EDITORIAL: Otsus Gagal, Indonesia Gagal

0
1500

IMPLEMENTASI Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua —baik provinsi Papua maupun provinsi Papua Barat— selama 19 tahun sudah gagal menjawab “luka batin” rakyat Papua dengan upaya pemerintah Indonesia memendam aspirasi merdeka.

Tentu bukan tanpa alasan, karena kita harus berangkat dari fakta sejarah bahwa Otsus diberlakukan pemerintah di tengah menguatkan tuntutan kemerdekaan bangsa West Papua.

Paket Otsus dikirim dari Jakarta karena saat itu rakyat Papua menyatakan “lepas” dari Indonesia, sebagai salah satu keputusan dari Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei-4 Juni 2000.

Perlu diketahui, akhir dari KRP II secara kolektif rakyat Papua mengeluarkan resolusi untuk merdeka. Pemerintah meresponsnya dengan mensahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, 21 November 2001.

Begitu Undang-undang yang digagas akademisi Uncen itu diturunkan, sontak saja ditolak oleh rakyat Papua. Tetapi, pemerintah dan lembaga Uncen bersama borjuis lokal di Tanah Papua memaksakan harus diterapkan. Paket politik itu tetap diberlakukan di tengah arus desakan penolakan yang makin menguat.

ads

Meski berhasil dipaksakan, Otsus dalam realisasinya berjalan pincang. Tidak menyentuh grass root. Banyak kali diprotes lantaran roh dari Otsus tidak pernah diperlihatkan pemerintah di tanah ini. Buktinya, lembaga rekonsiliasi dan peradilan di Papua, hingga detik ini tidak pernah dibentuk pemerintah bahkan terkesan dibungkam. Kecuali pembentukan lembaga kultur: Majelis Rakyat Papua (MRP).

Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah, dalam kenyataannya tidak seutuhnya karena katanya biasa dibatasi dan sebagian besar bahkan dikebiri habis.

Anehnya lagi, Otsus meski mengakui simbol daerah: bendera Bintang Kejora dan lagu Hai Tanahku Papua, namun dalam pelaksanaannya tidak pernah diimplementasikan. Ada kesan takut berlebihan karena sama saja negara mengakui kemerdekaan Papua.

Kita ikuti dari awal ada banyak reaksi dan fenomena politik termasuk skenario dan retorika politik manipulatif mewarnai proses panjang sebelum dan sesudah UU Otsus disahkan hingga diberlakukan.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Salah satunya, tanggal 11 November 2001, tokoh kharismatik yang juga pentolan PDP, Dortheys Hiyo Eluay diculik hingga dibunuh oleh pasukan bersenjata. Ondofolo Sereh Sentani yang terkenal vokal bicara Papua Merdeka itu dibunuh selang beberapa hari setelah RUU Otsus disahkan dalam Sidang Khusus DPR RI.

“Saya tolak tegas ide Otonomi itu. Saya hanya urus Papua Merdeka. Itu sesuai dengan mandat yang saya terima…,” pekik Theys seperti dibukukan Sem Karoba dkk dalam “Papua Menggugat: Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat! Bagian I: Papua Mencatat” (watchPapua – Galang Press, Yogyakarta, Juli 2004).

Rezim Megawati Soekarnoputri memaksakan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat (IJB) yang kini provinsi Papua Barat. Pemekaran ini bertentangan dengan UU Otsus, tetapi pemerintah memaksakan kehendak politiknya.

Empat tahun kemudian tepatnya tahun 2005, rakyat Papua melalui Dewan Adat Papua (DAP) dengan satu hati mengembalikan Otsus karena dianggap sudah tidak sesuai keinginan rakyat Papua.

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2007 tentang pelarangan terhadap simbol daerah seperti bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan aspirasi Papua Merdeka.

Rakyat Papua dalam Musyawarah Besar (Mubes) tahun 2011 menyatakan mengakui kegagalan Otsus di Tanah Papua. Ribuan orang turun jalan mengembalikan Otsus sekaligus menuntut referendum. Rezim SBY menjawabnya dengan memberlakukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Dari satu kebijakan ke kebijakan lain tidak banyak memberi warna untuk memperkokoh hegemoni politik Indonesia di atas pulau kaya raya ini. Mirisnya, kebijakan tanpa kewenangan bagi daerah. Jakarta pegang kendali. Itu artinya, semua kewenangan melalui Otsus sama seperti awan di gunung yang berlalu sementara waktu. Ya, pemerintah daerah bak boneka; terus dipermainkan seperti binatang yang mereka sebut “monyet Papua”.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Satu fenomena lain selama beberapa tahun terakhir Jakarta terus memaksakan pemekaran provinsi di Tanah Papua. Ini sudah tentu bertentangan dengan keinginan rakyat Papua, juga bertolakbelakang dengan UU Otsus Papua.

Dari fakta ini negara secara tidak langsung mengakui kegagalan Otsus dan ketidakpercayaannya kepada pejabat asli Papua: Gubernur Papua dan Papua Barat, Bupati dan Walikota, maupun DPRD se-Papua.

Termasuk MRP yang nota bene dibentuk berdasarkan amanat Otsus, suaranya enggan didengar. Jadilah semua orang Papua dianggap “monyet” yang mudah dipermainkan dan tidak bakalan didengar suaranya.

Kesan kuat selama ini pemerintah pusat lebih mendengar intelijen. Pasokan laporan dan kajiannya dijadikan rujukan jitu buat pemerintah mengambil kebijakan politik bagi Tanah Papua. Selain rencana mekarkan provinsi, kini gencar dengan revisi UU Otsus yang ditetapkan satu prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020. Bahkan draftnya disiapkan Jakarta menurut versi dan kemauan politiknya dengan target harus dituntaskan tahun ini.

Kalau sudah begini, haruskah elit politik Papua pro-Jakarta melanjutkan Otsus dengan berusaha menyangkal suara rakyatnya?

Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada lembaga akademisi sekelas Uncen dan Unipa menggodok pemekaran provinsi di Papua termasuk revisi UU Otsus, sama halnya dengan lahirnya Otsus yang kala itu digagas oleh Uncen. Sekali lagi, apa sikap “monyet Papua” yang ada dalam birokrasi kolonial dan borjuis lokal Papua, akan terus menguping ke Jakarta?

Sudah pasti pemekaran untuk menguasai wilayah, demi kepentingan investasi dan mendatangkan kaum migran dan memarginalkan orang asli Papua, pun dengan Otsus jilid kedua yang sedang digodok. Sementara selama 19 tahun implementasi Otsus, banyak fakta mengerikan telah dialami langsung orang Papua: intimidasi, penghinaan rasis, pembungkaman ruang ekspresi, pembunuhan dengan alat negara yang mengarah ke genosida dengan rentetan kasus pelanggaran HAM.

Nanti tanggal 21 November 2020 tepat 19 tahun usia UU Otsus Papua. Selama masa implementasinya masih saja ada kesenjangan yang terjadi. Hal-hal substantif belum juga dilakukan pemerintah Indonesia. Banyak hal urgen lalai diwujudkan pemerintah.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Esensi mendasar dari sebuah gerakan pembangunan adalah demokratis atau keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sikap dan komitmen kuat pemerintah untuk bekerja dengan bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta penegakkan supremasi hukum.

Faktanya, amanah UU Otsus tidak mampu memberikan jaminan kepastian hidup, jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan dan sebagainya. Salah satu penyebabnya karena hingga kini banyak peraturan daerah khusus (Perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) yang belum juga digodok.

Dari sisi besaran anggaran Otsus sesuai data Kementerian Keuangan, secara keseluruhan sejak 2001 yang dikucurkan dari APBN berbunyi ratusan triliun rupiah. Sungguh fantastik! Dananya memang sangat besar. Tetapi pertanyaannya: mengapa rakyat Papua belum sejahtera? Berarti ada yang salah!.

Beberapa kali sudah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan UU 21/2001. Dievaluasi soal mandat dari tiap pasal (pasal 1-79); faktanya implementasi riil dari mandat itu selama 19 tahun Otsus berlangsung (21 November 2001-21 November 2020); apa yang harus dilakukan agar mandat itu dapat dilanjutkan?; dan aspek lainnya sebagaimana diatur dalam amanat Pasal 77 dan 78 UU Otsus Papua yang dirubah dalam UU Nomor 35 Tahun 2008.

Hasil evaluasi sudah diketahui. Lalu, negara mau lanjutkan jilid dua untuk memperpanjang kegagalannya dengan berbagai keberhasilannya menjajah: diskriminasi dengan membeda-bedakan kelas warga negara berdasarkan warna kulit (rasial), menutup rapat ruang ekspresi di muka umum, mengebiri hak-hak masyarakat adat, memperluas wilayah investasi, memarginalkan penduduk asli dibawah dominasi kaum migran, menguras kekayaan alam, membunuh orang Papua, itu yang mau dikehendaki? Stop sudah!

Lebih baik stop atur skenario politik untuk menyenangkan sesaat dan menyengsarakan seumur hidup pemilik negeri emas ini. Sebab, sehebat apapun kebijakannya, semua tahu bahwa Indonesia sudah gagal di Tanah Papua!. ***

Artikel sebelumnyaOknum Pelaku Penembak Dua Warga Sipil di Nduga Diminta Diberhentikan
Artikel berikutnyaWawancara Imajiner dengan Ketua MRP dan Ketua DPR Papua tentang Pokja Otsus