KPP FIM-WP Minta Negara Selesaikan Kasus Biak Berdarah 6 Juli 1998

0
1587
Foto : KPP FIM-WP ketika jumpa pers tentang tragedi Biak berdaarh di salah satu asrama mahasiswa di Abepura (6/7/2020) Yanuarius Weya-SP
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Memperingati tragedi Biak berdarah yang ke-22 tahun, 06 Juli 1998 sampai 06 Juli 2020 maka Komite Pimpinan Pusat Forum Independent Mahasiswa West Papua (KPP FIM-WP), meminta kepada negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah Papua.

Hal itu diutarakan oleh anggota komite pusat FIM-WP Dewo Wonda kepada suarapapua.com di Abepura Jayapura Senin, (6/7/2020).

“Tragedi Biak berdarah itu kami generasi bangsa West Papua tidak lupa, dimana tanggal 2 sampai 6 Juli 1998 rakyat Papua di Biak mengibarkan bendera Bintang Kejora di tower  [menara] air. Hari itu terjadi pembunuhan sadis, pemerkosaan, penganiyaan, pembataian, kriminalisasi rasial serta penangkapan secara membabi buta sampai pada penemuan jasad misterius dan bangkai manusia di PNG bahkan sampai ditemukan di lautan Pasifik, semua itu dilakukan oleh negara kolonial Indonesia melalui aparat TNI/POLRI,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa pelanggaran HAM berat itu memakan korban yang cukup banyak.

“Waktu itu dimana kolonial Indonesia melalui aparatnya telah mengorbankan 230 orang, 8 orang meninggal, 8 orang hilang, 4 orang luka berat, 150 orang mengalami penyiksaan, 32 orang ditemukan sudah jadi mayat misterius sampai terdampar di PNG, 100 lebih orang ditangkap sehingga banyak warga asli Biak yang mengungsi di PNG,” jelas Wonda.

ads
Baca Juga:  Mahasiswa Papua Minta Presiden Jokowi Copot Jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih

Senada dengan itu, anggota FIM-WP komite kota Sentani Memo Zoani mendesak agar negara menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah Papua.

“Tanggal 2-6 Juli 1998 itu adalah hari bersejarah bagi kami bangsa Papua, dimana terjadi pelanggaran HAM berat di Biak. Dan bukan sampai situ saja tapi negara juga telah melakukan banyak pelanggaran HAM berat di tanah Papua seperti : Biak berdarah yang kami peringati hari ini, Wasior berdarah, Wamena berdarah, Mabnduma berdarah, Abe berdarah, Paniai berdarah dan banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Dan semua kasus itu belum diselesaikan satupun sampai hari ini oleh negara dari presiden ke presiden,” ujar Memo.

Baca Juga:  Asosiasi Wartawan Papua Taruh Fondasi di Pra Raker Pertama

Ia juga meminta agar menghadirkan tim pemantau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menuntaskan  pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah Papua.

“Dari tahun ke tahun, presiden ganti presiden Indonesia tidak pernah menyelesaikan satu kasus pun di tanah Papua jadi kami FIM-WP minta segera berikan kesempatan untuk tim pemantau PBB masuk di tanah Papua investigasi semua pelanggaran HAM itu,”tegasnya.

Selain itu, Namutuk, anggota FIM-WP Pusat menjelaskan bahwa akar dari semua pelanggaran HAM berat di Papua sampai pada aneksasi Papua kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)itu  terjadi demi Sumber Daya Alam Papua.

“Sejak 1962 Indonesia aneksasi Papua ke pangkuan ibu Pertiwi demi eksploitasi SDA Papua oleh NKRI, Amerika, Belanda dan PBB terjadilah pelanggaran HAM berat di Papua sampai saat ini. PT. Freeport Indoensia adalah salah satu aktor pelanggaran HAM di Papua,” unggkapnya.

Ia juga menolak otonomi khusus jilid dua yang menurutnya gula-gula gam Jakarta untuk Papua.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

“Bagi kami otsus itu sebagai alat peredam/pembungkaman ruang demokrasi di Papua dan sama sekali tidak ada keuntungan bagi kami sehingga dengan tegas kami tolak otsus jilid dua itu, sebab kehadirannya bukan membawa kesejahteraan bagi  rakyat  namun otsus itu pembawa malapetaka bagi kami rakyat Papua,”imbuhnya.

Berikut pernyataan sikap FIM-WP

  1. Negara bertanggungjawab atas tragedi Biak berdarah 1998 yang menewaskan ratusan nyawa manusia dan rentetan pelanggaran HAM lainnya di Papua Barat. Kekerasan kemanusiaan terus berlanjut dalam negara kolonial Indonesia serta tepat pada tanggal 06 Juli 1998 merupakan hari tragedi Biak berdarah ke-22 tahun.
  2. Menutup dan menghentikan aktivitas ekploitas sumber daya alam di Papua, segera tutup PT.Freeport Indonesia, dan semua perusahaan milik kapitalis di tanah Papua.
  3. Tolak OSTSUS jilid II dan segera memberikan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai jalan demokrasi bagi bangsa Papua Barat.

Pewarta : Yanuarius Weya

Editor : Arnold Belau

Artikel sebelumnyaPapua Perlu Menjadi Delapan Wilayah Adat
Artikel berikutnyaDituding Merendahkan Perempuan Papua Lewat Sosmed, MJY Diminta Meminta Maaf