Orang Mee dan Kekaguman pada Materi

0
2462

Oleh: Topilus B. Tebai)*
Penulis adalah sarjana ekonomi, penulis buku Kumpulan Cerpen “Aku Peluru Ketujuh” (April 2017) dan “Nemangkawi” (Januari 2020).

Kekaguman pada materi adalah hal yang saya peroleh ketika belajar tentang kargoisme (Cargo Cult). Saya memahami istilah Cargo Cult ketika membaca buku Bapak Benny Giay, Kargoisme di Irian Jaya (Region Press, 1986). Di wilayah orang Mee, cargo cult lebih populer dengan istilah “pabrik”, dari kata berbahasa belanda, “fabriek”.

Pabrik berarti suatu tempat, objek atau kekuatan supra empiris yang dapat memproduksi barang-barang tanpa menuntut usaha dan keterlibatan manusia maupun teknologi. Konsep pabrik ini dalam budaya Mee erat hubungannya dengan fenomena-fenomena yang ada di luar jangkauan berpikir manusia. Bila manusia harus terlibat, yang menjadi motor penggerak tetaplah kekuatan supranatural (Giay, 1986:46). Sementara itu, cargo cult sebenarnya adalah gerakan-gerakan yang menekankan dan menggunakan ritus-ritus dan doktrin-doktrin religi dan magis untuk mencapai tujuan-tujuannya atau untuk memenuhi harapan-harapannya. Secara umum cargo cult berarti semua gerakan yang mendambakan kedatangan kekayaan baik materi maupun rohani dengan cara apapun walau caranya tidak memenuhi kriteria pandangan barat (logika), begitu penjelasan John Strelan. Gerakan cargo cult, terutama di Papua, pada prinsipnya berhubungan dengan harapan, impian masyarakat, untuk mendapat pengakuan, status, kekayaan materi, kedamaian, dan kehidupan yang lebih baik (Giay, 1986:3).

Di Paniai, cargo cult model ini pernah ada, dengan tokoh Paul, seorang guru SD, sekitar tahun 1964. Lalu di beberapa kampung sekitarnya, termasuk di Kebo, Obano, berkembang pula ajaran serupa yang menuntut masyarakat pengikut yang menginginkan materi, berkumpul, melakukan ritual pengorbanan ternak babi dan sumberdaya lain. Di kampung-kampung di sektiar Danau Tigi, sekarang Kabupaten Deiyai, juga pernah berkembang hal serupa. Di Dogiyai, kampung-kampung di sekitar Lembah Kamuu, juga pernah berkembang ajaran serupa, sampai di Pegunungan Mapia, di kampung-kampung seperti Timepa, Diyoudimi, Apei, Abaimaida, dan beberapa kampung lain.

Inti dari gerakan-gerakan ini pada umumnya sama. (1) Ada pemimpin yang menggerakkan, walau posisinya hanya sebagai penghubung antara masyarakat pengikut dan kekuatan supranatural yang menjanjikan materi. (2) Adanya janji akan diberikannya materi (uang, harta benda, termasuk senjata dan makanan). (3) Kekuatan supranatural itu, dianggap atau disamakan dengan pabrik yang mampu memproduksi apa saja yang dibutuhkan. (4) Untuk mendapatkan materi, mesti ada pengorbanan atau kurban berupa pesta, dan syarat-syarat lainnya. (5) Gerakan ini juga sering berhubungan dengan isu kemerdekaan Papua, misalnya, untuk memproduksi senjata, alat untuk mengubah peluru jadi air (padaa uwouto awii), alat untuk menghilang (teedou tekadou), dan seterusnya.

ads

Giay menjelaskan dalam bukunya bahwa gerakan model ini tidak hanya pernah ada di kampung-kampung orang Mee. Di banyak tempat di dunia, dengan ciri khasnya sendiri-sendiri, telah muncul jutaan gerakan serupa. Di Indonesia, yang paling terkenal adalah gerakan Ratu Adil, yang berawal dari wahyu kepada seorang pemimpin kharismatik, Wirasanjaya, sekitar tahun 1935. Di Afrika, ada lebih dari 10.000 gerakan yang serupa di Afrika, 100-an gerakan di Amerika Selatan, 500-an gerakan di Philipina, 200-an di Korea, di India, Birma, Asia Tenggara pada umumnya. Bahkan bila ditelisik, gerakan macam ini pernah ada di Babel, Mesir, Yunani, Roma, Rusia, Eropa pada umumnya. Namun, bagaimana bisa sampai gerakan model ini dapat muncul di kampung-kampung orang Mee?

Dengan menganalisa sejarah orang Mee berkontak dengan kebudayaan asing, saya merasa dipermudah untuk memahami jawabannya. Awalnya, kehidupan orang Mee menggunakan beralatan yang terbuat dari batu dan kayu untuk berkebun. Begitu pula untuk mencari ikan dan udang di kali dan danau. Orang Mee juga berburu dengan peralatan dari batu dan kayu. Kontak dengan misionaris membuat orang Mee mengenal peralatan dari besi dan baja, sebut saja diantaranya, pesawat, kapak, sekop, parang, jam tangan, piring, mangkok, makanan kaleng, beras, roti, pakaian, tas, paku, gergaji, semua hal yang tidak mampu diproduksi dengan menggunakan pengetahuan budaya orang Mee. Orang Mee kagum pada semua materi (cargo). Orang Mee yang mulai memahami kepraktisan, keefisien-evektifnya barang-barang baru itu, ingin memiliki, namun belum mampu memproduksinya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Orang Mee mungkin menduga, tentu ada semacam pabrik, yang menghasilkan semua barang itu. Bila demikian, maka misionaris, pada masa itu, adalah satu-satunya penghubung orang Mee dengan pabrik tersebut. Karena itu, mengabdi kepada misionaris yang menyebarkan agama dan membangun pendidikan, di sisi ekonomi, juga adalah sarana untuk lebih dekat dengan pabrik itu, untuk memperoleh materi. Dalam riset kecil-kecilan saya, hampir semua guru-guru informan angkatan kelahiran tahun 1950-1980an bercita-cita menjadi ogai. Ogai adalah sebutan untuk misionaris juga, sebutan untuk guru-guru perintis dari luar Papua yang dibawa para misionaris, dan sebutan ini menjadi perwakilan kehidupan baru: tidak lagi kerja kebun, berpakaian rapi, mendapatkan beras dan uang, hidupnya dalam kelimpahan materi; semua yang menjadi impian orang Mee di tahun-tahun itu. Bahkan penerimaan terhadap misionaris, khususnya dalam penyebaran agama, bisa jadi karena orang Mee berpikir, agama juga menjadi saluran akses atas materi.

Bisa jadi ketika itu tumbuh pandangan yang menganggap kebudayaannya lebih rendah karena tidak mampu menghasilkan atau memproduksi terutama barang-barang dari besi dan baja. Hal ini, ketika berhadapan dengan Negara Indonesia, menjadi semakin kuat. Yang mengakibatkannya adalah pandangan dasar pembangunan negara di Papua, rasialisme: semua aspek hidup orang Papua dihancurkan dengan berbagai label dan, orang Papua harus menjadi seperti Indonesia agar dapat diakui, dihargai, dihormati. Dalam posisi ini, Indonesia dan pembangunannya dianggap sebagai kebaikan yang wajib dan dibutuhkan: mengangkat orang Papua dari keprimitifannya, lalu memberadabkan mereka melalui pembangunan.

Orang Mee yang hidup dalam pembangunan berpondasi rasis seperti ini, ditambah sentralisme pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan kebijakan pembangunan selama bertahun-tahun, lalu masuk dalam masa Otonomi Khusus yang penuh kucuran uang. Pembangunan, pendidikan, dan agama kristen yang berkembang itu berlahan menghilangkan posisi supranatural, dan negara, berlahan-lahan menempati posisinya dalam arti ekonomis. Orang Mee belajar bahwa, di kehidupan saat ini, uang sangat penting kedudukannya, dan semua materi yang tidak dapat diproduksi menggunakan pengetahuan kebudayaannya itu hanya dapat dibeli dengan uang. Orang Mee juga mengerti bahwa, negara adalah tempat uang dan materi bersumber. Orang Mee kemudian paham bahwa jabatan, kedudukan, adalah sarana untuk mendapatkan uang bagi mengonsumsi materi dan menjadi simbol ogai. Hanya dengan menjadi sekretaris dan kepala desa, menjadi PNS/ASN, menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, menjadi bupati dan wakil bupati, menjadi gubernur dan wakil gubernur, uang dapat dengan mudah diperoleh untuk memenuhi kebutuhan materi dirinya, keluarga dan kaum kerabat dan pengikutnya. Pandangan ini berbaur dengan sistem kepemimpinan tonawi yang terus berevolusi.

Bila pada zaman dahulu, tonawi adalah orang-orang yang mampu dalam keahlian tertentu, misal, perang, berbicara, berkebun dan beternak. Di kehidupan kekinian, seorang tonawi, setelah melewati syarat pendidikan dan ketrampilan politik-ekonomi tertentu, lalu menjelma menjadi orang yang menduduki jabatan tertentu, kedudukan tertentu, yang memungkinkan dirinya mendapatkan uang dalam jumlah banyak, sehingga sangat mudah untuk memperoleh materi. Dengan gaya tonawi zaman dulu, kelimpahan uang dan materi tersebut didistribusikan kepada keluarga, kerabat, dan pengikutnya. Hubungan timbal balik pun terbentuk. Tonawi kekinian butuh rakyat pendukung untuk terus berada di kedudukan, jabatan dan posisi tertentu, sehingga mampu bicara dan bertindak mengakses kuasa, materi dan uang dari negara. Sementara itu, rakyat pengikut menganggap elit-elit ini sebagai seorang perantara antara mereka dengan negara sebagai sumber materi dan uang. Pemimpinnya menganggap dan bertindak ala tonawi. Orang Mee justru menganggap para elit ini seperti pemimpin cargo cult yang bar, perantara menuju akses atas uang dan materi. Upacara pengorbanan terjadi di pesta Pemilu untuk memastikan elit mereka berkuasa untuk dapat berhubungan dengan pusat materi, negara.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Untuk menjadi tonawi zaman kini sebagaimana yang saya gambarkan di atas, di kalangan orang Mee, syaratnya cukup terbuka. Minimal berpendidikan untuk dapat bergaul dengan negara dan orang-orangnya. Lalu punya keahlian berpolitik dan menduduki jabatan dan kedudukan tertentu, yang memudahkannya mengakses uang dan materi dari negara. Dalam hal ini, pemekaran DOB adalah sarana paling efektif dalam rangka pendapatkan kedudukan, jabatan dan demi mengakses uang dan materi dari negara.

Di kalangan masyarakat Mee kekinian, logika hidup mengalami pergeseran. Dulu, orang harus bekerja kebun untuk makan dan terus hidup. Orang Mee mulai menganggap negara sebagai pihak yang harus dituntut bertanggungjawab atas kondisi hidupnya. Negara diposisikan sebagai pihak yang memberi uang, makanan, untuk hidup. Negara, yang hadir melalui pemerintah daerah, dipandang sebagai pihak yang menopang hidup. Pemimpin pemerintahan di daerah yang tidak membagi-bagi materi dan uang tidak akan dianggap sebagai pemimpin layak. Orang Mee menganggap seseorang adalah pemimpin hanya bila ia menggelontorkan uang, materi, membagi-bagi jabatan, terutama bagi kelompok pendukung dan kerabatnya. Oleh karena itu, bantuan tunai, beras raskin, dana desa, dan semua jenis bantuan dari pemerintah dianggap sesuatu yang wajar dan wajib, dan karena itu tidak terlalu penting pertanggungjawaban, data, administrasi pelaporan, dan seterusnya. Bila ada kesusahan, pemerintah daerah dinilai sebagai pihak yang bertangungjawab.

Hampir semua anak muda Mee yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana, berlomba merebut akses menjadi elit. Mereka saling berebut pengaruh di kalangan rakyat, tetapi karena rakyat hanya setia kepada siapa yang mampu menjamin bagi mereka materi, peluang anak muda Mee untuk naik menjadi elit baru, lebih sulit. Orang Mee akan menjadi bagian dari siapa yang lebih mampu memberinya materi.

Ada aspek lain yang penting, yakni soal tonawi sebagai pelindung dan penanggungjawab keselamatan, kelangsungan hidup. Dalam konteks penjajahan dari negara atas tanah air dan manusia Papua saat ini, para elit juga bermain peran. Negara, semua kebijakannya, termasuk transigran dan orang luar Papua, didefinisikan sebagai pihak penjajah, yang berbeda dengan orang Mee di posisi terjajah yang sedang berjuang untuk medeka. Antara orang Mee dan para penjajah itu, orang Mee membuat garis batas. Dalam konteks ini, di satu sisi, para elit menjadi perpanjangan tangan penjajah (negara) di daerah. Di sisi lainnya, mereka berusaha berpihak kepada orang Mee, untuk terus memastikan dukungan rakyat bagi dirinya. Posisi abu-abu itu dengan sengaja dipertahankan sehingga elit mampu mengakses kuasa, jabatan, materi dan uang.

Hal ini persis seperti yang digambarkan I Ngurah Suryawan dalam ringkasan disertasi doktoralnya, Siasat Elit Mencuri Kuasa Negara. Ketika para elit ini bermain kuasa menuntut dan menghamba ke atas (negara) dan mengobral janji materi kebawah (ke orang Mee), negara hanya punya satu pilihan: memanfaatkan kembali para elit ini untuk mengendalikan rakyat akar rumput yang terus berjuang untuk merdeka. Negera membiarkan para elit ini korup, bermain kotor, antara lain karena para elit juga memanfaatkan isu Papua merdeka sebagai senjata ampuh. Dalam persoalan politik Papua di lain sisi, tekanan internasional akan ketertinggalan Papua di berbagai lini kehidupan membuat negara menggelontorkan wewenang lebih (Otsus), dana yang lebih, yang  mengukuhkan kekuatan dan peran elit-elit ini (Suryawan, 2015:33).

Sekarang di tatanan orang Mee akar rumput. Ada pergeseran orang Mee, dari rakyat pekerja yang mandiri menjadi rakyat pasif yang malas dan menuntut pihak lain (negara) untuk menghidupinya. Dan dalam ranah ini, para elit bersiasat mewakili dan mengatasnamakan rakyat lalu menghamba pada negara demi uang, materi dan kuasa kedudukan-jabatan, lalu balik mengobral janji akan materi pada pengikut-pendukungnya. Setelah akses atas jabatan dan kuasa didapat, berlagak tonawi, para elit mengelola akses kuasa, kedudukan, wewenang dan materi yang diberikan negara, terutama bagi kesejahteraan kelompoknya, pengikut-pendukungnya, sebagaimana digambarkan di atas.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Begitulah ceritanya bila ditilik dari kesejarahan, bahwa sikap mental kekaguman terhadap materi di awal itu lalu berkembang menjadi kehendak untuk berpendidikan agar mampu mengakses jabatan, kedudukan, memperoleh kuasa, dan akses atas materi. Kehendak untuk mengikuti, mendukung, bahkan berkorban bagi elit tertentu, agar elit tersebut memeroleh kuasa, jabatan, kedudukan, akses atas materi dan uang dari negara. Sehingga orang Mee sebagai pengikut elit tersebut dapat terperciki sedikit dari materi dan uang itu. Sikap mental ini menggiring rakyat meninggalkan kebun, ternak dan hutan-danau mereka sebagai sumber hidup yang dinilai lamban, butuh kerja berat, membutuhkan waktu lama, kepada cara-cara baru yang lebih cepat dan efisien: menulis proposal, meminta-minta proyek-pekerjaan, menghamba pada elit, dan bagi yang memenuhi syarat, menjadi elit yang bermain siasat. Yang parah, evolusi mental ini menghantar orang Mee yang mandiri dan mengandalkan kerja sendiri untuk hidup menjadi manusia malas yang hidupnya bergantung pada negara dan permainan para elit.

Setelah 20 tahun Otsus berjalan, kehidupan ekonomi orang Mee belum berubah. Para elit lokal lulusan masih mengajak orang Mee untuk menjadi seperti Jakarta, sehingga menciptakan ketergantungan, bukan kemandirian (sementara rakyat Indonesia meniru gaya hidup orang Amerika) melalui kebijakan-kebijakannya. Selama 20 tahun itu, tak ada mesin pengalengan dan pengawetan ikan di pinggir danau Tigi dan Paniai, yang dikelola orang Mee sendiri sampai kepada pemasarannya. Tak ada mesin pembuat tepung dari ubi, keladi dan singkong di lembah subur Moanemani yang dikelola orang Mee sendiri. Buah merah membusuk di kebun-kebun orang Mee tanpa mampu menjadi minyak buah merah dalam kemasan yang siap dijual; Buah-buahan masih terus diabaikan tanpa dikelola menjadi jus dalam botol dan menjadi komoditi. Kulit-kulit kayu tidak pernah diindustrialisasi. Begitu seterusnya proses industrialisasi tidak berjalan, alih teknologi dan ketrampilan macet, sehingga semua bahan mentah lain yang dengan mesin-mesin sederhana seharusnya dapat ditingkatkan nilai pakainya itu, belum cukup membantu kemandirian ekonomi dan evolusi sikap mental.

Begitulah nasib orang Mee (Bagaimana dengan suku-suku bangsa lainnya di Papua?), menganggap dirinya orang dengan otak (dimi), berpikir (gai) dan berporses menjadi manusia sejati (maakodo mee), langkah peradabannya terhenti untuk terus terkagum-kagum dalam waktu lama. Konsep bertindak/bekerja (ekowai) dalam filosofi melihat berpikir bertindak (Dou gai ekowai) sudah lama berhenti? Atau menjadi manusia konsumtif justru lebih aksyik dan orang Mee tak ingin keluar dari zona ini? Dan apakah gerakan-gerakan yang berkembang belakangan ini di kalangan orang Mee untuk ingin kembali seperti di masa lalu, berkebun dan beternak, bahkan mengonsumsi makanan tertentu saja yang dianggap asli (tota nuta-nomo), adalah upaya mundur karena tak punya cukup keberanian untuk melangkah maju menjadi produsen materi, minimal menaklukkan mesin-mesin untuk menambah nilai guna dari produksi kebun-kebunnya?

Sejak orang Mee terpesona, menanggalkan kemandirian hidupnya dan kemudian mulai menggantungkan hidup pada sumber materi (negara), orang Mee masih belum banyak berubah: terus mengawal zaman menjadi petugas konsumsi materi yang didatangkan dari luar, diakses menggunakan uang yang diberikan negara dengan sangat sedikit pengorbanan saja. Dan para elit orang Mee, walau dengan segudang ilmu pengetahuan dan deretan gelar, belum mengoreksi dan terus melanjutkan pembangunan yang kolonialistik ini. (*)

Artikel sebelumnyaDPRD Yahukimo Minta Pemkab Fasilitasi Pesawat Bagi Siswa Yang Hendak Kuliah di Jayapura
Artikel berikutnyaAriana Lokbere: “Kami Mau Bebas! Sampai Sekarang Kami Masih Trauma.”