Aneh! Lembaga Negara Gagalkan Kegiatan Negara di Papua

0
1261

PANIAI, SUARAPAPUA.com — Rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus yang direncanakan Majelis Rakyat Papua (MRP) di masing-masing wilayah adat selama dua hari diperhadapkan dengan situasi yang tidak diduga sebelumnya.

Rapat Dengar Pendapat yang direncanakan pelaksanaanya pada 17–18 November 202 tersebut dibatalkan oleh lembaga lain yang semestinya tidak boleh terjadi.

Demikian dikemukakan Okto Marko Pekei, ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago, melalui release kepada suarapapua.com, Kamis (19/11/2020).

Marko katakan MRP ialah lembaga negara yang dibentuk pasca pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka MRP merupakan satu kesatuan dengan Otonomi Khusus secara legitim menjadi Lembaga Kultur Orang Asli Papua telah diberi kewenangan untuk menjaring aspirasi Orang Asli Papua. Demikian pula Rapat Dengar Pendapat yang direncanakan MRP yang pelaksanaanya pada 17–18 November 2020 merupakan salah satu bentuk menjaring aspirasi.

“Ketika MRP hendak lakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di masing-masing wilayah adat, ternyata mereka diperhadapkan dengan situasi yang tidak diinginkan. Padahal rencana tersebut telah disampaikan kepada publik seminggu sebelumnya. Saat itu, tidak ada satu pihak pun yang menyikapi menolak atau meminta batalkan rencana tersebut,” ucapnya.

ads

Gubernur Papua, lanjutnya, kemudian menyampaikan kepada semua pihak di Provinsi Papua melalui media massa untuk mendukung Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang akan dilaksanakan oleh MRP dalam waktu dekat. Gubernur juga berharap agar kegiatan tersebut dilaksanakan dengan aman dan lancar dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Informasi tersebut sudah diketahui publik karena diliput beberapa media masa baik media cetak, media online maupun media elektronik. Bahkan TVRI Papua telah menyiarkan beberapa kali.

Namun aneh adalah, imbuh Marko, beberapa hari kemudian menyusul Maklumat Kapolda Papua yang isinya menekankan dua hal yaitu; Pertama; Dalam pelaksanaan RDP wajib memperhatikan protokol kesehatan Covid 19 yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan Kedua; Dalam pelaksanaan kegiatan RDP dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus pada tindak pidana keamanan negara “makar”.

Baca Juga:  Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

“Jadi, maklumat Kapolda tersebut tidak melarang pelaksanaan RDP. Lantaran, fakta yang terjadi di kabupaten berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur dan Kapolda,” bebernya.

Kemudian sehari sebelumnya, lanjut bebernya, pelaksanaan kegiatan RDP di Wilayah Meepago yang dipusatkan di Dogiyai, Kapolres Nabire dan Bupati Nabire juga mengeluarkan surat yang isinya bertolak belakang dengan pendapat kedua pemimpin di Provinsi.

“Bupati Nabire mengeluarkan surat dengan nomor 330/2919/set tentang Penolakan Rencana Pelaksanaan RDP di Wilayah Meepago tersebut merujuk pada Surat Kapolres Nabire dengan nomor surat B/775/XI/YAN/2.1/2020/Intelkam perihal pertimbangan tempat pelaksanaan kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kabupaten Dogiyai yang mendapat penolakan dari sejumlah komponen masyarakat di wilayah Adat Meepago dan akan menimbulkan kerawanan keamanan dan ketertiban masyarakat di Wilayah Meepago,” terangnya.

Ia menilai, berdasarkan tanggapan yang berbeda antara pemimpin di tingkat provinsi dan pemimpin di tingkat kabupaten atas rencana pelaksanaan RDP tersebut diatas, bupati Nabire tidak menjadikan seruan Gubernur Provinsi Papua sebagai rujukan dalam surat yang dikeluarkan sehingga terkesan mengabaikan petunjuk atasan.

“Lantas, pertanyaannya; Sejauh mana kordinasi antar lembaga pemerintah terkait pelaksanaan RDP? Jika ada kordinasi antar lembaga, tetapi Bupati Nabire sengaja mengabaikan seruan Gubernur, maka sikap tersebut menunjukan tidak menghargai Gubernur sebagai Pimpinan,” tekannya.

“Sebaliknya; apabila tidak ada kordinasi antar lembaga pemerintah, maka semestinya Bupati Nabire tidak boleh mengeluarkan surat penolakan RDP, sebab tempat pelaksanaan kegiatan RDP bukan di wilayah Kabupaten Nabire. Tempat pelaksanaan RDP di Dogiyai, maka yang berwenang keluarkan surat penolakan ialah Bupati Dogiyai sehingga surat penolakan yang dikeluarkan oleh Bupati Nabire ialah salah satu bentuk intervensi kewenangan pemimpin lain.”

Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

Pertanyaan lebih lanjut ialah, kata Marko, apakah Bupati memiliki kewenangan untuk membatasi kewenangan MRP? Tentu tidak. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 dan Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tidak terdapat pasal atau ayat yang menegaskan bahwa Kepala Daerah “Bupati” berhak membatasi kewenangan MRP.

“Justru MRP-lah yang berwenang meminta keterangan atau penjelasan kepada Kepala Daerah jikalau Kepala Daerah dalam kebijakannya tidak memperhatikan hak-hak Orang Asli Papua. Jadi Kepala Daerah tidak berhak mengintervensi tugas MRP. Demikian pula, Bupati tidak berhak menolak kegiatan RDP, sebab MRP menjalankan salah satu tugas yaitu menjaring aspirasi rakyat sebagai amanah undang-undang,” tuturnya.

Selain itu, menurutnya, maklumat Kapolda dan Surat Kapolres Nabire yang dijadikan sebagai rujukan dalam surat tersebut semestinya terlebih dahulu simak dan pahami baik-baik sebelum keluarkan surat, sebab maklumat Kapolda dan Surat Kapolres bukan perihal menolak pelaksanaan RDP.

“Surat Kapolres menyangkut pertimbangan tempat pelaksanaan RDP di Dogiyai dengan alasan adanya penolakan sekelompok masyarakat. Pertanyaannya; Apakah ada sekelompok masyarakat telah menyampaikan pendapat menolak kegiatan RDP? Jikalau ada, di kabupaten mana dan dari organisasi mana? Berdasarkan informasi melalui media masa menunjukkan bahwa tidak ada orang atau organisasi kemasyarakatan yang menyampaikan pendapat secara terbuka tentang sikap menolak pelaksanaan RDP. Kalau di Wilayah Lapago memang ada sekelompok orang yang memprotes kedatangan Tim MRP di Bandara Wamena, namun di wilayah Meepago tidak ada,” tukasnya.

“Jadi, faktanya tidak ada kelompok masyarakat di Wilayah Meepago yang menyampaikan pendapat menolak RDP. Sedangkan Dogiyai adalah daerah yang aman dan apalagi tempat pelaksanaan yang ditentukan MRP adalah tempat yang aman sehingga pelung untuk ribut atau mengganggu keamanan sangat tipis kemungkinan.”

Oleh karena itu, ungkapnya, sungguh ironis, jika kegiatan RDP yang dilaksanakan di Dogiyai akan mengganggu kamtibmas.

Baca Juga:  Empat Jurnalis di Nabire Dihadang Hingga Dikeroyok Polisi Saat Liput Aksi Demo

Ia lanjut menambahkan, jikalau ada pihak (individu atau kelompok) yang secara tertutup berupa surat penolakan telah disampaikan kepada pihak kepolisian barangkali mungkin, tetapi itupun semestinya harus dituangkan dalam surat Kapolres nomor B/775/XI/YAN/2.1/2020/Intelkam tersebut dan disampaikan kepada publik agar publik dapat memperoleh informasi yang berimbang.

Sehingga kembali ditudingnya, berdasarkan dinamika situasi yang tercipta menjelang pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Wilayah Meepago terkesan adanya keterlibatan pemerintah daerah dan lembaga negara (kepolisian) berperan menggagalkan pelaksanaan RDP.

“Pertanyaannya; Apakah MRP bukan lembaga negara? Tentu, ya. MRP adalah lembaga negara dan inilah bukti kongkrit pemerintah dan lembaga negara mengagalkan tugas lembaga lain padahal sama-sama berbakti untuk negara dalam konteks otonomi khusus. Hal ini barangkali terjadi demikian karena adanya rasa curiga yang berlebihan dan rasa curiga ada karena adanya mosi tidak saling percaya. Memang membangun rasa saling percaya tersebut terkesan ada sejak MRP dibentuk hingga sekarang yang terbukti melalui karya-karya MRP yang tidak banyak berdampak bagi Orang Asli Papua,” pungkasnya.

MRP menuai hasil yang sial sejak dibentuk sampai sekarang. MRP dibatasi, dihadang, ditolak, diintimidasi dan diteror. Kondisi ini mewarnai menjelang pelaksanaan RDP sehingga apa yang direncanakan tidak terlaksana sesuai harapan. MRP dianggap remah dan bahkan dianggap berada di bawah pemerintah sekalipun MRP ialah Rohnya Otonomi Khusus.

“MRP dianggap sekedar menunjukan adanya Otonomi Khusus diatas Tanah Papua. Kini masa pemberlakukan Otonomi Khusus tinggal hitung bulan; Sementara aspirasi orang asli Papua sudah disampaikan. Selanjutnya, nasib orang asli Papua ke depan setelah Otsus berakhir menjadi tugas berat yang mesti dipikirkan. Doa manusia dan alam Papua tentu menyertai dalam memikirkan tugas-tugas ke depan demi terbangunnya Papua Tanah Damai,” tutupnya.

Pewarta: Stevanus Yogi

Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaPelajar yang Tertembak di Puncak Telah Dievakuasi ke Timika
Artikel berikutnyaDiduga Kapolres Merauke Borgol Anggota MRP Karena Laporan BIN