Oleh: Bernard Agapa)*
)* Sebelum meninggal penulis adalah aktivis, developer web dan pekerja social yang aktitif mengadvokasi masyarakat adat bersama Yayasan Pusaka di Jakarta beberapa tahun terakhir
Sejak Papua dicaplok kedalam wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) tahun 1969 masih meninggalkan berbagai persoalan mendasar menyangkut sengketa sejarah politik 1 Desember 1961, Investasi PT Freeport 1967 yang tidak transparan, Penentuan Pendapat rakyat (PEPERA) 1969, Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Represifitas Militer, keseriusan Pembangunan Sumber Daya Manusia dan infrastruktur dan marginalisasi masyrakat adat Papua.
Ketidak konsistenan Pemerintah Pusat dalam mengakomodir setiap persoalan diatas mengakibatkan konflik yang berkepanjangan terhadap Rakyat Rapua.
- Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai lembaga kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli Papua, yang terdiri dari kalangan adat, agama, dan perempuan;
- Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus;
- Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan Pengadilan Hak Asasi Manusia, kedua lembaga yang berhubungan dengan kebutuhan perlindungan dan kemajuan serta pemenuhan HAM;
- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Peradilan HAM, Secara politik lembaga ini ditujukan untuk menjelaskan berbagai masalah kekerasan di masa lalu dan mencari langkah – langkah rekonsiliasi.
Sehingga 2 lembaga tersebut tidak memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas, sedangkan 2 pilar yang lain tidak jelas keberadaannya hingga saat ini, bagi rakyat papua inilah bentuk ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mengawal Otonomi Khusus tersebut.
Bicara soal Otonomi khusus tidak hanya terbatas pada soal uang dan uang, tetapi niat awal pembentuk Undang-Undang.
)* Tulisan ini disadur dan diterbitkan ulang dari blog prbadi alm. Bernard P Agapa di paschal.ab.blogspot.com