DAP Bantah Maklumat BIN-BAIS Soal Papua Final dari NKRI

0
1157

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Dewan Adat Papua (DAP) membantah pernyataan kepala badan intelijen strategis (BAIS), Letnan Jendral TNI Joni Supriyanto yang menyatakan Papua sudah menjadi bagian dari NKRI, serta Referendum telah berakhir dengan PEPERA 1969. 

Membantah pernyataan yang dilansir kompas.com pada Sabtu (21/11), Ketua DAP, Dominikus Surabut mengatakan itu sesuatu yang sangat konyol. Sebab, kata dia, kalau wilayah Papua sudah final masuk ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kenapa mesti ada undang–undang Otonomi Khusus (Otsus) No. 21 tahun 2001 sebagai solusi politik?

“Kan itu nyatanya, bahwa proses pelaksanaan PEPERA tahun 1969 di Papua itu merupakan sejarah palsu dan cacat hukum. Karena militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969,” tegasnya kepada suarapapua.com  Senin (23/11/20). 

Terdapat unsur pemaksaan dalam pelaksanaan PEPERA 1969 yang penuh cacat hukum dan tidak demokratis. Sehingga wilayah Papua dimasukkan ke dalam NKRI. . 

Keterpaksaan tersebut, kata Dominggus, terlihat dalam dokumen militer; Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.

ads
Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

Selain itu juga, ditemukan adanya perintah–perintah oleh komando militer yang berujung pada penekanan untuk memenangkan referendum untuk menggabungkan Papua ke dalam wilayah republik Indonesia.

Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, yang ditujukan kepada Kamando Militer Resort-172 Merauke tertanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke.

Inti isi surat rahasia sebagai berikut; “kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk mengabungkan Papua dengan republik Indonesia (Sumber:Â Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000).”

Melihat isi surat itu, Dominikus menyebut negara Indonesia dalam hal ini kepala BAIS masih juga membohongi publik di era berakhirnya UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus di Papua. 

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Pasalnya, pada tahun 1969 usai dilakukan PEPERA di Papua, anggota resmi PBB juga melakukan protes keras dalam sidang umum PBB terkait kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969, di mana dilaksanakan di bawah tekanan militer Indonesia. PEPERA dilaksanakan dengan penuh kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.

“Iya, karena hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka dalam sidang umum PBB hanya mencatat take note yang artinya hasil PEPERA 1969 itu tidak disahkan. Namun, hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat,” jelas Dominikus. 

Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Letjen TNI Joni Supriyanto menegaskan Papua sudah sah menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 1969. Hal tersebut dibuktikannya dengan melihat penentuan pendapat rakyat (PEPERA) 1969 di Papua. 

“Kita mampu menyampaikan bahwa referendum di Papua sudah selesai dengan Pepera-nya, dengan Resolusi 2504, Majelis Umum PBB menyatakan bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari bagian NKRI,” kata Joni dalam webinar bertajuk Sinergi Anak Bangsa dalam Menjaga Keutuhan Bangsa dan Negara dari Aksi Separatisme di Dunia Maya, Sabtu (21/11)

Baca Juga:  MRP dan DPRP Fraksi Otsus se-Tanah Papua Minta Jokowi Terbitkan Perppu Hak Politik OAP

“Sehingga dari upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia waktu itu, didengar oleh PBB dan dilakukan Pepera. Kemudian, lobi-lobi politik antara Indonesia dengan negara luar untuk meyakinkan bahwa Papua adalah bagian Indonesia, dilakukan oleh petinggi kita zaman dahulu,” ujarnya. 

Di sisi lain, dia juga menyadari bahwa desakan gerakan separatisme seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), perlu diwaspadai. Terlebih lagi, saat ini gerakan tersebut dinilai sudah memasuki ranah dunia maya atau bergerak melalui media sosial (medsos).

“Untuk itu, tugas kitalah menjelaskan kepada khalayak banyak bahwa yang terjadi di Papua tidak seperti yang muncul di media sosial. Jadi, hari ini adalah perang opini yang dibentuk oleh kelompok-kelompok propaganda, khususnya OPM dan kita juga harus mampu membalas atau meluruskan,” tukasnya. 

Pewarta: Onoy Lokobal
Penyunting: Yance Agapa
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaIni Kronologi Intimidasi Terhadap Helena Hubi oleh LMA Jayawijaya
Artikel berikutnyaPastor Pius Manu Diteror Anggota Polres Merauke