Ini Alasan Otsus Gagal di Papua

0
1844

Oleh: Bernard Agapa)*
)* Sebelum meninggal penulis adalah aktivis, developer web dan pekerja social yang aktitif mengadvokasi masyarakat adat bersama Yayasan Pusaka di Jakarta beberapa tahun terakhir

Sejak Papua dicaplok kedalam wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) tahun 1969 masih meninggalkan berbagai persoalan mendasar menyangkut sengketa sejarah politik 1 Desember 1961, Investasi PT Freeport 1967 yang tidak transparan, Penentuan Pendapat rakyat (PEPERA) 1969, Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Represifitas Militer, keseriusan Pembangunan Sumber Daya Manusia dan infrastruktur dan marginalisasi masyrakat adat Papua.

Ketidak konsistenan Pemerintah Pusat dalam mengakomodir setiap persoalan diatas mengakibatkan konflik yang berkepanjangan terhadap Rakyat Rapua.

Hal ini terjadi pada saat awal reformasi di Indonesia tahun 1998, Rakyat Papua menyatakan sikap yang tegas ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI dengan melakukan aksi-aksi yang terkonsolidasi sehingga memunculkan kongres Rakyat Papua II tahun 2000 dengan agenda utama “Pelurusan Sejarah Politik Papua”, dan Memilih pemimpin besar Rakyat Papua ‘Theys Hiyo Elluay’ yang kemudian di bunuh secara sadis oleh Komando Pasukan Khusus Indonesia pada tanggal 10 November 2001.
Perkembangan situasi gerakan rakyat tersebut memunculkan kompromi antara pemerintah pusat dan elit politik papua yang moderat sehingga melahirkan Otonomi Khusus (OTSUS) Papua, sebagai jalan tengah penyelesaian konflik.
Aspirasi Rakyat Papua yang menuntut Merdeka secara politik dan komitmen Pemerintah untuk membangun Rakyat Papua dapat diformulasikan dalam bentuk aturan-aturan yang tertera dalam Undang-Undang Otonomi khusus No.21 Tahun 2001 yang memiliki Empat pilar utama sebagai roh (komitmen) antara lain : 
  1. Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai lembaga kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung aspirasi penduduk asli Papua, yang terdiri dari kalangan adat, agama, dan perempuan;
  2. Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus;
  3. Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan Pengadilan Hak Asasi Manusia, kedua lembaga yang berhubungan dengan kebutuhan perlindungan dan kemajuan serta pemenuhan HAM;
  4. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Peradilan HAM, Secara politik lembaga ini ditujukan untuk menjelaskan berbagai masalah kekerasan di masa lalu dan mencari langkah – langkah rekonsiliasi.
Dari empat pilar tersebut yang terlaksana adalah Majelis Rakyat Papua dan KOMNAS HAM PAPUA, namun masih belum menunjukkan kerja sesuai dengan aturan UU OTSUS tahun 2001.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sehingga 2 lembaga tersebut tidak memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas, sedangkan 2 pilar yang lain tidak jelas keberadaannya hingga saat ini, bagi rakyat papua inilah bentuk ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mengawal Otonomi Khusus tersebut.

Bicara soal Otonomi khusus tidak hanya terbatas pada soal uang dan uang, tetapi niat awal pembentuk Undang-Undang.

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

)* Tulisan ini disadur dan diterbitkan ulang dari blog prbadi alm. Bernard P Agapa di paschal.ab.blogspot.com

SUMBERPaschall-ab-blogspot.com
Artikel sebelumnyaGoogle Perjelas Gambar Sepatu Yesus di Lukisan Leonardo da Vinci
Artikel berikutnyaOtsus atau Referendum, Isu Politik Papua Saat Ini