Siapa Butuh Otsus Papua Jilid II?

0
1876

Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA)*
)* Direktur SKPKC-OSA, tinggal di Biara Tagaste, Sorong

Berbeda dengan otsus Papua jilid I, di mana lahirnya otsus Papua jilid I, karena desakan politik penentuan nasib sendiri oleh orang asli Papua yang begitu kuat, sehingga mendorong DPR RI dan MPR mengajukan kebijakan otsus ini kepada Pemerintah, dan diterima, maka lahirlah otsus Papua jilid I.

Secara politik otsus Papua jilid I adalah kontrak politik bangsa West Papua dengan Pemerintah RI. Maka lazim dikenal dengan sebutan bahwa otsus Papua jilid I adalah politik win win solution antara Pemerintah Republik Indonesia dengan bangsa West Papua.

Dengan perkataan lain, otsus Papua jilid I lahir karena ketakutan Pemerintah Pusat atas tuntutan kemerdekaan bangsa West Papua. Karena itu, jika aspiriasi politik orang asli Papua tidak diakomodir oleh negara, maka konsekwensinya adalah bangsa West Papua menuntut referendum sebagai media demokrasi penentuan nasib politik bangsanya.

Sedang dari pihak orang asli Papua, otsus Papua sebagai kontrak politik bangsa West Papua dengan Pemerintah Indonesia. Karena bersifat kontrak politik, maka ketika peran dan fungsi UU Otsus Papua No. 21/2001 tidak diimplementasikan secara benar, adil dan konsekwen, sesuai amanat otsus tsb, maka secara logis otsus ini pantas dikembalikan saja kepada Pemerintah Jakarta. Dan bangsa West Papua kembali kepada tujuan awal dari manifesto politiknya, yaitu tuntutan merdeka, sebagaimana pernah disampaikan oleh Tim 100 (seratus) kepada presiden RI ke 3, J.B. Habibie di Istana presiden di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999.

ads

Ada tiga pernyataan manifesto politiknya: (1) Kami bangsa West Papua berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi; (2) Segera membentuk pemerintahan peralihan di West Papua di bawa pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara demokratis, damai, dan bertanggungjawab selambat-lambatnya bulan Maret 1999; (3) Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir ke satu dan kedua; maka segera diadakan perundingan internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa West Papua, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Kami bangsa West Papua menyatakan tidak ikut serta dalam pemilihan umum Republik Indonesia 1999.

Selain pernyataan manifesto politik rakyat bangsa West Papua tsb di atas, manifesto politik yang sama juga diserukan dalam Musyawarah Besar (MUBES) Bangsa West Papua di kota Port Numbay (Jayapura) yang diselenggarakan dari tanggal 23 – 26 Februari 2000. Melalui MUBES ini dikeluarkan Komunike politik bangsa West Papua, yang terdiri atas 7 (tujuh) poin, dan ditandatangani oleh almarhum Theys Hiyo Eluay (ketua) dan Tom Beanal (wakil ketua).

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Selain alasan manifesto politik bangsa West Papua tsb, draf penyusunan otsus Papua jilid I adalah inisiatif rakyat asli Papua dan dikerjakan di Papua oleh berbagai element yang mewakili komponen orang asli Papua. Sedangkan otsus Papua jilid II, merupakan inisiatif Pemerintah Pusat melalui Mendagri.

Lihat pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang menargetkan revisi Undang-undang ¬Otonomi Khusus Papua harus rampung dibahas dan disahkan tahun ini. Tito mengatakan perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua itu mendesak dibahas karena akan habis masa berlakunya tahun depan, 2021. “UU yang lama berlakunya dua puluh tahun, akan selesai 2021. Tidak ada waktu lagi membahasnya selain di tahun 2020 ini,” kata Tito dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR-RI, Rabu lalu. Tito mengatakan ada dua skenario dalam pembahasan RUU Otsus Papua ini. Pertama, otonomi khusus dilanjutkan dengan alokasi dana dua persen dari Dana Alokasi Umum.

Kedua, revisi bertolak dari Amanat Presiden tahun 2014 tentang Pemerintahan ¬Otonomi Khusus Bagi Pro¬vinsi Papua. Tito mengatakan setidaknya ada delapan poin yang akan dibahas jika me-ngambil skenario kedua ini, yakni masalah kewenangan, kerangka keuangan fiskal, masalah ekonomi, pemba¬ngunan, dan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar. Ia menegaskan bahwa status daerah otonomi khusus (otsus) tetap melekat pada Papua setelah 2021. Menurut dia, hal yang akan berakhir hanya dana otsus-nya. “Jadi jangan sampai ada publik berpendapat bahwa seakan-akan otsus Papua berakhir tahun 2021. Yang ada batas akhir itu adalah dana otsus-nya, (sedangkan) pelaksanaan otsus Papua tetap berjalan,” kata Bahtiar sebagaimana dikutip dari keterangan pers Kemendagri, Jumat (31/1/2020). Menurut dia, revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otsus bagi Provinsi Papua masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Demikian pula drafnya pun disiapkan oleh Pemerintah Pusat menurut versi dan kemauan politiknya, bukan menurut versi orang asli Papua. Pemerintah Pusat lebih berkepentingan menggolkan otsus jilid II ini demi kepentingan dana (uang) dan sekaligus sebagai upaya mempertahankan hegemoni politiknya di Papua, bukan demi kepentingan hak-hak dasar orang asli Papua dan eksistensi identitas kulturalnya. Hal ini terlihat melalui pernyataan Mendagri, Bpk. Tito Karnavian, “Otsus dilanjutkan dengan alokasi dana dua persen dari Dana Alokasi Umum”. Demikian pula sebagaimana ditegaskan oleh Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) bahwa dana Otonomi Khsus (Otsus) Papua dan Papua Barat akan tetap berlanjut pada tahun 2021 mendatang. Pernyataan Mandari ini mendapatkan respon dari pater Izak Bame, yang mempertanyakan pernyataan Mandagri tsb, “revisi UU Otsus karena masanya berakhir UU Otsus no. 21 tahun 2001 atau karena apa? Untuk siapa sebenarnya Revisi UU Otsus Papua jilid II?”.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Gencarnya Pemerintah Pusat, melalui Mendagri melontarkan pernyataan-pernyataan yang justru mengundang pertanyaan di kalangan lapisan masyarakat asli Papua. Apakah hanya Pemerintah Pusat yang bersikeras merevisi UU Otsus Papua ini ataukah ada juga kelompok lain? Maka secara implisit terbaca bahwa ada juga pihak-pihak lain yang turut aktif mendorong revisi UU Otsus Papua 2021. Kelompok lain tsb di antaranya: Pejuang Trikora-Pepera, milisi Merah-Putih, para investor-perusahan-perusahan yang selama ini beroperasi di Papua, TNI-POLRI, pihak akademisi, LSM-LSM plat merah, dan pribadi-pribadi orang Papua yang selama ini menikmati uang otsus.

Senada dengan pater Izak Bame, sejumlah aktivis HAM, pengacara, LSM, Mahasiwa, tokoh-tokoh Gereja, dan lainnya, menolak dengan tegas hasil revisi UU Otsus Papua 2021 atau otsus jilid II. Salah seorang pencara senior, yaitu Bpk. Yan Christian Warinussy sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, mengatakan, “Dua puluh tahun kehadiran Otsus di tanah Papua tidak dirasakan oleh seluruh rakyat Papua, dari segala aspek kehidupan dan implementasinya di lapangan, termasuk regulasi undang-undang Otsus Papua No. 21/2001 itu sendiri. Misalnya mandat di pasal 32 tentang Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc belum sama sekali dijalankan, baik di Papua maupun di Papua Barat”.

Ketegasan sikap penolakan terhadap otsus Papua jilid II juga datang dari Guber Papua, bpk. Lukas Enembe. Ia mengingatkan “generasi yang akan datang terkait masa berlaku dana otonomi khusus (Otsus) yang dipastikan berakhir pada 2021 mendatang. Generasi berikutnya diminta untuk bersiap-siap dengan berupaya meningkatkan daya saing serta profesional untuk menyokong pelaksanaan pembangunan di provinsi ini. Artinya, apa yang sudah gagal jangan diulang lagi. Tetapi perbaiki secara baik sehingga bisa membawa masyarakat Papua ke masa depan lebih baik”.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Jadi, disimpulkan bahwa mayoritas orang asli Papua dari semua lapisan masyarakat, pada dasarnya menolak dengan tegas perpanjagan otsus Papua jilid II, melalui revisi UU Otsus Papua No. 21/2001 menjadi UU Otsus Papua 2021. Sedangkan pihak Pemeritah Pusat dan sejumlah kelompok pro NKRI lebih menginginkan bahwa hasil revisi UU Otsus Papua 2021 harus dilaksanakan, sehingga otsus Papua tetap berlanjut. Dari sini dilihat bahwa Pemerintah Pusat dan antek-anteknya berkeinginan kuat agar otsus Papua jilid II disahkan. Salah satu kepentingan mendasar yang mendorong Pemerintah Pusat bersikeras merevisi UU Otsus Papua No. 21/2001 sehingga menjadi UU Otsus Papua 2021, karena demi kepentingan uang (fincial) semata-mata. Uang menjadi salah satu kepentingan utama Pemerintah Pusat bersama antek-anteknya, sehingga bersikeras menggolkan otsus Papua jilid II. Karena itu, Universitas Gajah Mada memberi catatan bahwa pemerintah dianggap sebagai “pohon uang” dan dana otsus sebagai “uang darah”.

Maka disimpulkan bahwa otsus Papua jilid II bukan demi kepentingan orang asli Papua, melainkan demi kepentingan Pemerintah Pusat bersama antek-anteknya. Upaya keras Pemerintah Pusat merevisi UU No. 21/2001 otsus Papua menjadi UU Otsus Papua 2021 sebagai payong hukum bagi otsus Papua jilid II, dilihat sebagai bukti legitimasi politik hegemoni Pemerintah Indonesia di Papua, bukan sebagai instrument politik dan hukum bagi orang asli Papua, untuk melindungi hak-hak dan identitas budayanya. Sebagaimana disinyalir, bahwa persentase besar alokasi dana otsus Papua dihabiskan untuk kepentingan birokrasi dari pusat hingga daerah. Selain itu, sebagian dana otsus Papua jilid I digunakan pula untuk membiayai kepetingan kampanye politik kekuasaan para elite politik lokal maupun nasional dan kepentingan keamanan yang diperuntukan kepada pihak aparat TNI-POLRI.

Karena otsus jilid II ini adalah pemaksaan Pemerintah Pusat dan bersama antek-anteknya kepada rakyat bangsa West Papua, maka sangat logis bila bangsa West Papua mereview kembali manifesto politiknya yang pernah dimaklumatkan oleh tokoh-tokoh politik pendahulunya (Tim 100 dan MUBES 2000), dan memobilisasi seluruh rakyat bangsa West Papua untuk mengadakan Musyawarah Besar (MUBES) bangsa West Papua jilid II dalam rangka mengambil sikap manifesto politiknya terhadap otsus Papua jilid II ini dan langkah-langkah politik ke depan. (*)

Artikel sebelumnyaRatusan Organisasi Minta Korindo dan Posco Menghormati Pembela Lahan dan HAM
Artikel berikutnyaOrang Mee, Pendidikan dan Ijazah