Di tengah Badai kekuatan Pasukan Indonesia yang terus menekan TPN-OPM, ada yang menyerahkan diri, ada yang terbunuh, ada pula melarikan diri, namun ada juga yang tetap berupaya melakukan penyerangan terhadap pos-pos ABRI. Dalam situasi itu juga, terus menunjukkan eksisitensi dengan meproklamirkan Kemerdekaan Negar Papua Barat.
Oktober 1940. Batalyon Papua, satuan militer pribumi Papua yang lebih dulu dibentuk oleh Amerika Serikat dalam upaya memperkuat komando tentara sekutu untuk menghadapi Jepang dalam Perang Pasifik.
Tirto.id menulis, Jenderal A.H. Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Volume 1 (1963: 90) menulis bahwa Batalyon Papua beranggotakan para gerilyawan dari suku-suku Papua untuk melawan Angkatan Laut Jepang di pesisir Papua. Nasution juga menyebut, Batalyon Papua “berjasa besar” dalam mengusir Jepang dari Papua.
Pasca Perang Dunia II, Amerika mendesak Belanda lebih memberikan perhatian atas West New Guinea serta mengantisipasi situasi yang berkembang di Indonesia (1945 -1949).
Pada saat penyerahan kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda kepada Indonesia tahun 1949, West New Guinea dipertahankan oleh 2 peleton KNIL, 1 peleton Nieuw Guinea Army dan 2 peleton sukarelawan Papua di bawah komando Mayor John Eechoud. Prajurit-prajurit Papua yang kembali dari front Pasifik digabungkan menjadi 2 peleton, membentuk kompi berkekuatan 142 orang. Mereka terlatih untuk melakukan operasi gerilya (hit and run), sementara pasukan KNIL terbiasa bertempur konvensional.
Sebelum PD 2, batalyon Papua beranggotakan lebih dari 1000 orang, namun pada tahun 1949 hanya tersisa sekitar 100-150 orang saja. Pasukan ini resmi dibubarkan pada akhir 1955. Selanjutnya, dalam rangka penegakan hukum, dibentuk Algemene Politie, bersenjatakan 150 senapan carabine peninggalan KNIL.
Sejak tahun 1960, korps kepolisian tersebut mendapat tambahan persenjataan seperti senapan Mauser dan senapan mesin Uzi. Pada Maret 1959, Gubernur koloni NNG, Peter Palattel, merekomendasikan pembentukan PVK, namun baru mendapat persetujuan dari Ratu Juliana dengan terbitnya Dekrit Kerajaan pada Februari 1961.
21 Februari 1961. Secara resmi, Batalyon Papua, Kesatuan Muliter Papua dibentuk oleh John van Eechoud, Komandan Polisi Holandia. Satu tindakan diluar tindakan ekonomi, politik, dan pembangunan Papua.
Rekrutmen dimulai pada September 1961 dan mendapat respons luar biasa besar dari pribumi Papua, dimana jumlah pendaftar melebihi lowongan prajurit yg tersedia. Ribuan orang antri mendaftar di depan kantor polisi di Hollandia (sekarang Jayapura), sementara hanya 30 orang saja yg akan direkrut dari Hollandia.
Anggota PVK berasal dari berbagai suku di Papua, namun karena ibukota koloni NNG terletak di Manokwari, mayoritas anggotanya berasal dari Suku Arfak (penduduk lokal Manokwari) dan Suku Biak.
Pimpinannya adalah seorang perwira marinir Belanda, Kolonel W.A. van Heuven. Logo PVK Emblemnya berupa burung kasuari, dan mottonya Persevero (Saya Bertahan). PVK dipersenjatai senapan infantri ringan dan berseragam khaki dengan topi rimba berhiaskan emblem PVK dan bulu burung kasuari.
Total 200 orang direkrut dan mulai berlatih militer pada 1 Nopember 1961 di berbagai kota. Kebanyakan dipersiapkan sebagai perintis angkatan bersenjata di bakal negara Papua yang akan segera dideklarasikan pada 1 Desember 1961.
Namun kelanjutannya dihentikan sejak tercapainya perjanjian New York 5 Agustus 1962, yang menyetujui gencatan senjata dan pengalihan pemerintahan atas koloni NNG kepada PBB.
PBB membentuk UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang bertugas mengelola pemerintahan sementara di bekas koloni ini. PVK diserahkan komandonya kepada UNTEA pada Oktober 1962 dan kemudian dibubarkan setelah koloni NNG resmi diambil alih oleh Indonesia pada 1 Mei 1963.
Sebagian Bekas anggota PVK ini kemudian direkrut oleh militer Indonesia. Amiruddin al Rahab dalam Operasi-Operasi Militer di Papua menulis bahwa, Ketika pembaharuan dari yonif Oleh Militer Indonesia, Yonif 641/Tjendrawasih I yang berasal dari Diponegoro dan Yonif 642/Tjendrawasih II yang berasal dari Siliwangi. Ke dalam kedua batalion ini telah bergabung unsur dari Papua, yaitu para gerilyawan Kasuari/Trikora dan anggota eks-PVK (Papuan Vrywillingers Korp) setelah mereka dididik di Siliwangi dan di Diponegoro .
Perlawanan Bersenjata dan Lahirnya OPM
Dalam perkembangan selanjutnya, OPM memiliki banyak faksi. Investigasi L.R Baskoro, Impian Lama dari markas Victoria, Forum keadilan Majalah hukum dan demokrasi 1986 nenulis, OPM awalnya lahir terdiri dari dua faksi.
Pertama, pada tahun 1963 OPM muncul sebagai gerakan bawah tanah di Jayapura, dipimpin oleh Aser Demotekay. Faksi ini memiliki jalur koorperatif dengan pemerintah Indonesia untuk mencapai Papua Barat merdeka.
Aser Percaya, Pemerintah Indonesia menyerahkan Tanah Irian kepada mereka secara baik-baik. Namun, belakangan setelah hasil PEPERA 1969, jau dari impian mereka. Garis perjuangan faksi ini berubah, memilih jalur konfontatif.
Tahun 1964, Faksi OPM lainnya lahir di Manokwari, dipimpin oleh Terianus Aronggear. Berbeda dengan Aser, Terianus langsung mencanangkan strategi politik dan kekuatan fisik.
Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Kebar, Manokwari 26 Juli 1965. Perlawanan di Kebar ini dipimpin oleh Johannes Djambuani dengan kekuatan 400 orang yang berasal daris uku Karun dan Ayamaru.
Seiring dengan itu, suku Arfak di Arfai, Manokwari melancarkan pula perlawanan yang dipimpin oleh Mayor Tituler Lodewijk Mandatjan yang diikuti oleh Kapten Tituler Barent Mandatjan dan Lettu Tituler Irogi Maedogda dengan mengajak penduduk lari kehutan.
28 Januari 1965, sekelompok orang suku Arfak yang dimotori dan dipimpin oleh mantan anggota PVK melakukan penyerangan terhadap markas pasukan TNI dari Batalyon 751/Brawijaya di Manokwari hingga tiga orang anggota TNI terbunuh.
Akhir dari semua penyerangan itu, pada Februari 1965, di Sanggeng, Manokwari diadakan pertemuan. Dihadiri oleh kepala suku Arfak, Lodwik Mandacan, Barent Mandacan, Kepala Kepolisian Papua Mr. John Jambuani, mantan Komandan PVK Mr. Permenas Ferry Awom dan beberapa anggota PVK-Polisi Papua dan Angkatan Laut Papoea-Benyamin Anari, Terianus Aronggear, Mr. Marani, Fred Ajoi, Jimmy Wambrau. Dari pertemuan inilah melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau lebih dikenal dengan singkatan OPM.
Pada tahun 1969, OPM banyak melakukan serangan di daerah Perbatasan Indonesia-PNG, karena mudah mencari tempat perlindungan di wilayah PNG dan mendapat dukungan dari para pengungsi Papua.
Perlawanan TPN-OPM juga tidak mampu di padamkan oleh militer Indonesia. Operasi militer yang masif di tahun 1971 ini membuat sentimen anti Indonesia tidak surut, malah perlawanan berkembang ke berbagai kota dalam bentuk penyerangan terhadap pos-pos ABRI dan pemerintahan.
Selain melakukan aksi-aksi bersenjata seperti penyerangan, penculikan, sabotase dan sebagainya terhadap militer Indonesia, OPM melakukan aksi politik dengan memproklamirkan Negara Papua Merdeka.
Proklamasi 1 Juli 1971
1 Juli 1970, Di suatu tempat, Waris, sebelah timur Papua Barat, Markas Besar Organisasi Papua Merdeka – Tentara Pembebasan Nasional Liar (OPM-TPNL) didirikan sebuah markas didirikan. Tempat itu, bukan sebuah kota yang megah. Hanya sebuah tempat ditengah hutan, dekat perbatasan dengan PNG. Namanya, Markas Victoria.
Victoria, 1 Juli 1971. Terjadi satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan. Negara Papua Barat merdeka, diproklamirkan. Brigadir Jenderal Zeth Jafet Rumkorem, sebagai Presiden Papua Barat, membacakan teks proklamasi itu.
Didampingi oleh Jakob Prai, Ketua Senat, Dorinus Maury, Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL) dan Louis Wajoi, Komandan (Panglima) TEPENAL.
Perluasan Wilayah Devacto dimulai. Pada 28 oktober 1979 di Victoria, membentuk struktur dan pembagian wilayah yang disebut Makodam Pemka dibagi menjadi 7 wilayah.Kodam Pemka I Mamta, Kodam Pemka II Wamena, Kodam Pemka II Agimuga Fakfak, Kodam Pemka IV Wessel Meren (Paniai), Kodam Pemka V Merauke, Kodam Pemka VI, Teluk Cenderawasi (Biak-Serui), dan Kodam Pemka VII Kepala Burung (Manokwari-Sorong).
Tidak lanjut dari itu, pada tahun 1984, terjadi gejolak perlawanan, dan mengakibatkan operesi milter di Jayapura, Sarmi dan Wilaya Perbatasan. Dan gejolak pada tahun 1970—an di wilayah pegunungan. (*)
Tim Riset Suara Papua