BeritaIni Alasan Tidak Dibangunnya Pabrik Smelter di Papua

Ini Alasan Tidak Dibangunnya Pabrik Smelter di Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Vice President Corporate Communications (Corpcom) yang juga Juru Bicara PT. Freeport Indonesia, Riza Pratama, membeberkan alasan perusahan tidak membangun pabrik Smelter di wilayah Papua.

Mestinya kata Riza, sejak Kontrak Karya (KK) pertama, PTFI membangun pabrik Smelter di Indonesia.

Pada tahun 1996, PTFI kemudian membangun smelter di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dan mulai beroperasi pada tahun 1998 dengan kapasitas 1 juta ton konsentrat per tahun.

“Kapasitas 1 juta ton konsentrat per tahun itu masih kurang. Karena produksi kita sampai mencapai 3 juta ton per tahun. Sehingga 2 juta tonnya di eksport,” kata Riza pada saat diskusi bersama pimpinan media di Timika, Senin (5/4/2021) sebagaimana disiarkan seputarpapua.com.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Selanjutnya, pada Kontrak Karya kedua, PTFI kembali membangun pabrik Smelter di wilayah Gresik, untuk menutupi kekurangan 2 ton tersebut.

Namun karena pandemi Covid-19, sehingga pembangunan pabrik tersebut belum bisa dilanjutkan. Hal itu dikarenakan kontraktor dari berbagai negara seperti Jepang, Finlandia, dan Australia tidak bisa datang ke Indonesia.

“Dari itu, kami berkoordinasi dengan pemerintah untuk menunda satu tahun penyelesaian pembangunan Pabrik Smelter yang kedua di Gresik. Di mana, seharusnya pembangunan itu diselesaikan akhir 2020 kemarin, tapi karena pandemi belum bisa dilakukan,” ujar Riza.

Selama berjalannya proses pembangunan Pabrik Smelter di Gresik, kata Riza, di Halmahera, Provinsi Maluku Utara ada perusahaan Tsinghan Steel dari Cina yang sedang dibangun dan membutuhkan asam sulfat dalam jumlah besar untuk mengurai biji Nikel.

Baca Juga:  Panglima TNI Bentuk Koops Habema Tangani Papua

Karenanya, dibutuhkan pabrik Smelter yang hasil akhir dari produksinya adalah asam sulfat.

“Ini yang masih dalam pembahasan secara detail, antara Pemerintah, Freeport, dan perusahaan dari Tsinghan tersebut. Bagaimana hasilnya, saya belum bisa menjelaskan secara detail,” ujarnya.

Menurutnya, pembangunan pabrik Smelter di Gresik maupun di Halmahera ada alasan tertentu. Hasil akhir dari pabrik Smelter salah satunya adalah asam sulfat yang sangat berbahaya apabila tidak diolah.

Untuk itu, dibutuhkan fasilitas atau pabrik yang membutuhkan asam sulfat tersebut.

“Kalau di Gresik, asam sulfat bisa dimanfaatkan oleh pabrik-pabrik pupuk maupun semen. Begitu juga kalau jadi dibangun di Halmahera, membutuhkan asam sulfat yang besar untuk mengurai Nikel,” tutur Riza.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

Alasan itulah kata Riza, hingga pembangunan pabrik Smelter belum bisa dibangun di wilayah Papua.

Disamping itu, ketersediaan pasokan listrik yang sangat besar untuk mengurangi katoda dan anoda di pabrik Smelter tersebut.

“Kalaupun dibangun di Papua, maka membutuhkan biaya yang besar. Mulai dari pembangunan fasilitas pengolahan asam sulfat. Sampai pada masalah kelistrikan yang ada,” ungkapnya.

Riza menambahkan, apabila asam sulfat itu tidak diolah, maka kandungan asam yang ada bisa mencemari lingkungan dan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.

“Itulah alasannya, kenapa pabrik smelter tidak dibangun di Papua,” pungkasnya.

 

Sumber: seputarpapua.com

Editor: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.