Sulitnya Orang Papua Ikut Merayakan HUT Kemerdekaan Indonesia

0
2033

Oleh: Yosef Rumaseb)*
Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak

Adalah fitrah kita manusia untuk bergerak menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Pun dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mengusahakan dari tiada menjadi ada, dari kurang sempurna ke makin sempurna. Mencari kalau belum menemukan.

Akankah fitrah ini terpenuhi di alam berbangsa dan bernegara yang sekarang atau yang nanti?

Merayakan HUT Kemerdekaan RI seharusnya merupakan manifestasi dari syukur dan sukacita atas penemuan fitrah berbangsa dan bernegara Indonesia.

Namun Indonesia yang ada sekarang adalah bangsa Indonesia yang sepertinya — yang memilih hendak — minus Orang Papua.

ads

Orang Papua masih menggeliat sesuai fitrah. Dari banyak kasus, saya kasih 3 contoh.

15 Agustus 1995 : Laporan Uskup Muninghoff OFM (alm) tentang pelanggaran HAM di area operasi Freeport dibuka. Besoknya, 16 Agustus 1995, semua media muat berita itu. Kemeriahan Peringatan HUT RI Ke-50 ibarat susu sebelanga yang rusak oleh nila setitik.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sepanjang beberapa tahun, darah dan air mata di Nduga tdk berhenti mengalir. Berapa banyak? Tak terhitung. Saya meloncatinya.

16 Agustus 2019 : Kasus rasisme dan persekusi mahasiswa Papua bermula di Surabaya dan menggelinding terus hingga menyulut aksi protes di seantero Tanah Papua. Demo anti rasisme disertai aksi anarkis. Kemeriahan HUT Proklamasi RI pun dirusak oleh nila nilai rasisme.

Kini, saat HUT Proklamasi RI ke-75 hendak dirayakan, balik lagi nila beberapa titik dituang ke dalam susu sebelanga kemeriahan itu. Veronika Koman, lawyer yang gigih merealisasikan hak OAP sebagai WNI sesuai sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dijadikan nila setitik. Pembahasan Revisi UU Otsus yg tdk dpt menyelesaikan 4 akar masalah Papua jadi nila setitik dalam susu sebelanga kemeriahan HUT RI ke-75.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Daftar ini akan panjang jika dibuat dengan teratur.

Apa dampaknya?

Kutipan beberapa pendapat dan kisah di bawah ini merangkum pandangan umum dari grass root di Papua.

Dr. Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI, berkesimpulan, “UU Otsus yang sudah diimplementasikan selama 20 tahun adalah kesempatan yang diberikan oleh OAP kepada pemerintah Indonesia untuk meng-Indonesiakan Papua tetapi pemerintah gagal memanfaatkan kesempatan itu. Selesaikan dulu masalah pelanggaran HAM.”

Ustadz Saiful Islam Al Payage, Ketua MUI Provinsi Papua, berkata, “Esensi dari implementasi Otsus selama 20 tahun adalah untuk mensejahterakan OAP dan meng-Indonesia-kan OAP. Sesudah 20 tahun, kedua esensi ini gagal dicapai. Buktinya, masih ada gerakan pro Merdeka dan data-data membuktikan Papua adalah peraih angka kemiskinan tertinggi”.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Saat seorang Bapa mengajak anaknya membeli bendara dalam rangka memperingati HUT RI ke-75, anak yang baru 10 tahun itu bertanya, “Beli bendera apa Bapa?”

Seorang anak yang ikut lomba gambar Bendera Merah Putih di Biak shock karena tekanan. Dia menggambar bendera Merah Putih berkibar di tiang bendera dengan warna dasar biru putih. Warna dasar bendera Papua.

Seorang anak berkata kepada Bapanya, “Bapa, sulit sekali kita orang Papua menjadi Indonesia. Kesulitan itu antara lain ditimbulkan oleh Indonesia. Kenapa bisa begitu kah?” (*)

Biak 13 Agustus 2020

 

Artikel sebelumnyaMengaku Siap Dibuang NKRI, Veronica Koman: Lepaskan Saya ke Papua!
Artikel berikutnyaKetua KNPB: Penjara adalah Hotel Gratis Bagi Pejuang Papua Merdeka