KWI Harus Bicara Konflik Kekerasan di Tanah Papua

0
1622
Logo KWI. (Ist - SP)
adv
loading...

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Sikap diam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) terhadap persoalan kemanusiaan di Tanah Papua diharapkan segera diakhiri. Suara kenabian mesti diaktualisasikan sebagai bukti keberpihakan terhadap umat sebagai kaum lemah bertahan hidup dalam situasi tak pasti yang masih terus berlanjut semenjak enam dasawarsa terakhir.

Dari sejumlah kasus kemanusiaan di Tanah Papua yang tak disuarakan KWI, dua diantaranya adalah penembakan terhadap empat orang di distrik Fayit, Keuskupan Agats, 27 Mei 2019, dan dua Katekis di Paroki Bilogai, Dekanat Moni-Puncak Jaya, Keuskupan Timika, setahun silam.

Kewajiban moral Gereja adalah menyuarakan ketidakadilan dan tindakan yang membelenggu martabat manusia sebagai ciptaan luhur Tuhan. Sudah selayaknya Gereja melalui KWI menyuarakan konflik berkepanjangan di Tanah Papua yang berdampak terhadap umat Tuhan.

Harapan tersebut dikemukakan Oktovianus Marko Pekei, salah satu tokoh awam Katolik Papua, sehubungan dengan kunjungan pastoral Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta yang juga Kardinal Indonesia sekaligus ketua KWI ke wilayah pedalaman Keuskupan Timika, pekan lalu.

Kardinal Suharyo berkunjung ke Paroki Maria Menerima Kabar Gembira (MMKG) Bomomani Dekanat Kamuu-Mapiha. Salah satu agendanya, memimpin misa pemberkatan Gereja Katolik Bunda Maria Penolong Abadi Stasi Epomani, distrik Siriwo, Nabire, Sabtu (5/6/2021). Dari Bomomani, Uskup KAJ bersama rombongan “bergerak” ke Paroki Segala Orang Kudus (SOK) Diyai Dekanat Tigi, tepatnya di Stasi Puduu. Kardinal memimpin misa pemberkatan Gereja Katolik Santo Petrus Stasi Puduu, Kamis (10/6/2021).

ads

Terlepas dari kunjungan pastoral, kehadiran ketua KWI dipergunjingkan berbagai pihak lantaran selama ini terkesan diam terhadap terus berlanjutnya berbagai persoalan di Tanah Papua. Fakta bahwa hingga kini konflik kekerasan di Tanah Papua masih terjadi, dan umat Tuhan korbannya. Karena itu, Marko tegaskan, penderitaan umat di Tanah Papua adalah realita penderitaan Gereja.

Dalam keterangan tertulis kepada suarapapua.com, Marko mengungkapkan kondisi buruk yang dialami Gereja dalam hal ini umat adalah Gereja yang menderita lantaran konflik berkepanjangan yang hingga kini belum diselesaikan.

“Konflik di Tanah Papua kini berubah menjadi konflik kekerasan. Dampak dari konflik kekerasan yang terjadi itu sedang mengorbankan Gereja karena banyak umat yang mengungsi, lapar, sakit, bahkan ada pula yang meninggal dunia. Ini realita penderitaan Gereja. Oleh karena itu, pimpinan Gereja tidak boleh diam. KWI harus berbicara realita penderitaan umat Tuhan akibat konflik kekerasan ini,” tuturnya.

Karena itu, ia berharap agar persoalan umat Tuhan semestinya disuarakan pemimpin Gereja sebagai perwujudan misi penyelamatan ciptaanNya di dunia.

“Gereja di Tanah Papua sebagai bagian dari KWI perlu menjadi penyambung suara penderitaan umat akibat konflik kekerasan yang berkepanjangan ini,” ujar Marko.

Marko menyatakan, kewajiban moral KWI memberi perhatian serius atas konflik kekerasan di Tanah Papua tanpa melihat kepentingan pihak manapun.

Baca Juga:  Tewasnya Tobias Silak Harus Diproses Hukum, Lawan Impunitas di Tanah Papua

“Sebab tugas utama Gereja adalah pewartaan keselamatan manusia yang tentu menjunjung martabat manusia siapapun dan dari manapun termasuk di Tanah Papua,” tegasnya.

Kewajiban moral tersebut menurut Marko, bagian tak terpisahkan dari tugas kenabian.

“Dalam konteks kewajiban moral yang terikat pada tugas kenabian, KWI tidak bisa melihat Papua hanya dalam konteks kepentingan negara. Kewajiban moral Gereja dalam menyuarakan ketidakadilan dan tindakan yang membelenggu martabat manusia lebih besar daripada kepentingan negara, sebab kewajiban moral Gereja bersifat universal tanpa dibatasi ruang dan waktu,” beber Marko.

Tak Suka Gembala Buta

Thedy Pekei, salah satu intelektual muda Katolik Papua, mengaku tak setuju seorang pemimpin Gereja Katolik Indonesia yang selama ini terkesan diam dan buta mata hati terhadap fakta tragis yang selalu menimpa umat Tuhan hadir di Tanah Papua.

Ia beralasan, selama ini tak ada suara gembala menyikapi situasi penindasan yang dialami rakyat Papua sebagai umat Tuhan yang nota bene domba-dombanya.

Karena itu, Thedy bahkan menganggap kehadiran Kardinal Indonesia tak berdampak positif bagi orang Papua terutama umat Katolik.

“Tidak perlu agung-agungkan Kardinal Indonesia yang selama ini buta melihat umat Tuhan yang sedang tertindas. Jangan euforia berlebihan terhadap kehadirannya di Papua khususnya Deiyai, salah satu wilayah pastoral Keuskupan Timika,” ujarnya.

Kunjungan tersebut menurut Thedy seremonial belaka, selain agenda pastoral ke Paroki Bomomani sebagai wilayah misi pastoral KAJ sejak beberapa tahun lalu.

“Kardinal ini tidak punya hati terhadap umatnya yang sedang tertindas. Saya harap, umat harus menyadari tentang apa yang Kardinal bikin untuk umat tertindas terutama umat di Papua yang selalu berada dibawah moncong senjata aparat negara,” tekan Thedy.

Kerinduan umat Katolik Papua selama ini, beber Thedy, pemimpin Gereja Katolik di Indonesia angkat bicara, menyuarakan jeritan dan tangisan umatnya. Suara gembala atau suara kenabian seturut esensi sakramen tahbisan menurutnya tak pernah diperlihatkan hingga bikin kecewa umat dan terus menahan kepedihan luka bathin berkepanjangan.

“Kalau Kardinal tidak memposisikan diri sebagai gembala penyelamat dombanya, ngapain domba mengagung-agungkan gembala?,” kata Thedy mewakili suara kaum awam Katolik Papua.

Fakta miris di Tanah Papua, sebutnya, selain beberapa umat Katolik, dua Katekis di Intan Jaya yang secara hirarki adalah perpanjangan tangan Kardinal di tingkat bawah tertembak peluru aparat keamanan.

“Kardinal tidak bicara ketika Katekis di Intan Jaya ditembak mati. Bikin apa selama ini sampai mau ke Papua terutama wilayah Meepago? Saya tidak setuju kunjungan Kardinal. Saya umat awam Katolik Papua tolak Kardinal datang,” ujarnya.

Thedy beralasan, ketika banyak umat Tuhan korban di Tanah Papua, Kardinal sebagai pimpinan Gereja Katolik di Indonesia tidak pernah bersuara.

Baca Juga:  Pemerintah Pusat Paksakan DOB Lahirkan Darurat HAM dan Hak Masyarakat Adat Papua

“Selama ini tidak ada suara kenabian dari Kardinal,” Thedy menilai.

KWI Selalu Diam

Natalius Pigai, aktivis kemanusiaan yang juga mantan Komisioner Komnas HAM, mengakui tiadanya suara kenabian KWI terhadap persoalan Papua terutama ketika umat Katolik turut menjadi korban tindakan tak berperikemanusiaan negara melalui aparatusnya.

Pigai menyebut itu terbukti dalam kasus penembakan terhadap dua Katekis dari Paroki Santo Michael Bilogai, Dekanat Moni-Puncak Jaya, Keuskupan Timika, Rufinus Tigau (28) dan Agustinus Duwitau (23). Secara hirarki Gereja Katolik, Katekis adalah pelayan Sabda Tuhan di tingkat Paroki, Stasi dan Komunitas Basis (Kombas) yang hari-hari menjalankan tugas mulia di tengah umat Tuhan.

Aktivitas terpopuler asal Papua yang semasa kuliah berkecimpung di PMKRI Yogyakarta itu mengaku kesal dengan bungkamnya suara KWI terhadap dua kasus kejahatan kemanusiaan di Bilogai, kabupaten Intan Jaya.

Padahal, saat itu ia sempat mendesak KWI bicara tragedi yang menimpa dua Katekis dari Paroki Bilogai.

“Kasus penembakan dua Katekis ini tidak boleh didiamkan. KWI harus turun tangan untuk mengungkapnya ke publik,” desaknya kala itu.

Pigai berpendapat, fakta ini membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua telah merusaki sendi-sendi kerohanian yang sesungguhnya mesti dihormati negara.

“Umat Katolik menunggu suara kenabian KWI. Penembakan terhadap Katekis harus menjadi perhatian Vatikan, Pax Romana di PBB, dan Fransiscan International di PBB,” harap Pigai.

Desakan sama disampaikan Laurenzus Kadepa, Anggota Komisi 1 DPRP, kepada para pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua termasuk KWI agar tak boleh diam terhadap kasus penembakan dua Katekis dari Paroki Bilogai.

Kadepa bahkan minta Keuskupan Timika segera sampaikan sikap. Kasus penembakan dua Katekis itu harus diangkat oleh semua Uskup di Tanah Papua, sekaligus dijadikan sebagai sorotan serius dari KWI.

Jika dibiarkan, ia khawatirkan, kasus serupa bisa saja terulang di kemudian hari.

“Saya sangat khawatir tentang target baru terhadap hamba-hamba Tuhan dan medis di Tanah Papua. Gereja Katolik Roma perlu melihat persoalan umat Tuhan di Papua. Untuk itu, saatnya Uskup di Tanah Papua bersuara di tingkat KWI, bila perlu sampai di Paus.”

Perlunya sikap pimpinan Gereja Katolik, kata Kadepa, karena ini menyangkut keselamatan nyawa umat Tuhan, apalagi korban penembakan menimpa Petugas Gereja.

“Dua orang Katekis di Intan Jaya tertembak. Ini nilai kemanusiaan, keadilan dan kedamaian harus disuarakan dan harus ada sikap,” tegas Kadepa.

Made Supriatma, pengamat militer dan peneliti independen, mengakui cukup besar dedikasi Katekis atau Guru Agama Katolik di daerah-daerah terpencil yang tak ada Imam.

Seorang Katekis seringkali menjalankan tugas-tugas Imam. Rutin memimpin ibadah, menjalankan katekese, juga memberikan pelayanan spiritual kepada umat Katolik di tingkat Kombas, Stasi hingga Paroki.

Baca Juga:  Polres Tambrauw Masih Mendalami Motif Kebakaran Kantor Distrik Bamusbama

Supriatma dalam catatannya menyoroti sikap tak logis KWI yang memperlihatkan tiadanya empati terhadap insiden tragis di Intan Jaya. Padahal, sudah jelas-jelas peluru menerjang tubuh Petugas Pastoral atau Pewarta Katolik yang nota bene saban hari melayani umat Tuhan di Paroki Bilogai.

“Sangat tidak normal kalau sampai hari ini Gereja Katolik Indonesia diam atas penembakan yang menimpa pekerja keagamaan di Papua. Satu orang Pendeta, dan dua orang Katekis,” ujarnya menyayangkan.

Ia maklum bila publik Indonesia sebagian besar tak peduli dengan apa yang terjadi di Tanah Papua. Berbagai kasus pembunuhan yang terjadi, dianggap normal. Sebagaimana juga peristiwa serupa yang dulu digencarkan di Timor Leste dan Aceh.

Tetapi, ia sesalkan tiadanya respons dari Gereja Katolik Indonesia dalam hal ini KWI terhadap penembakan dua Katekis Paroki Bilogai di saat keluarga korban dan masyarakat Papua sedang menanti hembusan angin segar sekadar mencoba mengobati luka batin sesaat.

“Saya tidak melihat Gereja Katolik Indonesia bereaksi terhadap pembunuhan ini,” kata Made.

Diamnya KWI dianggap tak adil, tak berperikemanusiaan bahkan terkesan mengiyakan berlanjutnya operasi militer dengan sasaran warga sipil. Karena itu, ia setuju jika Gereja Katolik Papua memilih sikap tegas: ‘out’ dari KWI.

“Melihat tidak adanya empati ini, Gereja Katolik di Papua sepertinya tidak pantas untuk berada dibawah KWI. Kehilangan satu Katekis dan satu Pendeta serta luka tembakan yang dialami satu Katekis rupanya tidak cukup besar untuk menarik simpati Gereja Katolik Indonesia,” sesalnya.

Keuskupan Timika, yang membawahi Paroki St. Michael Bilogai, tanpa Uskup sepeninggal Mgr. John Philip ‘Gaiyabi’ Saklil, Pr.

Sebagaimana diwartakan sebelumnya, Katekis Rufinus Tigau tewas ditembak TNI di kampung Jalae, distrik Sugapa, kabupaten Intan Jaya, Senin (26/10/2020). Ia dituduh anggota TPNPB, yang oleh TNI/Polri lazim menyebutnya KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata) atau KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata).

Rufinus Tigau bekerja sebagai Katekis sejak tahun 2015 setelah secara resmi dilantik oleh Pastor Paroki Bilogai, Pater Yustinus Rahangiar Pr. Katekis Rufinus melayani umat Katolik Stasi Jalae.

Tanggal 7 Oktober 2020, Agustinus Duwitau, Katekis di Gereja Katolik Stasi Emondi Paroki Bilogai, yang sedang pulang ke rumahnya usai menghadiri pertemuan para Katekis di pusat Paroki Bilogai, ditembak aparat keamanan di lereng Domogau, distrik Sugapa. Penembakan pada pagi hari sekira pukul 07.00 WP itu melukai tubuhnya. Katekis Agustinus dievakuasi ke Timika untuk masih menjalani perawatan intensif terhadap luka tembak.

Selain dua Katekis, sebelumnya Pendeta Yeremia Zanambani tewas tertembak peluru aparat keamanan di kandang babi miliknya, Sabtu (19/9/2020) lalu. Pendeta Zanambani adalah tokoh Gereja, mantan ketua Klasis Hitadipa, yang juga penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Migani.

Pewarta: Markus You

Artikel sebelumnyaRakyat West Papua Ingin Kembali ke Keluarga Melanesia
Artikel berikutnyaNatalius Pigai Minta DPRP Tegur Sekda Provinsi Papua