Artikel20 Tahun Otsus Harus Diselesaikan Dengan Dialog

20 Tahun Otsus Harus Diselesaikan Dengan Dialog

Oleh: Yan Christian Warinussy)*

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.

Rakyat Papua di berbagai wilayah di Bumi Cenderawasih terus menggelorakan sikap menolak kebijakan otonomi khusus. Namun Pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD justru mengumumkan penambahan dana penerimaan khusus yang besarnya setara dengan 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional menjadi 2,5 persen.  Sehingga itu akan menjadi salah satu perubahan (revisi) terbatas dari isi pasal 34 ayat (3) huruf c, angka 2 dari UU RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Sebagaimana dirubah dalam UU RI Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang Undang.

Langkah Pemerintah Indonesia ini menurut pemahaman hukum saya sangat bertolak belakang dengan jiwa dan semangat dari UU Otsus Papua itu sendiri. Mengapa demikian? Karena pemerintah Indonesia tidak mampu merespon secara positif keinginan rakyat Papua yang menolak pemberlakuan kebijakan otonomi khusus dan justru mendesak dilakukannya referendum.

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi gagal membangun sebuah dialog damai dengan rakyat Papua. Padahal dialog damai sesungguhnya merupakan sarana yang efektif untuk mempertemukan rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia dalam membahas perbedaan pendapat, pandangan dan pemahaman di dalam konteks mencari solusi damai di dalam sebuah negara demokrasi.

Penambahan presentase penerimaan khusus dalam rangka Otsus di Tanah Papua dari 2 persen menjadi 2,5 persen setara DAU Nasional menurut saya bakal membawa dampak signifikan bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan keamanan domestik di tanah Papua dalam masa mendatang. Ini berkaca dari pengalaman yang lalu, karena setelah adanya kucuran dana Otsus setara 2 persen DAU Nasional di awal tahun 2002, maka pertumbuhan penduduk kian meningkat, karena migrasi spontan dari luar Papua ke Bumi Cenderawasih kian meningkat signifikan.

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Sayang sekali karena kendatipun ada pertumbuhan ekonomi, tapi tidak terjadi keberpihakan dan pemberdayaan bagi rakyat Papua. Ini disebabkan karena mayoritas migrasi yang datang dari luar Papua bukan merupakan kelompok pemodal (kapital) yang mampu melakukan kegiatan penanaman modal dan pembukaan lapangan kerja baru. Melainkan modal yang sesungguhnya ada untuk peningkatan kesejahteraan rakyat Papua menjadi terserap oleh kehadiran para migran tersebut. Akibatnya pertambahan angka kemiskinan di tanah Papua kian terus meningkat.

Kebanyakan pemerintah daerah kabupaten atau kota dan kedua provinsi yang ada belum mampu mengembangkan sumber-sumber pendapatan asli daerah, karena lebih dari 40 persen sumber penambahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) nya masih berasal dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Saya melihat Prof. Mahfud MD justru membohongi rakyat Indonesia umumnya dan rakyat Papua khususnya bahwa rencana pemekaran tanah Papua ke depan menjadi 5 (lima) provinsi dengan penambahan 3 (tiga) provinsi baru adalah amanat UU Otsus? Ini bohong besar, karena di dalam amanat pasal 76 bukan mengamanatkan seperti maksud Menkopolhukam RI tersebut.

Justru pasal 76 menyebutkan tentang prosedur dan mekanisme pelaksanaan pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat yang mesti dilakukan atas persetujuan MRP dan MRPB serta DPRP dsn DPR PB.  Pertanyaannya sekarang, apakah rencana pemekaran 3 (tiga) provinsi baru yang dikatakan oleh Mahfud MD tersebut sudah memperoleh persetujuan dari MRP, MRPB, DPRP dsn DPRPB?

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Sebab persetujuan lembaga-lembaga terhormat tersebut hanya dapat dilakukan setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.

Dengan demikian maka saya ingin mengingatkan para pimpinan dan anggota MRP, MRPB, DPRP dan DPR PB untuk secara jujur dan terbuka melakukan tatap muka dengan rakyat Papua, guna memberi jawaban apakah benar keempat lembaga terhormat dan mulia yang dibentuk karena adanya kebijakan Otsus telah memberi persetujuan mengenai rencana pemekaran 3 (tiga) provinsi baru di tanah Papua nantinya?

Kenaikan angka presentase penerimaan khusus dalam rangka Otonomi Khusus di Tanah Papua dari 2 persen menjadi 2,5 persen menjadi menarik untuk dikritisi.

Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saya hendak mempertanyakan manfaat apa yang akan diperoleh rakyat Papua, khususnya Orang Asli Papua (OAP) dalam jangka waktu 20 tahun mendatang pasca perubahan isi pasal 34 ayat (3), huruf c, angka 2, UU RI Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tersebut.

Bagaimana dampak dari penambahan presentase dana Otsus tersebut bagi pemberdayaan ekonomi rakyat Papua? Apakah dana Otsus bagi mama-mama Papua cukup hanya untuk mereka berjualan sirih pinang saja? Apakah dana Otsus bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas perempuan asli Papua untuk bisa membuka usaha catering? atau laundry? atau memasok kebutuhan persediaan sayur daging bagi perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport Indonesia atau BP Indonesia atau Semen Conch misalnya?

Apakah dana Otsus hanya untuk OAP yang sakit dan mereka hanya bisa dirawat di ruang rawat kelas III dengan standar pelayanan minimal sahaja? Apakah dana Otsus bertambah dengan presentase besar ke Kabupaten/kota di tanah Papua bisa menjamin bahwa kesempatan pertama dan utama akan didapatkan oleh OAP? Terutama dalam menikmati kesempatan diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)? Apakah penambahan dana Otsus ke daerah kabupaten di wilayah pegunungan Papua bakal mengurangi konflik dan aksi kekerasan bersenjata api selama ini?

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Menurut pendapat saya bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat memerlukan jawaban yang jujur dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah di tanah Papua, termasuk DPR dan MRP serta TNI, Polri. Bila perlu ada jawaban jujur dari kelompok-kelompok sipil bersenjata yang selama ini dinyatakan sebagai “pengganggu keamanan” di wilayah pegunungan Papua. Termasuk juga Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Itulah sebabnya saya selaku Deputy Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) senantiasa mendorong pentingnya dilaksanakan Dialog Damai diantara semua pihak tersebut untuk meletakkan persoalan-persoalan utama dan penting di atas kerangka masalah yang dapat diurai dan dicari solusinya secara bersama dengan mengedepankan perdamaian.

Ini penting, karena selama adanya kucuran dana Otsus setara 2 persen, konflik sosial politik dan kekerasan meningkat secara signifikan selama lebih dari 20 tahun terakhir. Bahkan sangat jarang memperoleh penyelesaian secara adil, termasuk melalui proses penegakan hukum yang fair. Itulah sebabnya dialog menjadi saran yang menurut pandangan saya akan efektif untuk merumuskan masalah yang dialami dan terjadi selama 20 tahun berlangsungnya kebijakan Otsus di tanah Papua. Sehingga bisa memberi kontribusi jawaban bagi kepentingan evaluasi sesuai amanat pasal 78 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otsus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat juga. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.