Mama Karma, Catatan Heroisme Pinggiran “Biak Berdarah”

0
1728

Oleh: Yosef Rumaseb)*
Anak Kampung, Tinggal di Biak

6 Juli 1998. Hari heroik. Hari tragis. Hari saat peristiwa Biak Berdarah terjadi. Saat lokasi kegiatan diserbu aparat TNI berbaju tempur berikat kepala merah terjadi, dan peluru beterbangan hingga menyala-nyala di atas aspal, saya ada di sekitar TKP.

Beberapa hari sebelum penyerbuan itu, sudah nampak gejala akan ada peristiwa berdarah. Upaya beberapa tokoh agama, adat dan pemerintah untuk meminta Bendera Papua diturunkan tidak berhasil. H-1 jalan-jalan utama menuju Tower Air di Puskesmas Waupnor di mana bendera dikibarkan sudah dibarikade dengan kawat berduri. Pasukan TNI berseragam tempur, dengan ikat kepala merah dan senapan tempur, menggunakan motor trail mondar mandir dalam Kota Biak. Suasana sangat mencekam.

Rumah keluarga saya, marga Mandosir, hanya berjarak 50 meter dari TKP. Keluarga ini terdiri dari banyak anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam H-1 saya minta semuanya mengungsi ke rumah kami, sekitar 300 meter dari situ. Agak memaksa meskipun sang bapak menolak. Ibu-ibu, anak-anak laki-laki dan perempuan mengungsi.

Dan benar. Pagi itu, 6 Juli 1998, meledak. Bunyi tembakan. Peluru mendesing hingga memercikkan api di jalan raya. Teriakan orang minta tolong. Tentara berlari mengejar orang di lorong-lorong rumah sambil menembak. Benar-benar seperti suasana perang seperti menonton film di TV. Bukan perang sesungguhnya sebab yang terjadi adalah rakyat sipil tak bersenjata diserbu dengan rentetan tembakan. Tapi bunyinya seperti baku tembak.

ads
Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Beberapa hari sebelum hari itu saya bolak balik ke TKP [Tempat Kejadian Perkara] untuk memonitor dan memberi kabar ke John Rumbiak di Kantor ELSHAM Papua. Setiap 4 jam John selalu telp dan minta update. Ketika saya kabari dinamika terakhir itu, John bicara dari Jayapura, “Engko malam ini tinggal di rumah. Nanti besok siang baru engko monitor!” Jadi sejak tanggal 5 Juli malam saya tinggal di rumah.

Pagi itu, 6 Juli 1998 sekitar jam 07.00, wilayah Burokup – Waupnor di Biak sudah dalam suasana perang. Dari jauh saya melihat seorang Ibu yang dengan garang dan tidak takut sedikit pun berjalan menerobos pasukan bersenjata yang menjaga blokade di dekat Gereja Maranatha. Tidak takut sama sekali. Dia ditodong untuk kembali keluar blokade, tapi moncong senjata dia pegang dengan satu tangan lalu disingkirkan dengan tangannya. Dia tetap maju sambil menangis di antara tentara yang berdiri dan yang berbaring dengan tangan siap menembak.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Aaah… kamu harus lihat keberanian mama itu supaya kamu tahu bagaimana sikap seorang mama tatkala anaknya terancam di ujung maut. Tidak ada rasa takut. Bahkan sikapnya menggetarkan nyali serdadu bersenjata terkokang yang coba menghalaunya.

Mama itu berbadan gemuk. Berjalan tertatih-tatih sambil menangis tanpa air mata. Kadang kala dia melambaikan tangan ke langit seperti memanggil TUHAN.

Dia melambaikan tangannya dan terus berbicara. Bukan bicara tapi meratap. Bukan meratap tapi meraung. Bercampur bahasa Biak dan Bahasa Indonesia.

“Anak-anakku. TUHAN tolong anakku. Manseren ooo romawa ayesi. TUHAN mana anak-anakku!”

Saya kenal mama itu. Saya memanggilnya nenek. Jadi, ketika lihat dia berjalan tak kuat menahan berat badan dan kekuatiran tentang nasib anak-anaknya, saya lari ke arahnya dan ijin ke para serdadu itu untuk memapah nenek saya itu.

Jalan agak menanjak, saya gandeng nenek saya berjalan. Sudah lewat 100-an meter dari blokade, belok kanan, jalan lagi sekitar 100 meter (di depan SD) nenek berhenti. Sudah masuk daerah merah yang disisir oleh pasukan serdadu itu.

“Cucu sampai di sini. Hanya sampai di sini. Tidak boleh lewat. Kalau lewat ke sana, kami bisa ditembak. Cucu masih muda, jangan mati sekarang!”

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Kami bagi jalan. Saya belok ke arah rumah di mana saya tinggal. Sekalian untuk pastikan bahwa anak-anak dan ibu-ibu di rumah kami aman-aman.

Nenek yang sudah tidak takut mati itu terus berjalan. Menerobos desingan peluru. Saya masih lihat dia melambai tangan seperti memanggil TUHAN dan menyebut nama ketiga anaknya.

Dia mencari tiga anaknya di dalam suasana perang itu. Anak-anaknya dua laki-laki dan satu perempuan.

Dia adalah Nenek Karma, mama dari Filep Karma, pemimpin yang konsisten sejak itu hingga masuk keluar bui dan tetap konsisten hingga sekarang. Dialah Mama dari Sang Pemimpin itu.

***

Note: Pada peristiwa genting itu dan seperti itu, nampak jelas sikap konsisten dari manusia yang memiliki prinsip dan integritas.

Saat mengenang sejarah ini, saya kadangkala marah sampai seperti kesurupan saat lihat pahlawan Otsus melakukan pencitraan tentang heroisme mereka dari webinar ke webinar dengan telinga dibuat tuli kepada suara aktor pelaku sejarah yang bikin mereka kini berjaya.

Biak 7 Juli 2020

Artikel sebelumnyaUncen Sudah Buka Pembayaran UKT bagi Mahasiswa
Artikel berikutnyaNasi Kuning di Rumah Ajah Ala Yuni Randongkir