Papua Perlu Menjadi Delapan Wilayah Adat

0
2496

Oleh: Ap Octoviaen Gerald B Kahipdana)*
Penulis adalah peneliti sosial budaya dan masalah pendidikan Papua. Asal suku Papua OK dan Pekerja Dewan Adat Papua.

“ Ada 25 suku akan membentuk Wilayah Adat PAPUA OKMEKMIN sebagai wilayah adat ke- 8 mencakup Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digul dan Kabupaten Yahukimo dan sebagian suku Kabupaten Keerom sebagai pusat pertemuan pulau Papua dari Sorong-Samarai PNG” 

Pengantar

Sebagai bagian pengantar tulisan ini diawali dengan sebuah pertanyaan: mengapa perlu wilayah adat sendiri bagi suku-suku di perbatasan negara yang adalah sentral pulau Papua? Begitu banyak alasan mendasar yang hendaknya menjadi konsumsi publik di tingkat rakyat pemilik jagat raya Papua, Dewan Adat Papua, para kreator pembangunan dan eksekutor uang negara di Papua, para politisi ambisius di Papua, para akademisi di Papua, para pembela hak asasi manusia di Papua, para komparador pengeruk hasil kekayaan tanah Papua, para pebisnis yang dengan seksama memperdayakan manusia Papua sehingga tidak ada napas. Tidak ada warna lagi pada Orang Asli Papua dan lain-lain di Papua-Indonesia-dunia Internasional yang sedang berlomba-lomba ke dan di daerah ini hanya karena ada sumber daya alam bawah tanah (bahan mineral) yang tertidur lama. Daerah yang terlupakan, disudutkan selama ini perlu dilihat sebagai garda depan Papua di masa mendatang.

Maka harus dan wajib dimanage secara baik oleh pemilik tanah ini, pulau ini dalam rangka mengantisipasi ancaman perusakan alam dan manusia Papua yang semakin agresif berburu Papua. Karena itu bagi putra daerah yang baru mengenyam pendidikan walau tidak banyak sudah harus mulai bicara agak keras demi menjaga entitas eksistensi manusia dan kekayaan alam yang Tuhan titipkan melalui leluhur. Pada kesempatan lain kita bisa mendapatkan legitimasi para pihak untuk memasuki pada berbagai dinamika sosial politik yang semakin meroket sekarang. Hal ini menjadi tantangan khusus yang menggangu paradigma berpikir generasi muda sekarang dan masa mendatang.

ads

Paradigma pembangunan yang sentralis menjadi terdesentralisasi telah membuka berbagai ruang dan kesempatan setiap individu sehingga dapat berpartisipasi di dalam pembangunan. Dalam konteks desentralisasi ini, setiap orang baik secara individu maupun secara kelompok berpartisipasi aktif di dalam pembangunan dengan menghindari praktik-praktik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi, praktik ketidakadilan di dalam masyarakat.  Perlu disadari bahwa memberikan hak desentralisasi dipicuh oleh beberapa praktik negatif tersebut di dalam pemerintahan sehingga berdampak terhadap disparitas antar pembangunan fisik maupun non fisik antarwilayah. Namun sadar atau tidak sadar di dalam praktik implementasi desentralisasi, justru tidak menimalisir praktik negatif seperti korupsi, kolusi, nepotisme, justru tumbuh subur. Yang lebih dashyat lagi bahwa beberapa wilayah yang memiliki budaya kesukuan yang kuat dapat mengakui identitias kesukuan tersebut dan menjadi basis pergerakan sosial yang kuat.

Pengakuan terhadap kearifan lokal (identitias kesukuan) bukan berarti suatu langkah yang bertentangan dengan praktik birokrasi dan pembangunan modern. Justru pengakuan terhadap identitas budaya disetarakan dengan pengakuan terhadap eksistensi manusia yang berciri khas di dalam era modern ini. Pendekatan budaya merupakan langkah yang tepat untuk mengembangkan masyarakat yang masih memilih, dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang kuat, universal sebagai ideologi dan pandangan hidup. Karena di dalam ideologi, memiliki konsep sendiri tentang manusia itu sendiri,  relasi sesama manusia, relasi manusia dengan alam, manusia dengan sistem politik dan lain sebagainya.  Nilai-nilai yang tercipta melalui relasi itu menjadi core dari pada ideologinya.

Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah yang selain memperoleh status otonomi daerah dan juga dalam rentang yang sama pula mendapatkan status otonomi khusus Papua. Pemberian status otonomi khusus ini sebagai sebuah tawaran kepada masyarakat Papua guna meredam pergerakan politik di daerah.

Terlepas dari kepentingan politik, kebijakan otonomi khusus telah menciptakan ruang dan kesempatan yang luar biasa untuk mengeskplorasi diri, mengembangkan diri, dan mengembangkan potensi wilayahnya masing-masing untuk mencapai suatu harapan yakni meningkatkan tingkat kesejahteraan yang setara dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia.  Dengan kata lain meningkatkan derajat dan martabatnya setara dengan suku bangsa lain.

Salah satu fenomena sosial yang patut dihargai dan dikembangkan di dalam bingkai otonomi khusus, mendorong terciptanya pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat. Pengakuan wilayah adat ini sangat penting karena, di wilayah Papua terdapat kurang lebih 257-260 suku.

Setiap suku memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda-beda dan ditempatkan pada letak geogerafis yang berbeda. Sistem kesukuan ini menjadi patner utama proses pemerataan pembangunan. Guna mempermudah dan mempercepat pembangunan  dan pelayanan publik, Pemerintah provinsi  Papua berupaya  melibatkan tokoh-tokoh adat, dari dua ratusan suku tersebut dapat dibagi menjadi 7 wilayah adat antara lain yakni wilayah Mamta, wilayah Saireri, wilayah Domberai, wilayah Bomberasi, wiayah Meepago, wilayah Lapago, dan wilayah Anim Ha.

Setiap wilayah adat ini memiliki sub suku yang memiliki karakter  dan corak hidup yang berbeda antara satu suku dengan yang lainnya. Asal usual setiap suku juga sangat beragam. Perbedaan-perbedaan aspek mendasar ini jika tidak diangkat dan diakomodir secara bijaksana sebagai dasar pijakan pembagian dan penamaan wilayah adat akan menimbulkan konflik di masa yang akan datang. Misalnya kelompok suku yang besar (anggota sukunya banyak) bisa saja mendiskriminasi terhadap suku-suku yang anggotanya kecil di dalam berbagai aspek pembangunan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Wilayah adat Lapago merupakan salah wilayah adat di wilyah Pengunugan Tengah sisi timur. Dalam wilayah adat ini terdapat 10 kabupten yang pada umumnya pemekaran dari kabupaten Jayawijaya. Penyatuan beberapa suku di dalam suatu nama wilayah adat Lapago hanya mempertimbangkan aspek  kesamaan geogerafis-topologi dan pemekaran dari satu kabupten induk yakni Kabupaten Jayawijaya. Pengakuan nama wilayah ini tidak berlandaskan pada aspek-aspek budaya yang mendasar seperti asal-usul keberadaan suku, sistem pendewasaan manusia, sistem kekerabatan, proses pemberian nama suku, sistem pembagian kemakmuran (relasi yang intim antara manusia dan alam). Beberapa aspek mendasar ini sangat menyatu dan menjadi unsur sangat menyatuh dalam kehidupan (nadi-kehidupan). Oleh karena itu, sangat perlu mempertimbangkan kembali aspek-aspek yang menjadi pijakan pembentukan wilayah-wilayah adat.

Pemetaan kembali dan pengembalian wilayah adat pada aspek budaya sudah harus dilakukan sekarang. Jika tidak dilakukan akan menimbulkan dampak buruk, seperti potensi terciptanya konflik antar komunal di masa-masa yang akan datang. Salah satu contoh riil yang perlu dicermati bersama adalah bahwa DPRP jalur otonomi khusus dari Wilayah Adat Laapago yang dominan adalah suku-suku besar. Suku-suku yang besar ini merasa lebih kuat dan mendominasi sehingga perwakilan suku-suku kecil tidak terakomodir atau sudah terabaikan.  Sebagai akibatnya kepentingan dan kebutuhan suku-suku kecil ini tidak diakomodir dengan baik. Sadar atau tidak, dalam kondisi ini sudah terjadi diskriminasi antar sesama, telah terjadi ketidakadilan diantara kita sesama orang Papua sendiri. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan streotipe orang Papua terhadap penduduk non pribumi yang dianggapnya pelaku diskriminasi. Jika tidak diantisipasi dengan baik, dapat saja tercipta pelaku-pelaku diskriminatif di antara orang Papua sendiri hanya karena memenuhi kebutuhan kepentingan atau privasi sesaat.

Pegunungan Bintang misalnya. Berdasarkan aspek budaya, suku-suku ini memiliki karakter dan budaya yang berbeda dengan suku-suku lain di wilayah adat Lapago ini.  Berdasarkan asal-usul dan sistem budaya yang dimiliki suku-suku di Pegunungan Bintang memiliki sistem religi sendiri, sistem pendidikan sendiri, sistem pembagian kemakmuran sendiri, proses penyebaran manusia dan segala isinya berbasis pada sistem kekerabatan. Sistem budaya yang tertata rapi ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Proses penyebaran sistem budaya suku-suku yang ada di Pegunungan Bintang mulai menyebaran ke arah timur wilayah nengara tetangga PNG. Rumah adat terakhir ditempatkan di Telefomin. Ke wilayah Barat penyebaran sampai di wiluah mek/Ketengban.  Penyebaran sistem budaya mirip di beberapa wilayah ini selain berbasis sistem kekerabatan, juga berbasis pada sungai atau Bahasa suku Ngalum disebut ok.

Sehingga beberapa penjelajah asal Eropa yang meneliti suku-suku wilayah ini menyebut Ok Famil, Mek Family, Min Family. Suku-suku yang ada di 4 Kabupaten yang ada di perbatasan negara. Dengan mempertimbangkan aspek budaya yang mendasar ini, ke-4 kabupaten ini sudah seharusnya membentuk wilayah adat sendiri. Dasar pijakannya adalah sistem budaya, dan karakteritik suku yang dimiliki. Pengakuan masyarakat adat ini sebagai langkah starategi untuk meningkatkan kemandirian komunitas adat (suku) guna meningkatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan keunggulan lokal masing-masing.

Alasan Fundamental Usulan Wilayah Adat Papua Okmekmin Sebagai Wilayah Ke- 8 Dalam Struktur Dewan Adat Papua 

Bagian ini dianggap amat penting bagi rakyat pembaca, khususnya orang asli Papua, pengurus Dewan Adat Papua, peneliti dan akademisi orang asli Papua, anggota MRP dan MRPB serta para pekerja indigenous peoples in the world and as well as west Papuan. Sebab itu akan didahului dengan mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: mengapa perlu wilayah adat sendiri bagi suku-suku di perbatasan negara yang adalah sentral pulau Papua? Banyak alasan yang mendukung pertanyaan ini. Sudah tentu dilatarbelakangi oleh kajian antropologi budaya suku-suku setempat; sejarah pembangunan daerah selama 40an tahun bersama Kabupaten Jayawijaya terhadap suku-suku di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang sekarang dan juga terhadap suku-suku di wilayah Kabupaten Yahukimo sekarang serta Kabupaten Merauke terhadap suku-suku yang ada di wilayah  Kabupaten Boven Digoel sekarang dan Kabupaten Jayapura terhadap suku-suku wilayah Kabupaten Keerom sekarang dan demi masa depan anak cucu suku bangsa di wilayah perbatasan antarnegara.

Berdasarkan penggalian dan pemahaman mitologi suku bangsa setempat sejak kehidupan awal tentang penciptaan pulau ini dan manusia Papua bahwa mereka adalah satu keluarga besar yang berasal dari satu tempat yang sangat sakral (apyim apom/the Juliana top/the Elisabeth top/puncak Mandala/Pegunungan Bintang). Di tempat inilah mereka anggap menjadi pusat pergerakan suku bangsa di pulau Papua yang dikenal luas sekarang. Tempat sakral itu berada di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang. Semua bukti entitas empiris masih ada sampai dengan sekarang. Dari tempat itulah semua manusia Papua bergerak ke bagian Utara, Selatan, Barat dan ke Timur wilayah Papua Negara New Guinea. Di wilayah negara PNG sudah membentuk 2 Provinsi yaitu Sandaun Province berikota Vanimo dan Western Province beribukota Kiunga. Banyak bukti empiris lain seperti dari jenis dan tipe manusia yang ada di wilayah ini cukup unik dan banyak mewakili suku bangsa di pulau Papua. Kenyataan ini mendorong para intelektual suku-suku setempat sedang meneliti ulang berdasarkan penelitian lama oleh para peneliti Eropa dan lain-lain.

Mitologi suku-suku setempat sudah ada bukti dan dibuktikan berdasarkan penyebaran marga/klen/keret sebagai entitas empiris yang ada sekarang dan tidak bisa dibantah dan terbantahkan. Seperti sejumlah marga dan mitologi yang dimiliki suku-suku di Pegunungan Bintang sama dengan marga dan mitologi yang dimiliki suku bangsa lain di wilayah kabupaten tetangganya. Contoh marga Taplo/Tafor, Ibek/Ibe, Mallo, Watae dan lain-lain yang tersebar sampai di Kabupaten Keerom; marga Wayam/Walam/Wayap, Uropka/Oropka, Tarong, Yopeng dan lain-lain berada di Kabupaten Boven Digul; marga mimin/mirin ada di Kabupaten Yahukimo. Begitu juga penyebutan hal tertentu seperti Ok (air), Anon (anjing), Nong (tali), Yop/Jum (pisang) dan lain-lain bagi suku-suku yang ada di keempat kabupaten tetangga dengan Pegunungan Bintang. Banyak kesamaan pola berfilsafat dan filosofi, antropologi dan psikologi manusia/suku bangsa yang ada di wilayah ini. Hal ini sangat jelas dalam penelitian antropolog Belanda (Healey 1964 and Voorhoeve 2005) telah menyebutkan suku-suku yang ada di ke-empat Kabupaten sekarang adalah Ok family, Mek Family dan Min Family. Ok family termasuk suku Papua OK yang selama ini disebut suku Ngalum, Suku Katii/Muyu, Suku Wambon dan Suku Korowai. Sementara suku yang termasuk Mek Family adalah suku Mek/Ketengban, Suku Nam/Jefta, Suku Aplik/Kimki, suku Una Ukam, Momuna, suku Kopkaka sampai dengan suku Yali. Dan Min family termasuk suku Atbalmin, Telefomin, Mianmin, Tifalmain, Oksapmin, Faiwolmin, Urapmin, Mianmin, dan suku Wopkaimin dan lain-lain yang sebagian besar termasuk wilayah Negara Papua New Guinea sekarang.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Dari data empiris dan hasil penelitian yang ada telah mendukung para peneliti muda asal suku-suku ini sedang merekonstruksi dan mereposisi entitas esksistensi serta otoritas wilayah suku mereka secara benar dan tepat. Dimana suku-suku ini memiliki wilayah yang amat sangat luas dengan kekayaan alam terbesar di pulau ini. Diantaranya 4 sungai besar di pulua Papua yakni Sungai Mambramo, Sungai Sefik, Sungai Digul dan Oktakin/Fly River yang semuanya keluar dari bawah puncak mandala-Pegunungan Bintang. Selain itu terdapat kandungan emas, perak, tembaga, uranium dan minyak yang akan dikelola dan tiada bandingannya dengan yang ada di Timika dan Bintuni-Papua.

Berhubungan dengan penelitian yang dilakukan putra putri terbaik suku-suku setempat sudah jelas bahwa terdapat banyak ketidaksesuaian pada berbagai hal yang dimiliki suku bangsa di wilayah ini maupun Papua umumnya. Salah satunya adalah pembagian 7 wilayah Adat Papua yang menurut hemat kami perlu dilakukan pemetaan ulang berdasarkan karakteristik suku bangsa secara kritis, objektif, sesuai kelekatan unsur-unsur budaya dan komprehensip. Kita mesti baca dengan teliti hasil-hasil peneliti eropa dengan baik terlebih dahulu lalu bisa mengelompokan suku-suku di Papua. Jangan ikut-ikutan tanpa punya kompas. Tidak hanya terbatas pada pemetaan wilayah adat berdasarkan karakteristik suku bangsa tetapi juga usulan perbaikan terhadap perubahan, pertukaran, pemberian nama daerah, gunung oleh pihak tertentu dikembalikan pada ranahnya.

Sebab sudah sangat jelas sejak awal adanya manusia Papua sudah terbentuk suku besar dan berkembang menjadi sub-sub suku yang cerita adatnya, mitologinya satu tetapi beda dalam bahasa daerah. Bagian ini yang belum dilakukan penelitian secara mendalam dan teliti sehingga dikaburkan oleh situasi kekinian. Contoh selama ini sudah terjadi penggabungan wilayah Adat Suku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan mitologi suku-suku yang nampak dari karakteristiknya. Cara pengelompokan suku bangsa di Papua sudah sangat jelas banyak suku minoritas yang dieliminasi, ditekan oleh kepentingan suku tertentu melalui politik pembangunan Indonesia di Papua. Permainan kotor, praktik diskriminasi semakin lihai di zaman sekarang dan ini penting dikritisi dan diluruskan. Apabila kita benar-benar manusia ber-adat maka semua hal itu pakai etika adat yang diturunkan leluhur supaya tujuan pribadi maupun kelompok bisa dicapai dengan baik dan bermanfaat bagi kepentingan komunal Papua.

Berdasarkan pemetaan wilayah adat Papua selama ini dan praktek apa saja sudah didominasi oleh suku tertentu yang merasa besar, hebat, lebih terhormat, banyak yang berpendidikan tinggi dan sebagainya. Kondisi objektif ini sangat penting dievaluasi dan buat satu resolusi kongkrit demi kebaikan bersama di tanah ini. Sebagai orang ber-adat mesti punya hatinurani untuk menghargai suku lain sekalipun jumlahnya sedikit. Penting diberikan kepercayaan dalam semua dimensi kehidupan dan dalam konteks apapun itu. Primordialisme kesukuan yang ekstrim dan merasa hebat, kuat dan jumlahnya banyak sudah harus dihilangkan dan semua suku bangsa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam konteks apa pun agar keadilan dan kebersamaan sebagai orang Papua tetap terjaga.

Oleh sebab itu kami sebagai intelektual muda dari suku-suku yang ada di sentral pulau Papua yang selama ini disepelehkan mau mendorong Dewan Adat Papua untuk tinjau kembali pemetaan otoristas wilayah Adat Lapago berdasarkan karakteristik manusia dari suku bangsa yang ada. Yang kemudian mengakui Wilayah Adat Papua Okmekmin sebagai wilayah ke-8 yang terdapat di pusat jantungnya pulau besar ini. Untuk itu kami sudah petakan secara detail apa yang menajdi larat belakang agar wilayah ini dipisahkan dari Wilayah Adat Lapago. Wilayah Adat Okmekmin ini terdapat 25 suku yang memiliki mitologi yang sama dan mirip. Menata diri dari dalam rumah sendiri lebih baik, lebih terarah daripada gabungkan diri ke dalam rumah adat suku lain dan menjadi kerdil didalamnya.

Sejarah telah mencatat dengan tertib bahwa selama 40an tahun bersama Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayapura banyak catatan kelam pembangunan sumber daya manusia bagi suku bangsa yang ada di daerah-daerah perbatasan ini. Secara khusus orang Pegunungan Bintang dan orang Yahukimo tidak ada satu orang pun yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Wamena beribukota Kabupaten Jayawijaya. Semua kesempatan hanya bisa dinikmati oleh saduara-saudara kami yang ada disana. Entah sengaja atau tidak, entah sadar atau tidak itu yang dialami oleh orang Yahukimo dan Pegunungan Bintang.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Hal ini sangat terbukti sekarang, dalam berbagai kesempatan orang-orang dari wilayah ini sangat jarang diakomodir di tingkat provinsi maupun tingkat pusat. Beberapa tokoh intelektual yang muncul sebagai pemimpin di daerahnya adalah kader gereja, entah Katolik maupun Protestan dan bukan hasil penyerapan anggaran pembangunan sumber daya manusia dari Kabupaten Jayawijaya ketika itu. Justru setelah ada kabupaten endiri barulah mulai muncul secara perlahan. Bila kaitkan dengan Wilayah Adat Lapago maka, kondisinya sama. Hal ini sangat terbukti adanya pemilihan anggota DPRP 14 kursi Otsus yang dipilih berdasarkan Wilayah Adat Lapago tidak ada satupun orang dari Yakukimo dan Pegunungan Bintang ditetapkan sebagai anggota DPRP. Yang ada semuanya dari suku yang merasa diri hebat, besar dan banyak jumlahnya selama ini. Apakah ini sengaja dibuat atau tidak tetapi para pemimpin teras Provinsi Papua terus pelihara sifat Kolusi, Korupsi dan Nepotisme serta praktik diskriminasi bagi orang asli Papua sendiri.

Penutup

Pemikiran ini disampaikan atas dasar kenyataan hidup suku-suku yang selama ini diabaikan dalam konteks kepemimpinan dalam pembangunan Papua selama puluhan tahun. Kami sudah mencatat dengan baik bahwa hal ini sengaja dibuat oleh suku tertentu yang merasa diri besar, hebat, sudah memiliki segalanya dan terus mematikan potensi suku bangsa lain yang secara jumlah sedikit. Entah dengan sadar atau tidak itulah kenyataan yang ada sampai dengan sekarang. Praktiknya mulai dari implementasi program pembangunan selama 40an tahun. Terutama tidak pernah memberikan kesempatan kepada putra-putri terbaik dari wilayah ini untuk mengenyam pendidikan seperti suku-suku lain dari wilayah kabupaten itu maupun suku bangsa Papua yang kini sudah banyak yang maju di semua sektor pembangunan di Papua. Setelah itu masuk pada babak berikut adalah melalui proses musyawarah besar Masyarakat Adat Papua yang telah memetakan wilayah Adat Papua tidak sesuai dengan karakteristik suku dan kepemilikannya. Jutrus dilakukan berpatokan pada wilayah Kabupaten induk yang dibentuk masa pemerintahan resim Presiden Soeharto.

Karena itu kita katakana dalam pemetaan wilayah Adat Papua ketika itu ada yang tidak beres. Ketidakberesan itu telah dilakukan penggabungan suku-suku yang sebenarnya tidak ada hubungan mitologi sama sekali dan juga aspek lainnya. Hal ini pun dilakukan berdasarkan pengkondisian salah yang dibuat oleh peneliti Eropa dan Amerika di Papua, yang justru didalamnya terjadi benturan nilai-nilai budaya diantara suku-suku yang digabungkan. Sebab itu, dari kesalahan-kesalahan yang dibuat orang-orang terdahulu perlu diluruskan oleh anak-anak negeri sendiri. Generasi muda Papua sekarang tidak bisa berada pada fondasi yang keliru dan tidak membangun gap-gap diantara orang-orang yang hidup didalamnya. Bangun konstruksi berpikir yang terbuka dan netral.

Dalam praktik hidup kita sampai dengan sekarang tanpa kita sadari sudah melakukan diskriminasi sangat luar biasa diantara tingkatan suku. Merasa diri pembesar-pembesar hebat tetapi Anda sebenarnya sedang menginjak saudaramu orang hitam ini sampai tidak ada napas dari semua aspek kehidupan. Satu fenomena yang menurut saya akan berbahaya yang ada di depan mata sekarang adalah aspek perpolitikan merebuat kursi DPR, Gubernur, Bupati dan perangkatnya justru mempertebal primordialisme kesukuan yang sangat diskriminatif pada semua lini kehidupan. Keadaan ini tanpa kita sadari sudah menjadi akar perpecahan diantara suku bangsa di Papua yang sedang menuju kepunahan yang tidak akan membekas di atas tanah leluhur masing-masing. Maka itu kita semua yang merasa diri intelektual janganlah menginjak intelektualits kita dengan perilaku yang tidak bermoral, tidak beretika tetapi melihat seacra keseluruhan, manusia Papua di dalam suku-suku itu dilihat secara utuh. Artinya sebagai satu komunitas harus dipastikan bahwa semua anggota ada dalam kondisi yang aman karena semua bisa bekerja.

Sebab itu Dewan Adat Papua perlu penting melakukan pemetaan ulang suku bangsa Papua yang selama ini dimasukan dalam 7 wilayah Adat Papua. Seperti halnya terjadi pada suku bangsa yang mendiami di 4 Kabupaten di wilayah perbatasan Negara Papua New Guinea. Pakain tradisional (koteka dan cawat) tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan masukan suku bangsa di Pegunungan Papua secara merata. Sebab sejarah adanya Koteka/cawat dan bagaimana mengunakannya sudah berbeda. Harus tahu mitologi penyebaran suku bangsa di wilayah itu dengan benar. Karena salah satu cara yang tepat untuk memastikan satu kesatuan suku-suku adalah melalui kajian mitologi. Untuk pengusulan wilayah Adat Papua Okmekmin, secara internal sudah ada rencana untuk menyelenggarakan Konggres Internasional Dewan Adat Suku dan mengeluarkan resolusi bersama oleh Persekutuan 49 Ap Iwoo/Iwol dan Youwa sebagai pemilik otoritas wilayah adat. Dalam konggres ini Dewan Adat Papua turut diundang hadir menyaksikan dan membawa hasil konggres ke forum tertinggi Dewan Adat Papua untuk disahkan secara resmi dalam struktur Pemerintahan Adat Papua. Tulisan ini menjdi awal pemberitahuan anak-anak Adat dari kesekian banyak suku yang berada di otoritas PAPUA OKMEKMIN. Semoga tulisan ini menjadi bahan referensi baru bagi Pimpinan Dewan Adat Papua dalam kerja-kerja kedepan.  (*)

Artikel sebelumnyaPerjuangan Kaum Kulit Hitam di AS dan Revolusi Sosialis (Bagian I)
Artikel berikutnyaKPP FIM-WP Minta Negara Selesaikan Kasus Biak Berdarah 6 Juli 1998