JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Sebagai dampak dari penembakan dua warga sipil (Elias Karunggu dan Selu Karunggu) pada 18 Juli 2020, warga masyarakat Nduga di Keneyam gelar aksi protes damai dengan menyerahkan peti mati kepada Pemerintah Kabupaten Nduga dan DRPD Nduga pada, Senin (27/7/2020).
Selain itu, aksi tersebut sebagai bagian dari protes atas penembakan warga sipil yang selama ini terjadi di Nduga, ribuan warga sipil yang mengungsi ke hutan sejak konflik TNI/Polri dan TPNPB-OPM, serta bentuk dari penolakan Otonomi Khusus (Otsus) di tanah Papua.
Ketua DPRD Kabupaten Nduga, Ikabus Gwijangge usai menerima aspirasi dari keluarga korban (Elias dan Selu Karunggu) minta agar oknum yang diduga pelaku penembak Elias dan Selu agar diadili.
Ia juga minta agar Otsus Papua di kembalikan ke Jakarta, sebab sejak adanya Otsus, banyak orang Papua dan khususnya orang Nduga menjadi korban.
“Kami terima aspirasi dari keluarga korban agar pelaku oknum TNI di Keneyam segera diadili dan diproses hukum, sekaligus memberhentikan dari jabatannya,” tukas Gwijangge sebagaimana dilaporkan seorang warga dari Keneyam, Nduga kepada suarapapua.com, Senin (27/7/2020).
Ikabus mengatakan, orang Nduga tegas menolak otonomi khusus dengan tidak ada tawaran apapun.
“Penyanderaan yang terjadi (di Mapenduma) itu terjadi [ketika] saya waktu kecil dan negara tawarkan kepada orang Papua [dengan] memberikan Otsus. Tapi kebijakannya lebih kepada Pemerintah Indonesia di Jakarta. Oleh karena itu kami tolak Otsus dalam bentuk apa pun,” katanya.
Sementara dalam pernyataan sikap rakyat Nduga kepada Pemkab Nduga dan DPRD Nduga yang ditanda-tangani dua keluarga korban, DPRD Nduga dan masyarakat sipil lainnya mengakui bahwa melalui operasi militer yang diperintahkan Presiden RI bersama Menkopolhukam dan jajaranya telah mengakibatkan 257 warga sipil Nduga telah meninggal dunia.
Tindakan itu telah terjadi sejak tanggal 2 Desember 2018 hingga 18 Juli 2020, selama 1 tahun 7 bulan. Sejak itu, menyebabkan warga Nduga mengungsi dari rumah dan kampung-kampung ke hutan.
Selain itu pihaknya menyatakan, operasi militer di tanah Papua sebenarnya terjadi sejak 19 Desember 1961, pertama kali Trikora diumumkan di Yogyakarta. Maka dengan itu, rakyat Nduga tegaskan agar hentikan Operasi Militer di Nduga dan di tanah Papua serta Presiden Jokowi bertanggungjawab atas pembunuhan serta pengungsian warga sipil di Nduga dan tanah Papua.
Mengutuk keras kepada oknum yang diduga pelaku penembakan dari Satgas Yonif 330 Keneyam terhadap dua warga sipil di Nduga agar dihentikan dari jabatanya. Meminta intervensi lembaga investigasi, lembaga HAM PBB, lembaga dan gereja internasional untuk datang langsung ke tanah Papua.
Menolak tegas Otsus jilid dua yang direncanakan pemerintah pusat untuk dilanjutkan.
Pewarta: Elisa Sekenyap