penangkapan dll bisa dicegah agar tidak terjadi penyiksaan.” Rekomendasi dari LPSK: “NPM mengutamakan pencegahan agar tidak terjadi penyiksaan, di sisi lain masyarakat masih takut dan distrust, jadi seperti kata pak pendeta, kita perlu jejaring. Jejaring dalam memperluas upaya-upaya untuk mendorong negara mengambil inisiatif.”

Kesimpulan Moderator

  1. Penyiksaan dan perendahan martabat manusia adalah masalah besar dalam hukum internasional tetapi di Indonesia belum menjadi tindak pidana sehingga aparat penegak hukum mudah melakukan penyiksaan karena tidak ada aturannya. Penyiksaan dan penganiayaan masih dianggap sama saja dan tidak dianggap pelanggaran HAM.
  2. Ratifikasi OPCAT bersifat mendesak. Meski kita sudah sering mendengarnya, tapi sekarang ini bisa menjadi pintu masuk. Juga agar Tim Kerja Sama ini tidak luput dalam mengkriminalisasi pelaku-pelaku penyiksaan.
  3. Penahanan Tapol Perempuan Papua memang harus disorot lebih karena perempuan Papua mengalami diskriminasi dan rasisme dalam tahanan.

Semoga pembahasan ini memberi masukan bagi Tim Kerja Sama untuk segera meratifikasi OPCAT. (*)

Artikel sebelumnyaOrang Mee dan Kekaguman pada Materi
Artikel berikutnyaMRP: Jabatan Sekda Papua Harus OAP