Praktik Sistem Politik Aneksasi Dalam Polemik Otsus Papua

0
1801

Oleh: Soleman Itlay)*
Penulis adalah masyarakat Papua di Jayapura

Aneksasi merupakan mode perbudakan khas kolonial Indonesia di tanah koloni modern, West Papua. Pada saat yang sama, perlawanan orang West Papua terhadap kolonial Indonesia, termasuk dalam penolakan Otsus Jilid II—sebuah tuntutan yang sesungguhnya meminta pemerintah pusat mencabut UU itu, merujuk  pada sistem politik aneksasi yang sama.

Belum ada pengertian secara  ilmiah dan yang cukup teoritis mengenai sistem politik aneksasi di dunia, secara khusus di daerah koloni Indonesia paling timur ini. Namun, menurut KBBI dan Wikipediai, aneksasi berarti memasukkan (menggabungkan) suatu wilayah tertentu ke dalam unit politik yang sudah ada (negara, negara bagian atau kota secara paksa).

Aneksasi dengan kata lain penggabungan dua hal (ideologi, pikiran, keinginan, cita-cita dll). Biasanya hal yang lebih kecil (minoritas/kaum budak/inferior) melekat pada sesuatu yang lebih besar (mayoritas/penguasa/superior). Sejumlah negara kolonial memperluas kekuasaan politiknya melalui aneksasi historis, meskipun PBB tidak lagi mengakui aneksasi sebagai alat politik yang sah.

Aneksasi tidak seperti penyerahan wilayah diberikan atau dijual melalui perjanjian (cession) secara sah dan legal. Aneksasi merupakan tindakan pencaplokan secara sepihak yang dapat dilegitimasi  melalui pengakuan umum secara sepihak oleh negara atau bangsa dan atau kelompok tertentu dengan dalih tertentu pula.

ads

Pengertian sederhana lain, aneksasi adalah sebuah bentuk tindakan pencaplokan pada sebuah wilayah tertentu milik kaum minoritas tertentu secara sewenang-wenang, yang dilakukan oleh negara atau bangsa atau kelompok mayoritas tertentu guna menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam pada daerah pendudukan, misalkan.

Kebanyakan orang memahami aneksasi itu hanya sebatas pencaplokan wilayah. Namun, kalau ditelaah baik dengan sistem politik aneksasi yang intensif, orang pasti akan jauh lebih memahami bahwa ternyata sistem politik aneksasi tersebut mencakup di segala sektor kehidupan umat manusia yang menjadi basis penindasan.

Pencaplokan yang paling berbahaya, gila dan mematikan ialah bukan sekedar pencaplokan wilayah pendudukan. Akan tetapi yang lebih parah ialah pencaplokan soal alam sadar manusia, pencaplokan alam berpikir manusia, pencaplokan terhadap eksistensi manusia, dan pencaplokan pola ketergantungan hidup dan mengalihkan orientasi hidup kaum budak sesuai keinginan dan kehendak penguasa.

Pencaplokan demikian merupakan sebuah entitas dari aneksasi yang sangat laten dan patut dicatat sebagai sebuah perkara aneksasi mutakhir di daerah ini. Paling serunya adalah mode aneksasi ini memiliki sebuah sistem politik aneksasi yang sangat cukup memakan waktu lama dan berhasil meningkatkan eksistensi proses perbudakan dan perlawanan disini.

Sistem politik aneksasi ini menjadi sebuah simbol atau benang merah yang dapat mengorganisir ide, gagasan, rumusan, keputusan, kebijakan dan tindakan strategis politik dalam rangka memperluas, memperdalam dan memperkokoh posisi kekuasaan politik kolonial Indonesia di West Papua.

Sistem politik aneksasi ini sudah berusia tua, memakan waktu yang sangat lama, semenjak daerah dan manusia di daerah pendudukan ini dipaksakan atau dianeksasikan bergabung dengan Indonesia. Barangkali memang terkesan tidak nampak dan terasa mengherankan karena memang memainkan peran sistem politik aneksasi satu ini sedemikian rupa.

Namun, tidak terlalu berat untuk mengetahui lebih lanjut dan semua orang bisa ketahui dari ciri-ciri utama daripada sistem politik aneksasi, yakni sebuah sistem yang sifatnya sangat memaksa (memaksakan), merumuskan dan atau memutuskan sebuah kebijakan secara sepihak, semauanya dia, sekehendak dia, tanpa kompromi dengan orang lain yang punya hak dlsb.

Aneksasi sama halnya dengan memaksakan atau mengambil atau mencaplok sesuatu (pikiran, isi hati, keinginan, pergumulan, harapan, cita-cita dlsb) dengan sangat paksa tanpa sedikitpun memberitahukan kepada pemilik atau tuan rumah/tanah dan atau tanpa melakukan kompromi dengan seseorang yang memiliki hak secara de joure dan de facto.

Aneksasi tidak hanya bermakna terbatas seperti dalam ruang lingkup pencaplokan wilayah yang dilakukan kolonial atas daerah pendudukan yang berstatus kawasan tak berpemerintahan. Kurang lebih tidak seperti kolonial Indonesia mencaplok wilayah koloni Belanda tanpa kompromi dengan orang West Papua selaku tuan tanah.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Pada 1961, kolonial mencaplok wilayah koloni modern itu, kemudian secara sepihak langsung merubah nama tempat, jalan, pegunungan, stadion, bandar udara, pelabuhan dan lain sebagainya. Misalnya, jalan Soekarno, M. Hatta, Ahmad Yanni, jalan Jawa, Sumatera, Ambon, Makassar, pegunungan Jayawijaya, Trikora, lapangan Trikora, Mandala dlsb.

Perubahan tersebut bisa dilihat sebagai pencaplokan kongkrit yang berkaitan dengan sistem politik aneksasi yang diprakarsai dan dijalankan oleh kolonial Indonesia. Apa yang terjadi pada jalan, pegunungan, stadion, bandar udara, pelabuhan dan lainnya itu berlaku di sektor pembangunan infrastruktur fisik secara sistematis dan berkelanjutan.

Hampir semua DOB mengalami perubahan yang sama dan tentu saja, secara langsung atau tidak langsung, pemerintah kolonial Indonesia menerapkan sistem politik aneksasi itu melalui kebijakan pemekaran DOB. Kolonial melakukan pendekatan ini karena sangat strategis guna memperluas sekaligus memperkokoh kekuasaan di daerah koloni modern itu.

Melihat Sistem Politik Aneksasi Dari Polemik Otsus Papua

Sistem politik aneksasi yang didorong oleh kolonial Indonesia di West Papua berlaku pada segala sektor pembangunan dan kehidupan masyarakat adat pribumi disana. Dari sekian banyak sektor itu, salah satu contoh yang paling kongkrit, bisa dilihat dari bagaimana kolonial Indonesia menerapkan sistem politik aneksasi dalam polemik UU Otsus Papua saat ini.

Pemerintah pusat melalui Mendagri, Tito Karnavian telah memasukkan RUU Otsus Plus Papua yang dibuat oleh pemerintah provinsi Papua pada 2013 ke DPR RI. Selanjutnya, untuk menetapkan sebagai Prolegnas. Proses berikutnya adalah tinggal menunggu DPR RI mengesahkan RUU tersebut sebagai UU yang sah.

Langkah mantan Kapolda Papua itu sangat bertentangan dengan pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua itu. Di dalam pasal itu berbunyi demikian: “usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPR Papua kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Bukan lagi persoalan lain, upaya sepihak yang dilakukan pemerintah pusat ini menunjukkan sebuah praktik dari sistem politik aneksasi tadi. Ada empat indikasi yang sangat kuat, bahwa kolonial Indonesia masih menerapkan sistem politik aneksasi dalam rangkah memperbaharui atapun memperpanjang UU Otsus Papua.

Pertama, kolonial menggunakan draf RUU Otsus plus tanpa koordinasi, memberitahukan dan kompromi dengan pemerintah provinsi Papua, selaku pemerintah daerah yang mengagas ide, menyusun dan menyajikan draf RUU Otsus plus Papua.

Kedua, pemerintah kolonial Indonesia melanggar pasal 77 UU No. 21 Tahun 2021 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua. Pelanggan terhadap pasal ini sama halnya dengan pemerintah pusat atau kolonial Indonesia tidak menghargai MRP, DPR dan pemerintah daerah setempat.

Ketiga, lebih dari pada itu, menyangkut poin kedua ini, kolonial Indonesia dengan sadar tidak mengakui, menghargai dan tidak berikhtiar baik terhadap orang West Papua.

Keempat, kolonial Indonesia tidak pernah tanya apa suara hati orang West Papua, apa kemauan dan keinginan orang West Papua yang sebenarnya.

Kolonial membelakangi UU yang kolonial sendiri sahkan, terutama pasal 77 di dalam UU Otsus Papua dan terlebih mengabaikan orang West Papua dalam rangka merumuskan, mendorong RUU Otsus Papua ke meja DPR RI.

Pada saat yang sama, kolonial mencaplok isi hati dan pikiran pemerintah provinsi Papua yang termuat di dalam draf RUU Otsus plus Papua, kemudian mengklaim dengan cara seolah-olah orang West Papua sepaham dengan Jakarta, Tito Karnavian, lalu memasukkan RUU Otsus plus Papua ke gedung parlemen kolonial Indonesia.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Setelah itu, kolonial yang sama mendorong wacana untuk melakukan evaluasi Otsus Papua secara total dan kemudian memperpanjang UU itu. Wacana ini juga kolonial dorong tanpa sedikitpun mempertimbangkan dan kompromi dengan orang West Papua yang benar-benar merasakan dampak, baik buruk dan manis pahitnya.

Kesemuanya itu, kolonial benar-benar sangat memaksakan diri dan pada saat yang bersamaan juga tentu sungguh amat memaksakan orang orang West Papua. Pemerintah pusat memaksa pemerintah provinsi dan daerah di West Papua untuk mengikuti keinginan mereka tanpa mempertimbangkan keinginan rakyat West Papua.

Sedangkan orang West Papua, dari Merauke hingga Sorong menolak UU itu dan mereka meminta dengan suara bulat, agar pemerintah kolonial Indonesia mencabut UU itu. Sebagai konsekuensinya, mereka mendesak pemerintah kolonial mengakui kedaulatan politik, menyetujui untuk gelar referendum di West Papua, gugat PEPERA 1969 dan selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di West Papua.

Namun, kolonial sangat alergi terhadap tuntutan kaum budak kulit hitam di daerah koloni Indonesia itu. Dia menolak mentah-mentah dan satupun tidak menyetujui itu. Malah dengan paksa mengajak dan meminta orang West Papua harus tunduk pada kekuasaannya. Dia terus mendesak kaum pribumi agar menerima kebijakan politik etis itu.

Kolonial terus pasang badan dimana-mana. Dia mendekati sejumlah tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat yang merupakan bagian dari garis milisi kolonial di dalam sistem birokrasi agar mendukung upaya pemerintah pusat guna melakukan evaluasi Otsus dan memperpanjang UU yang cukup memanjakan, melumpuhkan dan mematikan saraf hidup dari orang-orang setempat.

Hampir 40 organisasi yang tergabung di dalam PRP, sebuah komunitas yang mendukung sikap penolakan sekaligus meminta supaya kolonial mencabut UU itu. Sudah berkali-kali mengingatkan pemerintah kolonial melalui media masa.

Kompromi politik etis antara pemerintah kolonial dengan kaum borjuis dan oportunis lokal hingga nasional sangat merugikan masyarakat sipil West Papua. Untuk ini, mereka meminta agar kolonial hentikan upaya untuk mewujudkan perpanjangan Otsus Papua dengan manuver politik yang melibatkan kelompok tersebut.

Akan tetapi kolonial tetap memaksakan dan tetap memakai jasa kelompok yang sebenarnya milisi pro pemerintah kolonial ini supaya dapat melakukan kompromi-kompromi politik, yang ujung-ujungnya nanti mendukung dan menyelenggarakan apa yang dikehendaki oleh pemerintah pusat dalam rangka mempertahankan kekuasaan di daerah koloni modern.

Dalam polemik Otsus Papua sangat jelas amat tentang bagaimana kolonial Indonesia masih aktif menerapkan sistem politik aneksasi tadi. Kolonial masih menggunakan mode pendekatan aneksasionis (bersifat aneksasi) guna mencapai tujuan, yaitu tetap menguasai dan dengan demikian bebas melakukan eksploitasi sumber daya alam di West Papua.

Joko Widodo Mendikte Pendekatan Politik Aneksasi Dari Soekarno

Apa yang hari ini kolonial Indonesia lakukan untuk mempertahankan West Papua, pernah dilakukan oleh Soekarno dalam rangka mencaplok West Papua pada 1940-an. Pada 1950-1960, Soekarno pernah memulai dan menerapkan pendekatan sistem politik aneksasi dimana-mana.

Pertama, Soekarno milirik pulau West Papua dengan hati, pikiran, mata dan jiwa raga yang berkaitan dengan sudut pandang aneksasi.

Kedua, Soekarno mengklaim dan mencaplok pikiran, hati dan keinginan orang West Papua secara sepihak tanpa melakukan kompromi dengan baik.

Ketiga, Soekarno mulai angkat bicara West Papua bagian dari Indonesia dengan alasan “semua wilayah bekas koloni Hindia Belanda adalah satu kesatuan dari Indonesia”.

Keempat, Soekarno mulai angkat bicara itu di dalam rapat-rapat BPUPKI, PPKI, KMB, dalamn diplomasi politik di AS, Uni Soviet, dalam proses New York Agreement, Roma Agreement, Operasi Militer “Trikora”, PEPERA 1969 dan lainnya.

Kelima, presiden Soeharto hinggga Joko Widodo lebih banyak mengartikulasikan sistem politik aneksasi itu melalui kebijakan-kebijakan nasional bagi West Papua, seperti UU Otsus, UP4B, DOB dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Keenam, presiden Joko Widodo saat ini lebih banyak memaksakan—menganeksasikan kehendak dan memaksakan pembangunan di sektor infrastruktur fisik dengan dalih untuk pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan bagi orang West Papua.

Ketujuh, Joko Widodo bekerja dibawah kendali mantan presiden yang pernah menandatangani UU Otsus Papua, Megawati Soekarnoputri. Saat ini dia berperan penting di bilakanng Jokowi untuk melanjutkan UU itu secara “paksa” di West Papua kembali.

Joko Widodo dan Fokus Kebijakan Politik Aneksasi di West Papua

Presiden Jokowi terus memaksa diri guna mendikte pendekatan sistem politik aneksasi yang pernah digunakan orang tua kandung dari Megawati, Soekarno di sektor pembangunan infrastruktur fisik di West Papua.

Presiden yang sama, terus memaksakan kehendak sendiri dan pemerintah kolonial sendiri, tanpa sedikitpun mempertimbangkan dan kompromi dengan orang West Papua guna memperpanjang UU tersebut.

Kesemuanya itu mengandung motif-motif sistem politik aneksasi. Apa yang pernah Soekarno tabur dari penerapan sistem politik aneksasi itu membuat orang West Papua terjajah di bawah kekuasaan kolonial Indonesia selama 58 tahun.

Tidak ada ada yang beda dan baik. Di masa rezim otoriter Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Joko Widodo saat ini tidak ada yang rubah dan baik. Semuanya, malah meningkatkan beban penderitaan dan mengintensifkan perbudakan terhadap orang West Papua.

Penerapan sistem politik aneksasi dalam polemik Otsus Papua saat ini bukannya akan menyelesaikan persoalan di West Papua, akan tetapi malah akan memperluas, memperdalam dan memperkokoh kekuasaan kolonial. Pada saat yang sama akan menindas rakyat West Papua melalui UU itu. Andai saja itu dilanjutkan atau diperpanjang kembali.

Pendekatan sistem politik aneksasi itu walaupun akan berhasil, tentunya juga akan menimbulkan rasa kecurigaan, meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap kolonial Indonesia. Mengapa, karena apa yang sedang dan akan kolonial capai adalah dengan menggunakan sistem politik aneksasi yang penuh kongkalikong.

Jalan Alternatif Bagi Kolonial dan Kaum Budak West Papua

Pendekatan itu justru di kemudian hari akan merusak nama baik dan wibawa kolonial di mata orang West Papua hingga di dunia internasional. Entahlah, Otsus mau dilanjutkan atau tidak, kolonial harus memikir jalan alternatif, yang jauh dari konteks sistem politik aneksasi.

Salah satu jalan yang lurus, efektif, damai dan sangat tengah adalah jalan yang dianjurkan oleh JDP, Dewan Gereja Papua (DGP) dan lainnya yang meminta kolonial Indonesia untuk berunding atau berdialog dengan TPNPB/OPM bersama ULMWP.

Jalan damai dan jalan tengah seperti ini pernah ditempuh kolonial Indonesia untuk membicarakan status Otsus di Aceh dengan GAM di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Hasilnya cukup memuaskan. Mengapa kolonial Indonesia tidak menempuh jalan yang sama atau mengapa tidak mau berunding dengan TPNPB/OPM bersama ULMWP?

Mereka kurang lebih bersedia kalau perundingan itu difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral, independen, berkompeten dan profesional. Kolonial Indonesia harus berjiwa besar dan menunjukkan sikap sebagai negara paham demokrasi terbesar yang bisa berdialog dan atau berunding dengan kelompok yang berseberangan.

Tidak perlu bimbang dan ragu sebelum mencoba, apalagi melakukan perundingan dengan kelompok pro kemerdekaan West Papua, yang memang ingin pisah dari NKRI. Merdeka sekalipun, West Papua itu tetangga kolonial Indonesia. Sebagai tetangga bisa saling komunikasi dan saling membantu serta melengkapi kekurangan.

Apa yang susah dan berat? Tidak ada. Buang itu, pendekatan sistem politik aneksasi tadi. Bangun pendekatan yang humanistik, toleransi, dan demokratis. Hanya dengan itu sajalah yang menyelesaikan persoalan West Papua dan kolonial Indonesia menjadi negara yang akan dikenang dan disegani oleh semua suku bangsa, termasuk kaum budak West Papua. (*)

 

 

Artikel sebelumnyaBupati Sorong Cabut SK Perkebunan Kelapa Sawit milik PT. MMP
Artikel berikutnyaMahasiswa Intan Jaya Desak Militer Ditarik dari Tanah Migani